Selasa, 14 Januari 2014

WAWANCARA DENGAN ANDREA HIRATA: “Lebih Senang Dikontak Guru Ketimbang Pejabat”


Pengantar Redaksi
Buku Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov merupakan karya Andrea Hirata Seman yang mencengangkan banyak orang di negeri ini. Tiga buku, minus Maryamah Karpov, meledak di pasaran. Selain di Indonesia, Laskar Pelangi juga diterbitkan di Malaysia, Singapura, Spanyol, dan beberapa negara Eropa lainnya.

Pekan Budaya: Habiskan Dana Lagi


OLEH Nasrul Azwar
Pekan Budaya Sumbar (Foto Antara)
Pekan Budaya Provinsi Sumatera Barat resmi dibuka kemarin di halaman Kantor Gubernur. Iven tahunan ini berlangsung sejak 4  sampai dengan 10 November 2013. Dari informasi yang diperoleh, pelaksanaan seremoni dan kegiatan digelar di beberapa lokasi: Gubernuran, Taman Budaya dan Museum Nagari, serta Kantor Dinas Budpar. Ini beda dengan tahun lalu yang terpusat. Tema yang diangkat , saya kira cukup “seksi”, yakni Gelar Kreasi Budaya Menuju Ekonomi Kreatif.  

PEMERINTAH DAERAH HARUS RESPONS: Dewan Kesenian Masih Diperlukan




OLEH  Nasrul Azwar

Sekjen Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)


Lembaga kesenian formal—sebutlah ia bernama dewan kesenian—yang ada di Sumatera Barat, baik tingkat provinsi, kota, maupun kabupaten, lima tahun terakhir nyaris hilang ditelan waktu. Jika pun terdengar suaranya, taruhlah Dewan Kesenian Tanah Datar dan Kota Bukittinggi, tak lebih sekadar menjalankan program sporadis.
Kita mengetahui, dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, tugas dan fungsi dewan kesenian adalah membina, mengembangkan, menghidupkan, dan memajukan kesenian, baik tradisi maupun modern, dan sekaligus membangun peradaban serta kebudayaan. Dewan kesenian yang ada selama ini dikelola masyarakat kesenian di tempat masing-masing.

Senin, 13 Januari 2014

Melipat Dua Minangkabau

OLEH Nasrul Azwar

Membaca Minangkabau dalam perspektif keberagaman (plural) budaya pada saat kini dipandang sangat penting. Masyarakat Minangkabau dalam perspektif kultural dan historistiknya dengan pelbagai elemen dan institusi sosial yang dimilikinya, telah mampu menyelaraskan sekaligus mengembangkan prinsip demokrasi budaya. Kultur Minangkabau dan masyarakat pendukungnya yang terbuka menerima keberagaman, berkontribusi besar pada perjalanan bangsa ini. Tapi itu dulu. 
Kini, meruyak dan menyubur gagasan dan wacana di tengah masyarakat Minang yang justru kontraproduktif dengan semangat prinsip demokrasi budaya dan penghormatan pada keberagaman. Barangkali kasus paling update adalah tentang penolakan berbagai organisasi masyarakat dan individu terhadap rencana pembangunan Superblok Lippo Grup di Kota Padang. Namun, tak sedikit pula yang mendukung pembangunannya.

Legenda Malin Kundang Manifestasi Matrilineal

OLEH Yusriwal
Pengajar Peneliti dan Pengajar Fakultas Sastra Unand

Batu Malin Kundang di Pantai Aie Manis Padang
Cerita Malin Kundang adalah sebuah legenda yang hidup di Minangkabau, wilayah budaya yang luasnya meliputi kurang lebih wilayah Provinsi Sumatra Barat. Legenda ini merupakan legenda perseorangan, yaitu mengenai seorang tokoh bernama Malin Kundang, yang dianggap benar-benar terjadi oleh masyarakat pendudukungnya (Danandjaya, 1992: 73). Sebagai bukti dari legenda tersebut, sampai saat ini masih dapat ditemui sebuah batu yang menyerupai kapal pecah, terdampar di muara sungai, di Kelurahan Aia Manih, Kecamatan Padang Selatan, Padang, yang berada di bagian pantai barat Pulau Sumatra.

CARITO RANDAI MAGEK MANANDIN:Bapadoman Kapado Kaba Magek Manandin

Disusun Baliak Dek Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto


(BAGIAN 4)

Keterangan
Untuak pindah dari tapian, ka-ateh dandang panjang, buliah dianta jo tapuak tangan, buliah juo jo galombang silek, nan indak pakai gurindam, kalau anak randai lah duduak, nan diri Patiah Maudun, baiak dubalang Pandeka Sutan, jo diri bujang si Salamaik, lah tagak juo dalam lingkaran, mancaliak Salamaik tanang sajo, Patiah Maudun agak cameh, mako bakatonyo sakali.

Minggu, 12 Januari 2014

Kumpulan Cerpen Musim yang Menggugurkan Daun: Cerita yang Bermula dari Tumpukan Luka



OLEH Desi Sommalia Gustina
Berbagai hal yang menyangkut perempuan tampaknya selalu menarik untuk diperbincangkan, bahkan ditulis menjadi ide sebuah karya sastra. Misalnya menulis cerita perempuan dengan masa lalu yang kelam, dengan luka-luka yang menganga dan air mata yang tak kunjung mengering, dan sekian hal lain yang bisa dirangkai menjadi cerita. Sejatinya menulis cerita dengan bingkai luka dan air mata—yang diantaranya banyak dialami oleh kaum perempuan, jika diracik dan digarap dengan baik, tanpa menyerahkan penggarapannya ke bawah telapak kaki penindasan pesan, bukan tidak mungkin ia akan menjelma menjadi sebuah cerita yang sangat menarik, yang tidak akan kehilangan kesan bagi pembacanya. Meskipun cerita-cerita tersebut hanyalah sehimpun kisah dengan cita rasa yang suram.
Tetapi, menulis cerita tentu saja bukan sekadar menyulam tumpukan luka, mereka-reka peristiwa, menghadirkan tokoh-tokoh, dan menampilkannya dengan bahasa yang menggugah rasa semata. Menulis cerita ibarat seni dalam menyentuh dan menggetarkan hati dan nalar pembacanya. Mengajak pembacanya menghayati kembali berbagai situasi hidup yang seringkali tidak terselami dan tidak terpahami, yang ditransformasi kepada sinyal-sinyal dan getaran dalam cerita.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...