Jumat, 03 Januari 2014

CARITO RANDAI MAGEK MANANDIN:Bapadoman Kapado Kaba Magek Manandin



Disusun Baliak Dek Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto


(BAGIAN 2)

Rang Kuniang (19-2)

Tuak Mudo Sijabang Sati
Nangkodo di dandang panjang
Koknyo rang taluak Tanun Suri
Buliahlah pulo kami bincang

Tuak mudo cubo pikia-an
Runuik lah jo aka budi
Tabantang talutuak tangah jalan
Putuih dek urang pulang pai

Banyak urang koto nan duo
Ambo biaso singgah sinan
Kok ndak salah ambo bakato
Mungkin ka samo jo Piaman

Kok anyo puti pingitan
Balabiah, kurang saketek
Di etoang-etoang dipikia-an
Puti nan ampek puluah ampek

Ditiliak-tiliak jo pandapek
Atah jo bareh nak basisiah
Didalam ampek puluah ampek
Barampek puti nan balabiah

Di dalam puti nan barampek
Dalam di-inok dimanuangan
Jarang buliah maha didapek
Nan labiah diri si Santan

Ba-alah tando labiahnyo
Bogo kok samo dalam hati
Si Santan elok basonyo
Dang Dami ba Buruang Nuri

Dang Dami ba buruang rancak
Buruang ka pancari tuan
Kok hanyo buruang nan bijak
Pandai batutua ba kiasan

Pandai taurat pandai tanuang
Tahu di galah nan salapan
Pamenan Dang Dami ateh anjuang
Patuik dijinjiang ka Piaman

Malang saketek kok ndak dapek
Sulik di jinjiang nyo ka Tiku
Dang Dami bakabek arek
Buruang inyo pancari judu

Barabuik puti nak mambali
Di nan rancak samo katuju
Gak surang haram kok bajadi
Kandak datuak kok lai balaku
Apo pikiran datuak mudo.

Manuskrip Minangkabau, Berawal dari Surau

OLEH Yusriwal
Pengajar dan Peneliti Fakultas Sastra Unand
 
Naskah-naskah di Surau Bintuangan
Banyak penulis dan sastrawan Indonesia yang berasal dari Minangkabau, namun Minangkabau adalah salah satu kebudayaan di Sumatera yang tidak memiliki aksara. Setidaknya, belum pernah ditemukan manuskrip yang menggunakan aksara Minangkabau. Bukan berarti di Minangkabau tidak pernah ada tradisi tulis.
Diperkirakan bahwa tradisi tulis di Minangkabau dibawa oleh agama Islam. Hal itu dapat dilihat, misalnya pada manuskrip Minangkabau yang pernah ada, yang ditulis dalam bahasa Arab dan dalam bahasa Minangkabau atau Melayu, tetapi menggunakan aksara Arab yang dikenal dengan aksara Arab Melayu atau huruf Jawi.

Selasa, 31 Desember 2013

CARITO RANDAI MAGEK MANANDIN:Bapadoman Kapado Kaba Magek Manandin

Disusun Baliak Dek Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto


(BAGIAN 1)

Gurindam Duduak

Ampun baribu kali ampun
Pado panonton nan jauhari
Baiak kapado niniak mamak

Sapuluah jari kami susun
Kok ado taupek jo tapuji
Rila jo maaf kami mintak

Kurang batukuak kami mintak
Supayo gantang nak balanjuang
Baitu adaik di Nagari

Dari duduak kami katagak
Supayo niaik samo lansuang
Randai dimulai hanyo lai

Karya Sindhunata sebagai Novel Berdimensi Baru dalam Genre Sastra Indonesia Modern



OLEH B. Rahmanto
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)


I
Jauh sebelum kedua novel ini terbit, dalam Pertemuan Sastrawan Indonesia II yang dilaksanakan di TIM tahun 1974, perupa sekaligus penyair, cerpenis dan novelis Danarto menggemparkan publik baca puisi dalam rangka pertemuan sastrawan itu dengan puisinya yang berbentuk garis segi empat sebanyak sembilan buah seperti ini. 










Garis-garis yang membentuk segi empat itu ia sebutnya sebagai puisi. Orang boleh saja menyebut bahwa Danarto sebagai pelukis yang terbiasa berbicara lewat gambar, sudah tidak percaya lagi pada daya kemampuan bahasa konvensional sebagai wadah ekspresi kepenyairannya. Dilihat dari sub-topik pertemuan ilmiah HISKI ke-14 ini yang mencoba mencari genius lokal dalam sastra, persoalannya di sini tentu bukan apa makna puisi itu, tetapi terlebih pada sejauh mana Danarto mencoba membuka dimensi-dimensi baru dalam penulisan puisi. Mengapa segi empat seperti itu bisa disebut sebagai puisi. Apakah bahasa sebagai alat konvensional sedemikian miskin untuk menyampaikan maksudnya? 

