Selasa, 19 April 2016

"Tonggak Tuo" Demokrasi di Minangkabau

OLEH Nurmatias (budayawan)
Prolog
Masyarakat Minangkabau yang dulu sebagai penjunjung sistem yang egaliter dan demokrasi masihkah kelihatan sekarang ini? Masihkah bulek aie dek pambuluh, bulek kato jo mufakek (Bulat air kerena saluran bambu). Bulat kata karena mufakat masih identik dengan kondisi Minangkabau kekinian. Rumah gadang sebagai simbol kebesaran demokrasi Minangkabau masih kelihatan karismanya atau benar kata Von Benda Beckmann tonggak demokrasi di Minangkabau sudah rapuh dan hampir hancur.

Minggu, 13 Maret 2016

Buku Puisi dari Buih Laut

OLEH Ivan Adilla (pengajar di Jurusan Sastra Indonesia, FIB Unand)

Judul Buku: Ombak Menjilat Runcing Karang, Sebuah Antologi Puisi
Karya: Eddy Pranata PNP
Penerbit: CV. Rumahkayu Pustaka Utama, Padang.
Tahun Terbit: Maret 2016
Halaman: x +148 halaman.

Ivan Adilla saat menyajikan makalahnya
Adakah yang bisa dilakukan lelaki saat sendiri di malam sepi pada sebuah pulau karang di tengah laut? Penyair Eddy Pranata PNP memanfaatkan kesempatan itu untuk berdialog dengan ombak, karang, pelangi dan angin. Sebagai petugas navigasi laut, ia   menjalankan pekerjaan di menara suar yang terletak di pulau karang terpencil selama puluhan tahun. Ia menyaksikan kapal, sampan, gelombang, dan para nelayan yang hilir mudik di lautan. Dari tempat sepi itulah ia merajut puisi tentang cinta, kerinduan, persahabatan dan Tuhan. 

Memaknai Rasa pada Empat Perempuan Penyair

OLEH Eva Krisna (Peneliti di Balai Bahasa Sumbar)
Eva Krisna saat diskusi buku antologi puisi
Mereka Berempat
Sulit untuk mengatakan tidak ketika Rieska Praditya Ernaningtyas meminta untuk membedah karya mereka. Inginnya berjarak dengan keempatnya agar ulasan yang akan diberikan terlepas dari cakrawala wawasan tentang mereka sehingga  pemaknaan terbebas dari horizon pengetahuan tentang masing-masingnya. Namun apa daya, kenangan telah terbentang panjang dan perasaan pun telah terjalin lama dengan keempatnya.

Minggu, 21 Februari 2016

Teka-teki Tokoh Legendaris Filsuf Kiri Tan Malaka

Pengantar redaksi
Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka adalah seorang aktivis kemerdekaan Indonesia, filsuf kiri, pemimpin Partai Komunis Indonesia, pendiri Partai Murba, dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Tan Malaka lahir 2 Juni 1897, Pandan Gadang, Limapuluah Kota, dan meninggal pada 21 Februari 1949, di Kabupaten Kediri. Hari ini 67 tahun sudah berlalu tokoh inspiratif ini meninggal dunia. Berikut tulisan Kamardi Rais Datuak P Simulie, yang diambil dari buku “Mesin Ketik Tua”. Selamat membaca.

Selasa, 26 Januari 2016

Kita dan Kebudayaan

OLEH Abdul Hadi W. M. (Budayawan)
Abdul Hadi W.M bersama cucunya
Salah satu masalah yang memprihatinkan sekarang ini di bidang kajian ilmu-ilmu kebudayaan dan humaniora ialah simpang siur dan rancunya pengertian tentang kebudayaan. Ada yang mengaburkan arti kebudayaan dengan peradaban. Ada juga yang mengartikannya terlalu luas sehingga mencakup apa saja dalam kegiatan hidup manusia yang sebenarnya tidak bisa dimasukkan sebagai wilayah kebudayaan. Yang lain lagi mengartikan terlalu sempit sebatas kesenian,kesusastraan, arsitektur dan adat istiadat. Kesimpang siuran dan kekusutan  pengertian itu sudah pasti berpengaruh terhadap upaya pengembangan dan penentuan kegiatan kebudayaan yang akan dilakukan, dan sudah pasti pula menimbulkan kebingungan dalam menyusun kebijakan dan strategi kebudayaan di masa depan.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...