Sabtu, 29 Maret 2014

Angga Djamar: Hidup Adalah Menari

OLEH Gusriyono
Jurnalis
Angga Djamar
Tidak banyak perempuan yang berani mengabdikan diri dan bertahan menjadi penari. Angga Djamar salah seorang dari perempuan yang sedikit itu. Kerja keras dan proses yang terus menerus menjadi kunci utama suksesnya.
”Menari adalah hidupku,” kata Angga tegas. Dia baru saja selesai latihan, bersama penari Nan Jombang lainnya; Rio, Intan, Geby, dan Ririn. Kami bertemu di rumahnya di Belimbing, Padang, tempat latihan sekaligus tempat tinggal keluarga besar Nan Jombang Dance Company yang dinakhodai Ery Mefri, koreografer.
“Sejak gempa September 2009 lalu, kami latihan di sini. Sebelumnya di Taman Budaya Sumbar. Mudahan-mudahan tidak lama lagi, “ladang tari” Nan Jombang di Balaibaru sudah bisa dipakai untuk latihan,” tuturnya, memberi kabar tentang tempat latihan dan pertunjukan seni yang sedang dibangunnya. Barangkali, Angga sedikit dari perempuan yang bersikukuh memilih jalan hidup sebagai penari. Baginya, apapun pilihan hidup, kemauan dan kerja keras adalah prinsip yang harus dipegang kuat, untuk mencapai apa yang dipilih dan dicita-citakan itu.

Kamal Guci: Minangkabau Terintegrasi Empat Unsur


OLEH Gusriyono
Jurnalis
Kamal Guci dan lukisannya
Dalam satu minggu kemarin, jika Tuan dan Nyonya berkunjung ke Galeri Taman Budaya Sumbar, maka Tuan dan Nyonya dapat melihat lukisan-lukisan mengungkap topografi Minangkabau. Lukisan-lukisan itu kebanyakan bercerita tentang Minangkabau yang risau.
Memasuki Galeri Taman Budaya Sumbar, Tuan dan Nyonya akan berhadap-hadapan dengan sebuah lukisan potret. Seorang lelaki gondrong dengan kumis melintang sedang tersenyum. Senyum yang risau penuh kegalauan. Itulah potret si pelukis Kamal Guci. Pelukis asal Lubuk Guci, Pakandangan, Padangpariaman, ini menggelar pameran tunggal lukisannya bertajuk “Dari Ranah Menembus Rantau” tanggal 2-8 Agustus lalu.

Penjabaran dan Pengamalan Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah

OLEH Puti Reno Raudha Thaib
Ketua Umum Bundo Kanduang Sumatera Barat

Puti Reno Raudha Thaib
Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah sebagai pedoman hidup masyarakat Minangkabau, sepanjang sejarahnya tidak pernah digugat oleh masyarakat bahkan sangat diperlukan dalam menghadapi perubahan sosial yang begitu cepat dan kompleks di era globalisasi. Sejauh mana nilai-nilai Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah itu telah diamalkan oleh individu dan masyarakat Minangkabau pada hari ini, diperlukan indikator dari pengamalannya. Oleh karena itu perlu penjabaran untuk memperjelas nilai-nilai yang terkandung dalam Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah tersebut.

Senin, 24 Maret 2014

AMRIL MY DT GARANG:Berdakwah dengan Lukisan Kaligrafi Islam

OLEH Gusriyono
Amril MY Dt Garang
Bagi Amril MY Dt Garang, perpindahannya dari perupa/pematung ke pelukis kaligrafi adalah sebuah perjalanan spiritual. Ini adalah jawaban atas kegelisahan dan gejolak batinnya dalam memahami hidup bertuhan dan beragama. Kemudian, dengan kaligrafilah ia mendakwahkan Islam sebagai agama yang diyakininya.
Memasuki Galeri Seni Rupa Taman Budaya Sumbar pada bulan Ramadhan ini, serasa ada yang lain dari biasanya. Selain suasana spiritual Ramadhan, aura ruangan tersebut juga tidak seperti hari-hari lain.
Ada yang berubah dan mengubah suasananya menjadi lebih menyejukkan. Empat puluh delapan lukisan kaligrafi yang dipamerkan di galeri itu membawa makna dan suasana spiritual yang lain. Selama bulan Ramadhan ini, dipamerkan lukisan kaligrafi Islam bertajuk ”Yang Satu” karya dari kaligrafer Sumbar, Amril MY Dt Garang dan Amir Syarif.

