OLEH Mardohar
B.B. Simanjuntak
Mencari
sebuah wacana yang cocok untuk mengartikulasikan estetika nusantara, tentu saja
bukan pekerjaan mudah –tambah lagi, bila wacana yang dipergunakan adalah kristalisasi
proses argumentasi yang berlangsung selama kurang lebih dua puluh empat abad dalam
sejarah pemikiran Barat –dimulai oleh Plato dan setidaknya sampai saat ini belum
“diakhiri” oleh siapapun. Mungkin
yang kita butuhkan sebagai “pemanasan” adalah sebuah wacana yang relevan dengan
situasi dunia kritik seni kita saat ini: sebuah wacana yang dibabtis oleh Roger
Scruton sebagai pemberi “form and status to aesthetics” –bentuk dan status
estetika; sebuah wacana yang publikasinya sangat signifikan dalam estetika
filosofis –“[t]here has been an enormous
amount of publication on Kant’s aesthetics” –klaim Paul Guyer; dan satu dari
tiga kategori besar definisi seni yang digagas oleh Jerrold Levinson –sebagai “form”
atau bentuk, dalam artian “the
exploration and contemplation [...] for its own sake” –eksplorasi dan
kontemplasi [...] untuk dirinya sendiri”. Mungkin,
kita memang sebaiknya mulai dari pemikiran estetika Immanuel Kant yang memuncak
dan matang dalam Kritik der Urtheilskraft-nya.