Selasa, 31 Desember 2013

Karya Sindhunata sebagai Novel Berdimensi Baru dalam Genre Sastra Indonesia Modern



OLEH B. Rahmanto
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)


I
Jauh sebelum kedua novel ini terbit, dalam Pertemuan Sastrawan Indonesia II yang dilaksanakan di TIM tahun 1974, perupa sekaligus penyair, cerpenis dan novelis Danarto menggemparkan publik baca puisi dalam rangka pertemuan sastrawan itu dengan puisinya yang berbentuk garis segi empat sebanyak sembilan buah seperti ini. 










Garis-garis yang membentuk segi empat itu ia sebutnya sebagai puisi. Orang boleh saja menyebut bahwa Danarto sebagai pelukis yang terbiasa berbicara lewat gambar, sudah tidak percaya lagi pada daya kemampuan bahasa konvensional sebagai wadah ekspresi kepenyairannya. Dilihat dari sub-topik pertemuan ilmiah HISKI ke-14 ini yang mencoba mencari genius lokal dalam sastra, persoalannya di sini tentu bukan apa makna puisi itu, tetapi terlebih pada sejauh mana Danarto mencoba membuka dimensi-dimensi baru dalam penulisan puisi. Mengapa segi empat seperti itu bisa disebut sebagai puisi. Apakah bahasa sebagai alat konvensional sedemikian miskin untuk menyampaikan maksudnya? 

MENAKJINGGO VERSUS DAMARWULAN:Dialog Seni Pertunjukan Jinggoan



Pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember dan Koordinator Kajian Perempuan Desantara, Jakarta

Sebuah fenomena menarik, cerita legendaris Damarwulan-Menakjinggo yang diilhami kisah perang Paregreg yang kemudian sering dilakonkan dalam pertunjukan Jinggoan dengan cerita yang merendahkan martabat rakyat Blambangan justru sangat digemari oleh masyarakat Using Banyuwangi selama bertahun-tahun. Implikasi cerita tersebut membuat masyarakat Using memikul beban yang mendalam sampai mengidap gejala psikologis sindroma rendah diri, seolah-olah berprototipe jahat, pemberontak, dan mabuk kekuasaan seperti halnya Menakjinggo.1 Kisah Damarwulan-Menakjinggo merupakan sejarah barat-timur (mulai dari zaman Majapahit-Blambangan sampai Mataram-Blambangan) selalu diwarnai hubungan yang tidak harmonis, peperangan, dan penaklukan.

Pengembangan Teori Sastra Bangesgresem: Sebuah Alternatif Teori Sastra Lokal Genius

OLEH Puji Santosa
Pusat Bahasa, Jakarta
puji_santosa@kompascyber.com

Pada tanggal 23–26 Maret 1988 di Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatera Barat, diadakan sebuah “Seminar Susastra Indonesia” yang membahas tentang teori dan kritik susastra Indonesia yang relevan, yakni teori dan kritik sastra yang berpijak pada bumi sendiri. Makalah seminar di Padang itu kemudian dikumpulkan oleh Mursal Esten dan diterbitkan menjadi buku oleh penerbit Angkasa Bandung (1989) dengan judul Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relavan. Namun, sampai sekarang tidak ada gayung bersambut, tidak ada tindak lanjut atas gagasan pencarian, penggalian, penemuan, dan pengembangan menjelang teori dan kritik susastra Indonesia yang relevan dengan kondisi dan situasi karya sastra Indonesia dan daerah yang disuarakan melalui seminar tersebut. Mereka (para pembicara dan pencetus gagasan seminar itu) kemudian lebih asyik dan menarik dengan teori-teori dan kritik sastra Barat. Kehidupan teori dan kritik sastra Barat masih mendominasi kehidupan akademik di kampus-kampus perguruan tinggi di Indonesia, juga sebagai sarana utama penelitian di lembaga-lembaga penelitian di Indonesia, bahkan menjadi perbincangan hangat (tak pernah basi) di forum-forum pertemuan ilmiah, seminar, simposium, dan kongres Bahasa Indonesia dari waktu ke waktu.

Perempuan dan Modernisasi dalam Novel Negeri Perempuan



OLEH Kurnia Ningsih
Universitas Negeri Padang


Pendahuluan 

Menurut para pakar sosiologi masyarakat dan kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Hanya saja perubahan yang meliputi semua aspek kehidupan termasuk individu itu sendiri tentu saja tidak sama kadarnya ada yang bersifat lambat, cepat maupun drastis. Modernisasi dalam hal ini termasuk yang drastis dan telah memberikan dampak yang boleh dikatakan cukup dahsyat terhadap kehidupan komunitas serta budayanya. Hal ini bisa jadi disebabkan kemajuan tehnologi yang sangat pesat yang membuat batas antara satu negara dengan negara lain bahkan satu budaya dengan budaya lain semakin menipis. Semua peristiwa yang terjadi diujung dunia lain dapat dilihat oleh semua umat di bumi bahkan dapat ditiru. Perubahan yang terjadi tentunya tergantung kepada sikap masyarakat yang mene-rimanya. Seperti yang dikatakan oleh Kleden dalam makalahnya (2003), kalau seseorang menghadapi berbagai pengaruh kebudayaan itu secara kreatif, maka apa pun yang jatuh ke tangannya akan menghasilkan suatu cipta-budaya, tetapi kalau dihadapi dengan sikap menerima saja maka yang tercipta hanyalah budaya tiruan yang lebih menunjukkan asal usul pengaruh tersebut.

