Sabtu, 26 Oktober 2013

Pembakar



CERPEN Dafriansyah Putra

Judul: Jendela di Prapatan, karya Amrianis
Ruangan penuh dengan berkas berserakan, buku terkembang, buram bertebaran, dokumen bertumpuk-tumpuk. Kalian senantiasa membiarkannya. Tak ada kesempatan buat membereskan. Kalian terlampau sibuk mengurusi suatu misi yang amat penting, misi dikejar waktu.
Kalian mengenakan baju hijau lumut yang membuat penampilan kalian kelihatan gagah, cantik, dan berwibawa. Kemudian kalian duduk berkumpul mengeliling, bersehadap meja kaca oval yang lebar. Tatapan kalian tertuju pada satu arah, kepada orang yang duduk di paling ujung.
Kalian memasang muka yang begitu serius. Seperti rapat tikus saja. Kalian bercericit ganti-ganti. Satu menanya, satu menyanggah. Satu bersuara yang lain menginap-inapkan.  
“Malam besok jalan!”
Pembicaraan kalian selesai seiring kepalan tangan yang kalian tinju-tinjukan ke udara. Kalian bubar. Bunyi kursi derit-berderit dibuatnya.
***

PUISI Yuka Fainka Putra


Sajak Pendengar Radio
Aku memesan Something Stupid-nya Frank Sinatra dengan segelas kopi, malam memekat dan gerimis memucat, tak bisa memastikan akan reda atau malah menjadi deras. Aku dalam hening yang sangat, cinta. Pada kerelaan-kerealan panjang aku titip asa dalam baris-baris ketidakpastian, dan di ujungnya sungguh-sungguh aku tancapkan realitas.
Dari suara turun ke hati, jangan diganggu karena sungguh nikmat, melakukannya sendiri.
Padan nomor  Gloomy Sunday-nya Reszo Seress, gerimis mulai berganti padat, memuai seluruh ke angkasa, malam semakin lelap dan jangan kau ajak aku menjadi konyol, sebab dalam kesendirian aku tak sedang berhitung, aku hanya menepi pada igauan dan tradisi.
Dari suara turun kehati, mendakilah ke puncak imaji, taklukkan dalam sunyi.
Telah lewat tengah malam, suara sudah tiada yang tinggal hanya tembang-tembang lawas berteman pula dengan lembab, hari berganti dan tak ada lagi jeda iklan dalam pergantin nomor-nomor, selepas Utha Likumahuwa dengan Esokkan Masih Ada di sambung Rayuan Pulau Kelapa, yang tersisa hanya desir yang hening menggantikan suara gerimis, Aku mengecilkan suara radio dan membiarkannya menyala, hingga kembali menyalak.

Painan, September 2012

Maukah Kamu Menikah Denganku, Wahai Cinta?



CERPEN Ramoun Apta

Karya TATANG BSp. 1998
Ia tak peduli, yang ia inginkan cuma satu, seorang istri. Harta ia sudah banyak, mobil ia sudah berserak, kebun memanjang berhektar-hektar, rumah gedung bertingkat, ruko puluhan, motor mewah keluaran Amerika dan Jerman penuh mengisi parkiran koleksi kendaraan di rumahnya. Ekonominya sudah mapan. Tetapi ia kurang bahagia. Ia sehat tetapi senyum tidak berbuah di bibirnya. Saking tidak bahagianya, liurnya saja terasa masam apabila bibirnya mengecap. Ia benar-benar ingin menikah.
Teman-teman yang ia kenal sudah menikah semua. Bahkan, ada yang beristri lebih dari satu. Tiga, lima, bahkan ada yang sampai lima belas. Semua temannya berbahagia. Semua temannya senang bersenda gurau bersama anak-anak mereka sambil menjilat potongan es krim di taman kota. Padahal teman-temannya tidak ada yang kaya seperti ia. Tetapi, “Kenapa hanya aku seorang yang belum menikah?”

