OLEH Agus Taher
(Budayawan)
Pak Agus, makin hari, makin tapikia dek ambo isi buku
Global Paradox. Makin lamo, makin taraso, kito salapiak lain rasian. Gamawan Fauzi
OLEH Agus Taher
(Budayawan)
Pak Agus, makin hari, makin tapikia dek ambo isi buku
Global Paradox. Makin lamo, makin taraso, kito salapiak lain rasian. Gamawan Fauzi
OLEH Nasrul Azwar dan Rahmat Irfan Denas (Jurnalis)
Oi
Jawinar.., Jawi Jawi
Ondeh
Jawinar oi
Tajadi juo
apo nan Den takuikkan
Dulu kau
cinto, kini kau tak ajan
Aden
bacampaan
Malam minggu ka patang ko
Aden apel
ka rumah kau
Hei jan
kan pintu, pintu nan ka dibukak
Tapi Abak
kau tagak macik palakak
Langkah Den
baserak
Lirik bergenre kocak itu bagian penggalan lagu berjudul “Jawinar” salah satu dari ratusan lagu yang diciptakan sekaligus dinyanyikan Nedi Gampo, yang cukup populer di era tahun 90-an. Lagu ini cukup kocak dibawakan Nedi Gampo.
Sebelum Nedi Gampoi, seniman musik Minang dengan
aliran genre jenaka dan lucu ialah Syamsi Hasan. Bedanya, Syamsi Hasan semata
menyanyi sedangkan Nedi Gampo penyanyi sekaligus pencipta, dan komposer atau
piñata lagu.
Seniman musik Minangkabau ini—bernama asli Nedi Erman—bagi pengamat musik menyebutnya sebagai penyanyi kocak dan jenaka Minangkabau. Penamaan ini sepertinya disesuaikan dengan lirik-lirik lagu Nedi Gampo yang memang cenderung mengocok perut pendengar.
OLEH Eko Yanche Edrie (Wartawan)
Seingat saya, pertemuan pertama dengan
Darman Moenir adalah di Harian Singgalang,
tak lama setelah galodo Bukit Tui 1987. Saya kebetulan mengantarkan berita dari
Padang Panjang ke kantor redaksi di Jalan Veteran 17. Darman duduk di hadapan
Bang Joesfik Helmy yang menjadi Wapemred Singgalang.
"Iko
Darman Moenir, Bung, salami lah ciek,"
kata Bang Jimmy—sapaan akrab M. Joesfik Helmy—sambil mengamit saya.
Saya menyalaminya dan memperkenalkan diri. Lalu Darman memuji tulisan saya tentang 'Kipeh Sate' yang dimuat tiap Rabu di Harian Singgalang. Saya merasa tersanjung, karena saya sudah lama mengenal nama Darman Moenir. Tentu saja sebagai penikmat sastra, saya sudah baca juga novel Bako karyanya. Tapi, baru kali itulah saya bertemu Darman Moenir dan berkenalan.
PELUKIS TEMPO DULU MINANGKABAU
OLEH Alwi Karmena (Budayawan)
Foto Yeni Purnama |
OLEH Khairul Jasmi (Wartawan)
Mimbar sambung berfungsi untuk mem-perjelas isi kutbah kepada jamaah yang berada di belakang, karena waktu itu belum ada alat pengeras suara.
Masjid Raya Gantiang, Padang, terletak sekitar satu kilometer dari Plein van Rome (sekarang lapangan Imam Bonjol) di alun-alun kota. Di ujung selatan alun-alun ini, di tahun 1970-an, didirikan pula sebuah masjid bernama Nurul Imam, di baratnya di sisi pasar yang hiruk-pikuk, menjulang puncak Masjid Taqwa Muhammadiyah. Ketiga masjid ini, memegang peranan penting untuk kota itu. Dari ketiga masjid itu, Masjid Raya Gantiang, merupakan masjid paling tua.
OLEH Nurmatias (Peneliti)
Kenapa perlu memahami cagar budaya bagi pembentukan karakter bangsa? Sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita kuak kembali melihat bingkai kondisi anak bangsa yang cenderung tak dinamis- kearah kemunduran dewasa ini. Bahkan persoalan mengenai karakter bangsa kini menjadi sorotan utama masyarakat. Betapa tidak? Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, mafia hukum, dan sebagainya seolah hadir tiada henti. Bahkan hal itu pun menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Setidaknya gambaran mengenai permaslahan tersebut menggelitik kita untuk bertanya kembali. Adakah yang salah dengan karakter bangsa ini?
Foto: Kompasiana Pemeluk Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...