Dinamika Gender dalam Konteks Adat dan Agama dalam Novel-novel Warna Lokal Minangkabau

OLEH Atmazaki
Universitas Negeri Padang

ATMAZAKI
Salah satu nilai yang sangat menonjol dan banyak dibicarakan sejak beberada dasawarsa terakhir ini adalah perbedaan perempuan dan laki-laki dari dimensi gender. Persoalan ini menjadi topik yang cukup hangat di kalangan intelektual. Persoalan ini pulalah yang banyak dipersoalkan oleh sastrawan melalui karya sastra. Hampir di setiap negara/bangsa, selalu ada sastrawan yang mengemukakan persoalan gender sebagai tema karyanya, seperti Sinclair Lewis di Amerika Serikat (Djajanegara, 1995:8), Elizabeth Gaskell, dan George Eliot di Inggris (Selden, 1989:114).  Bahkan, perkembangan awal sastra modern Indonesia dipenuhi oleh persoalan-persoalan gender.

Estetika dalam Perspektif Budaya Minangkabau

OLEH Yusriwal
Pengajar dan peneliti di Fakultas Sastra Unand
YUSRIWAL
Masalah estetika cukup rumit karena bidang ini bukan hanya sebatas seni dan filsafat. Untuk memahami estetika, beberapa hal perlu diperhatikan: 1) apresiasi terhadap seni mencakup pengamatan (mendengarkan, membaca, dan lain-lain) pada situasi dan modus yang berbeda sehingga seseorang dapat menikmati dan meresapi segala sesuatu yang terpendam dalam karya tersebut. Apresiasi sering melibatkan berbagai kalangan seperti dosen, pencinta seni, serta melalui berbagai cara seperti peragaan, percakapan formal, dan bahkan dengan mengulangi secara diam-diam; 2) kritik terhadap karya seni terdiri atas kata-kata, yaitu kata-kata tentang karya seni dan dirancang untuk lebih memahami dan mengapresiasi karya seni (gaya atau periodenya) dengan cermat. Kritik terhadap seni merupakan cara untuk mencapai tujuan akhir yang lazim dilakukan di akademi/universitas yang mengurusi seni, sastra, musik, lukisan, pahat arsitek dan tari dengan melibatkan orang yang begitu telaten di bidangnya; dan 3) estetika termasuk bidang filsafat. Dalam estetika kita mencoba mengklarifikasi konsep yang dipakai dalam berpikir dan berbicara tentang objek pengalaman estetika (yang umumnya adalah karya seni, objek alam, pohon, matahari, lereng bukit dan manusia itu sendiri). Di antara konsep-konsep yang dipakai secara konstan untuk membicarakan estetika adalah Estetika (keindahan), nilai keindahan, makna estetika, simbolisme, representasi, ekspresi, kebenaran, dan seni.

Senin, 30 Desember 2013

TRADISI SANTET SEBAGAI PRANATA BUDAYA LOKAL: Kajian Kelisanan Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using, Banyuwangi

OLEH Heru S.P. Saputra
Fakultas Sastra Universitas Jember

Pendahuluan
Sudah menjadi realitas empiris bahwa sastra, baik lisan maupun tulis, merupakan salah satu bentuk ekspresi estetis yang sarat dengan muatan budaya. Di dalam kedua bentuk karya tersebut terjadi dialektika budaya yang saling mengisi dan melengkapi. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kajian-kajian sastra tulis (khususnya sastra Indonesia modern), dari segi kuantitas, lebih mendominasi, sedangkan kajian-kajian sastra lisan cenderung sebagai “anak tiri” yang dinomorduakan (Suryadi, 1993: 8-9). Ketimpangan semacam itu menggelisahkan, terutama apabila mengacu pada konsepsi awal yang dilontarkan Teeuw (1988:304-305) bahwa sastra, baik dari segi sejarah maupun tipologi, tidak baik apabila diadakan pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis. Keduanya harus dipandang sebagai kesatuan dan keseluruhan, yakni tidak dipecah-belah berdasarkan pertentangan yang tidak hakiki. Selain itu, perlu dihindari adanya pertentangan dalam penilaian, seolah-olah hanya sastra tulis saja yang mempunyai nilai (tinggi).

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...