Rabu, 15 Oktober 2014

Cemooh dan Rendahnya Kemampuan Berbahasa Asing Urang Minang

OLEH Hanafi
Mahasiswa PhD, University of Melbourne, Australia

Terkait tulisan Donny Syofyan tentang pengguna bahasa Inggris yang dianggap sombong (Salah Kaprah tentang Bahasa Inggris, Haluan, 14 November 2001), tergelitik juga saya untuk memberi tanggapan mengenai kesalahkaprahan terhadap bahasa asing ini dari sudut pandang etnis kita, Minangkabau.
Jikalau kita menoleh sejarah para tokoh Minang di masa lalu seperti H Agus Salim, M Hatta, Tan Malaka, dan lain-lain, tentu kita akan ingat mereka juga sebagai urang Minang yang bisa mengkomunikasikan ide dan pendapatnya ke dunia internasional melalui bahasa asing.

Minggu, 05 Oktober 2014

PISAHKAN PENGELOLAAN DARI PARIWISATA: Ubah Pemahaman tentang Kebudayaan Terlebih Dahulu

OLEH Sudarmoko
Visiting Lecturer di Hankuk University of Foreign Studies Korea
DARI REDAKSI
Polemik tentang Perlu atau Tidak Perlunya Dinas Kebudayan
Tulisan Prof Dr Herwandi M Hum yang diturunkan pekan lalu di rubrik ini mengupas sengkarut masalah pengelolaan kebudayaan yang berada dalam satu dinas dengan pariwisata. Herwandi meminta agar kebudayaan dipisahkan dengan pariwisata dalam pengelolaannya. Artinya, pemerintah harus mendirikan Dinas Kebudayaan yang berdiri sendiri.
Berikut ini, tulisan Sudarmoko, pernah mengajar di Visiting Lecturer (dosen tamu) di Hankuk University of Foreign Studies Korea Selatan dan kini mengambil program Doktor di Leiden, Belanda.
Sudarmoko lebih menekankan pada aspek agar pemerintah memahami terlebih dahulu arti kebudayaan secara luas. Selamat mengikuti. ***

Sudarmoko
Setelah sekian lama kita merasakan berbagai program pembangunan, ada saatnya kita menilai apa yang sudah dijalankan. Sebagian besar program itu dijalankan oleh pemerintah, yang menjadi pihak bertanggung jawab untuk mengumpulkan dana dan mengalirkannya kembali pada masyarakat. Namun sayangnya, pembangunan masih didominasi oleh pandangan positivisme, melihat permukaan saja, yang tampak oleh mata dan dapat diukur dalam hitungan.
Pola pikir pemerintah, yang diwujudkan dalam berbagai departemen dan dinas mulai dari pusat hingga daerah, didasarkan pada hitung-hitungan, angka-angka pemasukan dan pengeluaran, target capaian. Ini berakibat pada lemahnya daya dan keinginan investasi, meskipun pemerintah sendiri selalu berusaha untuk menarik investasi. Investasi di sini dimaksudkan dalam konteks nilai kebudayaan, kenyamanan masyarakat, pelayanan, dan penyediaan fasilitas dan kebutuhan masyarakat.

PISAHKAN PENGELOLAAN DARI PARIWISATA: Kebudayaan Urusan “Wajib”

OLEH Alfian Jamrah

DARI REDAKSI: Polemik tentang Perlu atau Tidak Perlunya Dinas Kebudayan
Tulisan Prof Dr Herwandi M Hum yang diturunkan di rubrik ini mengupas sengkarut masalah pengelolaan kebudayaan yang berada dalam satu dinas dengan pariwisata. Herwandi meminta agar kebudayaan dipisahkan dengan pariwisata dalam pengelolaannya. Artinya, pemerintah harus mendirikan Dinas Kebudayaan yang berdiri sendiri.
Berikut ini, ditulis Alfian Jamrah dihadirkan sebagai respons terhadap tulisan Herwandi sebelumnya. 
Alfian Jamrah bersetuju pemerintah mendirikan Dinas Kebudayaan dengan pembagian tugas pokok dan fungsi, sementara Sudarmoko, lebih menekankan pada aspek agar pemerintah memahami terlebih dahulu arti kebudayaan secara luas. Selamat mengikuti.*** 

Alfian Jamrah
Tulisan Profesor Herwandi perlu ditanggapi, terutama oleh orang-orang yang berkecimpung atau sekurang-kurangnya yang  terkait dengan bidang ini.  Pendapat tersebut ada benarnya meskipun pemerintah juga punya alasan tertentu untuk menyatakan tidak setuju.  Dapat dikatakan benar karena sesungguhnya kebudayaan itu termasuk urusan wajib oleh pemerintah, sedangkan pariwisata hanya termasuk urusan pilihan. 
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tanggal 15 Mei 2006 dinyatakan ada 25 macam urusan wajib, yaitu antara lain urusan pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, pekerjaan umum, pemuda olahraga, perhubungan, lingkungan hidup, sosial dan kebudayaan. 