PUISI Rio Fitra SY




Masuk Museum


Memasuki ruang remang-remang:
terang dan kelam terkurung,
tak tahu jalan keluar.

Di mana lesung nenek tak meniupkan bara di tungku,
tapi menanak udara.
Aku menyuapi
mulut penuh lumut.

Di dinding, terpajang gambar seseorang.
Matanya menangkap sesuatu yang berkelebat:
sesuatu berwarna angin.

Di sini ingatan adalah bantal di kasur
saat pagi, siang,
dan malam.

Di mana segerombolan pengantin masa lalu membeku.
Konon mereka menatap kita
tanpa membuka matanya
yang pecah.

Padang, 2010

Lelaki Putih Berpayung Merah

CERPEN Amelia Asmi
Burung-burung hitam beriring di langit yang mulai kemerahan. Azan Magrib sebentar lagi berkumandang dari masjid. Anak-anak lagi bermain dipanggil ibunya pulang. Berbenah kemudian mengaji di masjid.
Aku beranjak dari dudukku, berjalan ke depan jendela. Menutupnya dan menurunkan gorden. Tanganku tergantung waktu menurunkan gorden. Di depan, dari jendela aku melihat lelaki berpayung merah. Ia lelaki dewasa, memakai celana panjang dan baju kaos warna hitam. Dari ia memegang payung, aku lihat kulit tangannya putih. Putih bak bengkuang yang baru dikupas. Angin membawa harumnya ke dalam rumah, bau melati. Ia berlalu.
“Aneh, tidak ada hujan ia memakai payung,” pikirku.
Aku mengikat rambutku tinggi. Mengambil kertas untuk mengipas. Siang ini matahari terasa dekat kepala. Di kamar aku berpeluh, baju kaosku basah di bagian punggung dan ketiak. Aku menuju beranda rumah, setidaknya udara dari bunga-bunga di beranda dapat menyejukkan.

Jumat, 25 Oktober 2013

Robohnya Benteng Moral di Minangkabau



OLEH Fadhilah

Dosen Psikologi Islam IAIN Imam Bonjol Padang

Nagari Pariangan
Beberapa waktu lalu, masyarakat Sumatera Barat dan Ranah Minang dihebohkan dengan pemberitaan tentang ditutupnya The Fellas Cafe and Resto, sebuah tempat hiburan malam di pusat kota Padang. Heboh tak karena cafe itu tak punya izin sah, tapi terutama karena ketahuan menampilkan tarian telanjang alias striptease. Mungkin  tak disangka banyak orang, tapi begitulah kenyataan sosial di Sumbar hari ini. Kota Padang seakan tak beda lagi dengan citra kota-kota metropolitan pada umumnya. Bahkan di Jakarta saja, tak ada izin tempat hiburan malam menampilkan tarian telanjang.

HUTAN ADAT DI “PERSIMPANGAN JALAN”: Kedudukan Hutan Adat di Sumatera Barat pada Era Desentralisasi



OLEH Kurnia Warman
Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang


Pendahuluan
Walaupun belum bisa mensejahterakan sebagian besar rakyat, kebijakan desentralisasi di Indonesia, pasca runtuhnya orde baru 1998, betul-betul telah dirasakan dampaknya bagi kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat. Secara yuridis, otonomi daerah terutama diawali dengan keluarnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu bentuk kebijakan yang bersentuhan dengan kehidupan sosial di masyarakat paling bawah (masyarakat hukum adat) adalah berkaitan dengan sistem pemerintahan desa (village goverment). Berdasarkan UU tersebut, bentuk pemerintahan desa yang sebelumnya diseragamkan oleh pemerintah orde baru[1] boleh kembali dibentuk tidak seragam yaitu berdasarkan hak asal usul dan adat istiadat masing-masing. Pasal 1 Huruf (o) UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian dimuat juga dalam Pasal 1 Angka (12) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...