Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)
I
Jauh sebelum kedua novel ini terbit, dalam
Pertemuan Sastrawan Indonesia II yang dilaksanakan di TIM tahun 1974, perupa sekaligus penyair, cerpenis dan
novelis Danarto menggemparkan publik baca puisi dalam rangka pertemuan
sastrawan itu dengan puisinya yang berbentuk garis segi empat sebanyak sembilan
buah seperti ini.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Garis-garis yang membentuk segi empat itu ia
sebutnya sebagai puisi. Orang boleh saja menyebut bahwa Danarto sebagai pelukis
yang terbiasa berbicara lewat gambar, sudah tidak percaya lagi pada daya
kemampuan bahasa konvensional sebagai wadah ekspresi kepenyairannya. Dilihat
dari sub-topik pertemuan ilmiah HISKI ke-14 ini yang mencoba mencari genius
lokal dalam sastra, persoalannya di sini tentu bukan apa makna puisi itu,
tetapi terlebih pada sejauh mana Danarto mencoba membuka dimensi-dimensi baru
dalam penulisan puisi. Mengapa segi empat seperti itu bisa disebut sebagai
puisi. Apakah bahasa sebagai alat konvensional sedemikian miskin untuk
menyampaikan maksudnya?