AMIR SYARIF: Surau yang Menginspirasi

OLEH Gusriyono
Jusnalis
Surat Yasin den
Amir Syarif
gan media akrilik di atas kanvas terbentang sepanjang 3 meter dan lebar 1,5 meter. Lukisan kaligrafi Islam itu dikerjakan Amir Syarif dalam waktu sekitar 6 bulan. Selama Ramadhan ini lukisan itu menjadi salah satu karya yang dipajang dalam pameran kaligrafi ”Yang Satu” di Taman Budaya Sumbar.
”Yasin adalah ruh dari segala ayat dalam Al Quran. Ia menjadi intisari Al Quran, ibarat jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh manusia,” katanya.
Amir Syarif, satu di antara sekian banyak pelukis di Sumbar yang telah malang melintang dalam dunia seni rupa tersebut. Jalan menjadi pelukis ini telah diteranginya sejak kecil. Bermula dari kesukaannya melukis sketsa, kemudian memperdalam ilmu di Akademi Seni Rupa  Indonesia (ASRI) Yogyakarta hingga tamat tahun 1962.

PEMENTASAN TARI "RATAK NYAO" KARYA JONI ANDRA: Subjektivitas-Identitas yang Harus Mengental

OLEH Nasrul Azwar
Warga Padang Penyuka Seni Pertunjukan

Pertunjukan tari kontemporer “Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di Koma)”, karya koreografer Joni Andra (Impessa Dance Company) Jumat (14/3/2014) di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat. (Foto: Ari)
Galibnya pementasan seni pertunjukan, kerap diawali dengan “gelap”. Lalu berlahan cahaya lampu juga dengan dasar warna buram, lambat menyiram panggung. Nyaris semua pertunjukan kaya begitu. Tak paham saya mengapa demikian.
Pertunjukan seni kemanusiaan yang dibawakan Impessa Dance Company, berjudul “Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di Koma)” karya koreografer Joni Andra, pada Jumat malam 14 Maret 2014 di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat, menegaskan seperti saya tulis di atas itu.

Senin, 17 Maret 2014

Bertaruh Demi Sekadar Emas: Jejak Tambang Emas di Gunung Harun Salido Ketek



OLEH  Gusriyono
Jurnalis
Tak terbayangkan oleh saya, di puncak Gunung Harun ini, berhari-hari ada dua orang yang mencari emas secara tradisional. Mereka membangun bedeng di atas pondasi bangunan bekas penambang zaman Belanda. Siang masuk lubang dan lorong mencari emas, malam melepas lelah sembari membunuh sepi dan membiarkan hati bertalu merindu pada keluarga. Karena hanya berdua, di puncak lengang itu, cerita yang sama bisa diulang berkali-kali dalam obrolan pelepas lelah atau jelang tidur.
Pagi begitu indah di bedeng milik dua penambang emas itu. Gemerisik air sungai di depan bedeng dan bunyi binatang rimba seperti simfoni yang mendendangkan harapan untuk hidup yang lebih baik. Dengan semangat yang baru setelah melepas lelah semalam, aktifitas pun dimulai.
Syahrial, Amir, dan Pak Ayat, telah bangun dari tadi. Sementara saya bersama fotografer, Hijrah, masih terbungkus sarung dan jaket. Hawa pagi yang dingin membuat kami sedikit malas untuk bangun, apalagi penat-penat dari perjalanan sehari kemarin belum begitu pulih. Untuk sementara saya berdiri di mulut pintu bedeng. Pada kejauhan ufuk timur, matahari bersinar.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...