MENAKJINGGO VERSUS DAMARWULAN:Dialog Seni Pertunjukan Jinggoan



Pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember dan Koordinator Kajian Perempuan Desantara, Jakarta

Sebuah fenomena menarik, cerita legendaris Damarwulan-Menakjinggo yang diilhami kisah perang Paregreg yang kemudian sering dilakonkan dalam pertunjukan Jinggoan dengan cerita yang merendahkan martabat rakyat Blambangan justru sangat digemari oleh masyarakat Using Banyuwangi selama bertahun-tahun. Implikasi cerita tersebut membuat masyarakat Using memikul beban yang mendalam sampai mengidap gejala psikologis sindroma rendah diri, seolah-olah berprototipe jahat, pemberontak, dan mabuk kekuasaan seperti halnya Menakjinggo.1 Kisah Damarwulan-Menakjinggo merupakan sejarah barat-timur (mulai dari zaman Majapahit-Blambangan sampai Mataram-Blambangan) selalu diwarnai hubungan yang tidak harmonis, peperangan, dan penaklukan.

Pengembangan Teori Sastra Bangesgresem: Sebuah Alternatif Teori Sastra Lokal Genius

OLEH Puji Santosa
Pusat Bahasa, Jakarta
puji_santosa@kompascyber.com

Pada tanggal 23–26 Maret 1988 di Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatera Barat, diadakan sebuah “Seminar Susastra Indonesia” yang membahas tentang teori dan kritik susastra Indonesia yang relevan, yakni teori dan kritik sastra yang berpijak pada bumi sendiri. Makalah seminar di Padang itu kemudian dikumpulkan oleh Mursal Esten dan diterbitkan menjadi buku oleh penerbit Angkasa Bandung (1989) dengan judul Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relavan. Namun, sampai sekarang tidak ada gayung bersambut, tidak ada tindak lanjut atas gagasan pencarian, penggalian, penemuan, dan pengembangan menjelang teori dan kritik susastra Indonesia yang relevan dengan kondisi dan situasi karya sastra Indonesia dan daerah yang disuarakan melalui seminar tersebut. Mereka (para pembicara dan pencetus gagasan seminar itu) kemudian lebih asyik dan menarik dengan teori-teori dan kritik sastra Barat. Kehidupan teori dan kritik sastra Barat masih mendominasi kehidupan akademik di kampus-kampus perguruan tinggi di Indonesia, juga sebagai sarana utama penelitian di lembaga-lembaga penelitian di Indonesia, bahkan menjadi perbincangan hangat (tak pernah basi) di forum-forum pertemuan ilmiah, seminar, simposium, dan kongres Bahasa Indonesia dari waktu ke waktu.

Perempuan dan Modernisasi dalam Novel Negeri Perempuan



OLEH Kurnia Ningsih
Universitas Negeri Padang


Pendahuluan 

Menurut para pakar sosiologi masyarakat dan kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Hanya saja perubahan yang meliputi semua aspek kehidupan termasuk individu itu sendiri tentu saja tidak sama kadarnya ada yang bersifat lambat, cepat maupun drastis. Modernisasi dalam hal ini termasuk yang drastis dan telah memberikan dampak yang boleh dikatakan cukup dahsyat terhadap kehidupan komunitas serta budayanya. Hal ini bisa jadi disebabkan kemajuan tehnologi yang sangat pesat yang membuat batas antara satu negara dengan negara lain bahkan satu budaya dengan budaya lain semakin menipis. Semua peristiwa yang terjadi diujung dunia lain dapat dilihat oleh semua umat di bumi bahkan dapat ditiru. Perubahan yang terjadi tentunya tergantung kepada sikap masyarakat yang mene-rimanya. Seperti yang dikatakan oleh Kleden dalam makalahnya (2003), kalau seseorang menghadapi berbagai pengaruh kebudayaan itu secara kreatif, maka apa pun yang jatuh ke tangannya akan menghasilkan suatu cipta-budaya, tetapi kalau dihadapi dengan sikap menerima saja maka yang tercipta hanyalah budaya tiruan yang lebih menunjukkan asal usul pengaruh tersebut.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...