PISAHKAN PENGELOLAAN DARI PARIWISATA: Sudah Saatnya Mendirikan Dinas Kebudayaan

OLEH Herwandi
Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Unand

Pengantar Pengelola
Munculnya wacana memisahkan kebudayaan dan pariwisata—yang kerap berada dalam satu atap pengelolaannya dalam instansi pemerintah, sudah demikian lama mengemuka. Dari berbagai kongres-kongres kebudayaan dan kesenian yang pernah digelar, pemisahan kebudayaan dan dengan pariwisata selalu masuk dalam poin-poin yang direkomendasikan agar dua sektor ini berdiri sendiri.
Pada tingkat kementerian sudah dipisah. Tetapi, turunannya ke tingkat provinsi, kabupaten, dan kota masih menggabungkan kedua sektor ini, malah ada juga yang memasukkan pemuda dan olahraga ke dalam instansi ini, tak terkecuali di Sumatera Barat.
Tulisan Prof Dr Herwandi M Hum di bawah ini mengupas sengkarut masalah pengelolaan kebudayaan yang berada dalam satu dinas dengan pariwisata, dan tak tak jelas arah dan visi pengembangan kebudayaan itu sendiri. Herwandi meminta agar kebudayaan dipisahkan dengan pariwisata dalam pengelolaannya.
Artinya, pemerintah harus mendirikan Dinas Kebudayaan yang berdiri sendiri.Ruang ini membuka seluas-luasnya curah pendapat dari semua pihak untuk menuliskan pandangan, pemikiran, dan menentang sekalipun.
Tulisan Herwandi ini sebagai pembuka dari ”diskusi” yang akan kita bentangkan di ruang ini. Selamat mengikuti. ***
Herwandi

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari daya, cipta, karya, karsa manusia, baik yang berupa benda (tenggiblel) seperti rumah, meja, kursi, bendungan dan benda-benda lainnya, maupun yang tak benda (intenggible) berupa hasil pemikiran, ritual adat dan hal yang sejenisnya.
Artinya, kebudayaan adalah hasil kreativitas manusia yang melibatkan unsur fisik, kemauan, kemampuan otak dan rational manusia untuk mempermudah kehidupannya dipermukaan bumi ini. Dalam proses kelahirannya, berjalin berkulindan antara kemampuan fisik, kreativitas dan kemampuan rational manusia.

Sabtu, 04 Oktober 2014

Seni Pertunjukan dan Reportase Kesenian

OLEH Bre Redana
Wartawan KOMPAS
Pertunjukan Teater Sign Out karya Kurniasih Zaitun
Saya ingin menekankan pertama kali bahwa sebuah pertunjukan kesenian hanya ada arena ada penontonnya, ada khalayaknya. Tontonan ada karena ada penontonnya. Ini akan membawa konsekuensi lanjut yang akan saya uraikan kemudian.
Di sini saya hanya ingin menekankan untuk pertama, bahwa kesenian tidak lahir dari sebuah vacuum atau ruang kosong. Oleh karenanya, perhatian terhadap masyarakat atau khalayak pendukungnya, bagi saya tak kalah penting dari proses lahir dan perwujudan karya itu sendiri.

Lebih Dekat dengan Syara’

OLEH  Zelfeni Wimra
Peneliti pada Majelis Sinergi Islam dan Tradisi (Magistra) Indonesia, Padang

Selalu menjadi perbincangan hangat terkait bagaimana memberi tafsir pada falsafah Minangkabau: Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Akan tetapi, secara utuh, dalam pemahaman kolektif masyarakat Minang, belum dapat diurai dan diungkai ke dalam bentuk yang komprehensif, apakah sesungguhnya syara’ itu? 

Minggu, 28 September 2014

Tradisi Baindang dan Pengaruh Budaya Islam di Pesisir Sumatra Barat

OLEH Ediwar 
Dosen STSI (ISI) Padangpanjang

Piaman tadanga langang
Baindang mangkonyo rami
Tuan kanduang tadanga sanang
Bao tompanglah badan kami.
Demikian ungkapan yang pernah terlontar oleh pemain indang ketika berlangsungnya
pertunjukan. Biasanya pantun yang lebih po-puler adalah penggunaan batabuik mangkonyo rami, tapi bagi pemain indang merefleksikannya pada per-tunjukan indang.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...