Jumat, 01 Januari 2016

Politik Kesenian dalam Perspektif Negara

OLEH HILMAR FARID
Hilmar Farid saat mempresentasikan makalahnya di KKI III Bandung
Ada dua kongres kesenian setelah Indonesia merdeka. Kongres pertama masih di masa kejayaan Orde Baru pada 1995 dan kongres kedua di masa awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kesimpulan dan rekomendasi dari kedua kongres sebenarnya sangat jelas dalam kaitannya dengan diskusi mengenai negara dan kesenian atau politik kesenian. Sayangnya institutional memory yang lemah membuat kita sering mengulang lagi apa yang sudah dibicarakan dan diputuskan sebelumnya. Akan baik jika peserta kongres sekarang mendapat salinan dari kesimpulan dan rekomendasi dua kongres sebelumnya sehingga bisa melihat apa yang sudah dicapai, apa yang belum dicapai, beserta alasannya. Dari sini kita bisa melihat peta permasalahan lebih konkret dan akan menemukan jawaban yang lebih jitu pula.

Pelbagai Dunia, di Dalam dan di Luar–Sebuah Pamflet

OLEH NIRWAN DEWANTO

Mendikbud Anies Baswedan saat buka KKI III di Bandung
Forum-Kongres yang kita hadiri untuk tiga hari ke depan ini niscayalah mengandung ironi yang begitu besar. Dalam hubungannya dengan produksi seni, penyebaran hasil-hasil seni, pemeliharaan sumber-sumber kreatif, pembinaan masyarakat pemirsa, dan perhubungan internasional antar-pekerja seni, dan segala hal yang bertali-temali dengan itu, sudah lama kita tak melihat peran Negara.

Rabu, 30 Desember 2015

Jangan Bersedih, Pak Bre Redana…

OLEH WISNU PRASETYA UTOMO
Jika Anda ingin bicara mutu media cetak yang lebih tinggi ketimbang media daring, maaf, Pak Bre Redana, Anda gagal.

Badai Senjakala Media Cetak Memang Sudah Dekat, Kapten Bre Redana

OLEH IRWAN BAJANG (Editor, Penulis dan Pekerja Buku)
Usai membaca “Inikah Senjakala Kami”… tulisan Bre Redana yang saya dapatkan dari tautan dinding facebook seorang teman, saya segera menjentikkan jari ke tombol share tulisan tersebut. Tak lupa saya sisipkan tulisan pendek untuk ngeksis sekaligus sebagai status facebook saya; “Ya gimana nggak ditinggalkan, esai di koran ini bahkan tidak ngomong apa-apa. Astaga! Bahkan di titik krusial ketika sedang membicarakan senjakala dan ketertinggalan dirinya sendiri. Parah.”

Inikah Senjakala Kami...

Tulisan Bre Redana ini banyak mendapat respons dari publik. Berikut kami turunkan tulisan-tulisan yang dimuat di pelbagai media online yang menanggapi tulisan ini. -Redaksi


OLEH BRE REDANA (Wartawan Senior Harian Kompas)
Belakangan ini, seiring berlayarnya waktu, kami wartawan media cetak, seperti penumpang kapal yang kian dekat menuju akhir hayat. Terakhir, di penghujung tahun, Ignatius Haryanto, pengamat pers yang luas referensinya, salah satu anggota Forum Ombudsman surat kabar kami, memberikan notifikasi dengan judul Senjakala Suratkabar di Indonesia? Pertanyaan lebih lanjut ia ajukan: apakah ini akhir dari peradaban surat kabar cetak saat ini?

Minggu, 13 Desember 2015

OBITUARI: Pencipta ‘Padang Kota Tercinta’ itu‘lah Pulang

OLEH Alwi Karmena
Leon Agusta
“Di hari raya. Di hari rindu beralun alun. Selendangmu ibu, terkibas diterpa angin… Ah. Salamku lah itu…”
Sebaris puisi indah amat tersemat di hati–Kenapa Tak pulang Sayang yang ditulisnya puluhan tahun yang lalu, dengan gemetar namun khidmad, saya kutip dari antalogi puisi Monumen Safari. Buku kumpulan empat penyair: Rusli Marzuki Saria, Leon Agusta, Chairul Harun, dan Zaidin Bakry. Sebuah buku tua yang telah menguning kertasnya.

Senin, 30 November 2015

Sastra Indonesia Kontemporer: Membakar Tuhan dan Ibu yang Terjun ke Laut

OLEH Linda Christanty (Sastrawan)
Sebuah Pengantar
Linda Christanty 
Meski tidak pernah ditulis dalam buku-buku sejarah resmi Indonesia, hampir setengah abad yang lalu Indonesia hari ini dibangun di atas sebuah kudeta militer.
Pemimpin kudeta berdarah itu Suharto, seorang perwira Angkatan Darat. Dia dilantik menjadi presiden sesudah menggulingkan Sukarno, pejuang kemerdekaan, proklamator dan presiden pertama Indonesia. Dia lebih sopan dibanding Jenderal Pinochet yang pasukannya membunuh Presiden Allende di istana presiden di Santiago, karena dia hanya mengurung Presiden Sukarno yang sakit parah sampai mati di sebuah rumah di Jakarta.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...