Rabu, 30 Desember 2015

Jangan Bersedih, Pak Bre Redana…

OLEH WISNU PRASETYA UTOMO
Jika Anda ingin bicara mutu media cetak yang lebih tinggi ketimbang media daring, maaf, Pak Bre Redana, Anda gagal.

Badai Senjakala Media Cetak Memang Sudah Dekat, Kapten Bre Redana

OLEH IRWAN BAJANG (Editor, Penulis dan Pekerja Buku)
Usai membaca “Inikah Senjakala Kami”… tulisan Bre Redana yang saya dapatkan dari tautan dinding facebook seorang teman, saya segera menjentikkan jari ke tombol share tulisan tersebut. Tak lupa saya sisipkan tulisan pendek untuk ngeksis sekaligus sebagai status facebook saya; “Ya gimana nggak ditinggalkan, esai di koran ini bahkan tidak ngomong apa-apa. Astaga! Bahkan di titik krusial ketika sedang membicarakan senjakala dan ketertinggalan dirinya sendiri. Parah.”

Inikah Senjakala Kami...

Tulisan Bre Redana ini banyak mendapat respons dari publik. Berikut kami turunkan tulisan-tulisan yang dimuat di pelbagai media online yang menanggapi tulisan ini. -Redaksi


OLEH BRE REDANA (Wartawan Senior Harian Kompas)
Belakangan ini, seiring berlayarnya waktu, kami wartawan media cetak, seperti penumpang kapal yang kian dekat menuju akhir hayat. Terakhir, di penghujung tahun, Ignatius Haryanto, pengamat pers yang luas referensinya, salah satu anggota Forum Ombudsman surat kabar kami, memberikan notifikasi dengan judul Senjakala Suratkabar di Indonesia? Pertanyaan lebih lanjut ia ajukan: apakah ini akhir dari peradaban surat kabar cetak saat ini?

Minggu, 13 Desember 2015

OBITUARI: Pencipta ‘Padang Kota Tercinta’ itu‘lah Pulang

OLEH Alwi Karmena
Leon Agusta
“Di hari raya. Di hari rindu beralun alun. Selendangmu ibu, terkibas diterpa angin… Ah. Salamku lah itu…”
Sebaris puisi indah amat tersemat di hati–Kenapa Tak pulang Sayang yang ditulisnya puluhan tahun yang lalu, dengan gemetar namun khidmad, saya kutip dari antalogi puisi Monumen Safari. Buku kumpulan empat penyair: Rusli Marzuki Saria, Leon Agusta, Chairul Harun, dan Zaidin Bakry. Sebuah buku tua yang telah menguning kertasnya.

Senin, 30 November 2015

Sastra Indonesia Kontemporer: Membakar Tuhan dan Ibu yang Terjun ke Laut

OLEH Linda Christanty (Sastrawan)
Sebuah Pengantar
Linda Christanty 
Meski tidak pernah ditulis dalam buku-buku sejarah resmi Indonesia, hampir setengah abad yang lalu Indonesia hari ini dibangun di atas sebuah kudeta militer.
Pemimpin kudeta berdarah itu Suharto, seorang perwira Angkatan Darat. Dia dilantik menjadi presiden sesudah menggulingkan Sukarno, pejuang kemerdekaan, proklamator dan presiden pertama Indonesia. Dia lebih sopan dibanding Jenderal Pinochet yang pasukannya membunuh Presiden Allende di istana presiden di Santiago, karena dia hanya mengurung Presiden Sukarno yang sakit parah sampai mati di sebuah rumah di Jakarta.

Kamis, 19 November 2015

PENGKHIANATAN PERADABAN: 1 Ton Buku Perpustakaan Daerah Kalbar Dijual ke Pengepul Barang Bekas


Pontianak, Ribuan buku dengan berbagai judul dan berstempel Perpustakaan Daerah (Perpusda) Kalbar dijual ke sebuah tempat penampungan barang bekas di Pontianak Tenggara, Minggu (15/11/2015).

Minggu, 15 November 2015

Catatan Kongres Kesenian Indonesia I 1995

OLEH Autar Abdillah
Jumpa pers KKI III 2015
Kajian terhadap kesenian (di) Indonesia, masih cukup menggantungkan diri terhadap hasil pengkajian yang dilakukan sejumlah peneliti asing --yang sebagian tidak mengalami langsung subjek pengkajian yang dilakukannya. Sebagian besar berangkat dari paradigma yang nyaris tidak mengakar pada kehidupan kesenian itu sendiri.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...