Minggu, 16 Februari 2020

DIM (Tak) Mungkin...?

OLEH Yulizal Yunus Datuak Rajo Bagindo (Dosen UIN IB Padang)
Gerakan pendirian Daerah Istimewa Minangkabau (DIM) kembali muncul sejak 2014. Kita hargai orang tua Minang Mochtar Naim sebagai pelopor utamanya. Tetapi gerakan itu sepertinya masih dominan dari rantau. Ranah termasuk akademisi terkesan tidak peduli, meski sosialisasi sampai hari ini tiada henti.
Pemerintahan Daerah (Pemprov dan DPRD) pun tidak ikut. Tidak dibawa atau tidak menyetujui? Belum lagi kekhatiran kekuatan potensi ekonomi daerah, terasa sekali gerakan DIM ini seperti dalam filososfi “patut (tak) mungkin”.
Pertanyaan banding DIM juga muncul, kenapa tidak “nagari (pemerintahan) kembali ke adat” saja, versi “desa adat” yang dijamin UU 6/2014 disambut Perdaprov 7/2018 tentang nagari adat dan tinggal menunggu Perdakab/kota. Jaminan itu, dalam bentuk perlindungan hak tradisional dan penganggaran APBN untuk menyelenggarakan kewenangan hak-hak tradisionalnya itu di samping urusan pemerintahan. Artinya adat dan pemerintah terintegarasi dijamin, tidak sepertinya nagari sekarang yang hanya urusan pemerintah saja, sedangkan urusan adat tak menjadi kewenangan, hanya sebatas kompetensi. 

DIM Bisa Diwujudkan

Prof Rusdi Muchtar, Mantan Ahli Peneliti Utama LIPI
Daerah Istimewa Minangkabau (DIM) seharusnya memang bisa diwujudkan karena secara historis Minangkabau memiliki tempat dalam sejarah Indonesia baik sejarah zaman klasik dan modern. Kontribusi putra-putri Minangkabau cukup penting dan signifikan dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Demikian penilaian dan alasan yang dikemukan Prof Rusdi Muchtar, MA, APU, pensiunan Ahli Peneliti Utama Bidang Ilmu Komunikasi dan Budaya pada  Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terkait pentingnya kehadiran Daerah Islam Minangkabau (DIM) menggantikan Provinsi Sumatera Barat.
“Jika dirunut sejarah, pada masa raja-raja dulu, umpamanya Adityawarman yang telah  membangun kerajaan di Melayu Minangkabau hingga pada masa perjuangan kebangsaaan awal abad ke-20, putra-putra Minangkabau banyak berjasa dalam menumbuhkan keinginan merdeka dengan berbagai cara. Itu kontribusi besar yang bisa dijadikan alasan untuk mendapatkan hak istimewa itu,” papar Rusdi Muchtar, yang kini juga mengajar di Ilmu Komunikasi dan Metode Penelitian Komuniasi di Universitas Binus, Universitas Jayabaya, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta kepada, Minggu, 3 Maret 2019.  

DIM Berpotensi Lenyapkan Matrilineal

OLEH Emeraldy Chatra Dosen FISIP Universitas Andalas
Daerah Istimewa Minangkabau (DIM) menjadikan Minangkabau ‘bertampuk’. Dengan ‘tampuk’ itu kekuatan sel-sel Minangkabau akan mudah dikendalikan.Paham matrilineal yang terbukti dapat menjadi benteng bagi orang Minangkabau dalam mempertahankan tanahnya suatu ketika akan hilang. Demikian penggalan diskusi Komunitas Kato Balega, Padang, Kamis (28/2/2019)di Ladang Nan Jombang Padang.

Utopis atau Cita-cita

DAERAH ISTIMEWA MINANGKABAU
Berawal dari surat terbuka yang ditulis Prof Dr Mochtar Naim pada 13 Desember 2014.  Surat itu berisi ajakan untuk mendeklarasikan berdirinya Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau (DIM) sebagai pengganti Provinsi Sumatera Barat yang ada sekarang.
Sosiolog dan salah seorang pendiri Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas ini mengirimkan secara digital ke pelbagai pihak di Sumatera Barat, termasuk ke Gubernur Irwan Prayitno.

Sabtu, 11 Januari 2020

Di Nagari Koto Gadang Tiap Rumah Ada Sarjana


OLEH Khairul Jasmi
Seratus tujuh belas tahun silam, Agus Salim lahir. Meski telah teramat lama, di Sumatera Barat, anak-anak sekalipun tetap mengenal namanya. Betul juga kata orang bijak: harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.
Nama besarnya nyaris tidak tertandingi oleh siapapun, kecuali oleh sejumlah orang di zamannya yang kemudian menjadi ‘bapak bangsa’ ini. Agus Salim adalah tipe orang Minang, yang dalam istilah Rosihan Anwar gilo-gilo baso alias gendeng. Semua orang Minang yang pintar memang memiliki sikap demikian.

Minggu, 05 Januari 2020

Pedagang di Padang Cenderung Berbahasa Kasar


DR ASLINDA, M.HUM, LINGUIS FIB UNAND
Seorang peneliti bahasa dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang menyebutkan, pedagang di Kota Padang tidak ramah pada pembeli atau pengunjung saat berinteraksi. Ketidaksantunan berkomunikasi ini ancaman pengembangan wisata di Sumatera Barat.
Simpulan itu diperoleh dari riset yang dilakukan terhadap perilaku dan bahasa pedagang terhadap pembeli dan pengunjung, terutama di objek dan destinasi wisata di Kota Padang.
“Kesantunan berbahasa pedagang di objek wisata di Kota Padang jadi objek penelitian saya. Hasil penelitian yang saya lakukan menemukan pedagang kerap kali bersikap tidak ramah kepada pengunjung dan pembeli,” kata Dr Aslinda, M.Hum, Selasa, 9 April 2019 di ruang kerjanya.

Sabtu, 04 Januari 2020

2019, Pemajuan Pariwisata Rata-rata Air


Pada tahun 2019 ini, pemerintah menurunkan target penerimaan devisa sektor pariwisata dari semula US$20 miliar menjadi hanya US$17,6 miliar dengan target kunjungan wisatawan mancanegara  sebanyak 20 juta orang.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menargetkan kunjungan wisatawan lokal pada tahun ini 8,5 juta orang. Tahun sebelumnya, wisatawan nusantara yang datang ke Ranah Minang mencapai 8.073.070 orang. Sedangkan wisatawan mancanegara sebanyak 57.638 orang.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...