Senin, 30 Desember 2013

Revitalisasi Indigeneous Literature, Cara Lain Membaca “Revitalisasi Sastra Pedalaman”



OLEH Ganjar Hwia
Balai Bahasa Semarang
Pamuka: Membaca Potensi Keaslian- Masa Silam-Modern
Di tengah rutinitas kerja penelitian tentang sastra modern Indonesia dan pembelajaran sastra yang menjadi spesialisasi bidang saya, saya sempat terpesona oleh hasil penelitian sastra asli (indigeneous literature)[1] di daerah-daerah “pedalaman” Indonesia yang pernah dilakukan oleh peneliti di Balai-Balai Bahasa dan induk tempat kerja saya, Pusat Bahasa. Begitu banyak, dan insya Allah masih banyak lagi, hasil penelitian tentang sastra asli Indonesia ini.  Obyeknya pun bermacam-macam, seperti sastra lisan (yang terbanyak), hikayat, cerita pendek, puisi, sastra lakon, naskah lama, serta biografi sastrawan[2].

Minggu, 22 Desember 2013

DIALOG FORUM EDITOR: Ekonomi Jalan di Tempat


Suasana Dialog Forum Editor edisi khusus di Hotel Ibis Padang
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Barat 2014 diprediksi tidak banyak berubah dari 2013 alias jalan di tempat. Pengamat menandai pertumbuhan dengan angka-angka, padahal kondisi ril nyaris tak berubah. Untuk kondisi Indonesia, pertumbuhan sering tidak sama dengan kenyataan.
Hal itu terungkap dalam Dialog Forum Editor edisi spesial akhir tahun yang digelar di lantai teratas Hotel Ibis Padang, Sabtu (21/12) malam. Edisi ini akan ditayangkan di Padang TV dan disiarkan RRI Padang serta Radio Classy.

Rabu, 18 Desember 2013

ANALISIS DALAM PERGOLAKAN PRRI (1958-1961): Perempuan, Seks, dan Perang

OLEH Reni Nuryanti 
Universitas Samudra Aceh

Pengatar
Tulisan ini membahas relasi antara: perempuan, seks, dan perang dalam pergolakan PRRI (1958-1961). Selama kurun tiga tahun pergolakan di Sumatera Barat, perempuan Minangkabau dihadapkan pada situasi dilematis. Dalam situasi rumit, sebagian perempuan ikut menjadi korban. Beragam kepentingan atas nama PRRI, menjadi tragedi tersendiri. Mereka mengalami intmidasi dari dua arah: pasukan PRRI dan APRI. Pada akhirnya, PRRI membawa perempuan dalam dua kelompok: mereka yang eksis dan tenggelam dalam konflik. Mereka yang eksis, menginduk ke organisasi politik atau mengikuti suami bergerilya dalam barisan PRRI. Sementara yang tenggelam, pasrah dengan situasi.

Kebijakan dan Dinamika Sastra di Padang

OLEH Darman Moenir
Sastrawan

Darman Moenir
Kebijakan sastra di Padang, Sumatra Barat, terkait dengan sejumlah lembaga pemerintah dan non-pemerintah serta interaksinya dengan berbagai kalangan di masyarakat.
Birokratisasi sastra dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Gubernur, Wali Kota) dan Bidang Kesenian Kantor Wilayah Departemen Pen-didikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat. Lembaga non-pemerintah yang didanai oleh Peme-rintah Daerah (Pemda) dan berdasarkan SK Gubernur dan berperan dalam mengelola kesusastraan adalah Pusat Kesenian Padang yang kemudian menjadi Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat (TBPSB), serta Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB). Pengayoman kegiatan kesusastraan didukung oleh sejumlah universitas, terutama melalui kegiatan ekstrakuri-kuler, yakni IKIP Padang, IAIN Imam Bonjol, Universitas Andalas dan Universitas Bung Hatta. Sementara itu lembaga yang berperan mengekang mobilitas sastra adalah aparat keamanan seperti Laksuskomkamtibda, Kodim dan Polresta.

Perempuan tentang Tubuh-tubuh dan Globalisasi: Jadilah Perempuan Pembangkang


OLEH Ka’bati
Penulis Novel Padusi dan Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana Unand

Saat ini–setidaknya di Kota Padangsangat sulit kita mencari kepala perempuan yang bebas dari  tusukan jarum atau untaian manik-manik dan segala aksesoris lainnya, terutama pada jam-jam kerja. Perempuan PNS, perempuan guru, perempuan dosen, perempuan mahasiswa, perempuan dokter, perempuan politik, siswi sekolah rata-rata berdandan cenderung sama; Rambut di kucir tinggi lalu dibungkus dengan kain berbahan kaos yang diikat ketat. Belum cukup puas dengan tutup seperti itu, rambut dan kepala ditimbuni lagi dengan jilbab warna warni dan dipaku dengan peniti rumbai-rumbai, alasannya: Modis.

Refleksi Keritik Sastra: Melewati Tahun-tahun Ironi

OLEH Ivan Adilla
Kritikus Sastra

Ivan Adilla
Refleksi adalah menapak jejak masa lalu. Untuk tidak terlalu menyulitkan, jejak yang ingin ditapaki kali ini adalah yang berkaitan dengan kritik sastra, yang dari sana kita bisa melebarkannya ke bidang seni lain juga.
Dirumuskan dengan pendek, tahun-tahun yang kita lalui sejak dua atau tiga puluh tahun yang lalu diakhiri dengan ironi yang menguat. Dunia sastra dan seni pada umumnya di Sumatra Barat menutup abad ini dengan ironi. Ironi itu adalah; Ironi pertama, semakin banyak sastrawan muncul, semakin baik mutu karya, tetapi semakin tak ada kritik dan kritikus yang dengan setia dan tekun mengamati itu semua. Ironi kedua, semakin banyak perguruan tinggi sastra dibuat, semakin banyak alumnus dan sarjana sastra, semakin tak ada kritikus yang lahir. Ironi ketiga, dugaan bahwa Fakultas Sastra adalah ujian yang menakutkan untuk calon kritikus, kini telah memper-lihatkan kenyataannya. Padahal, sebaliknya, pergu-ruan tinggi untuk menulis karya sasrta tak pernah ada tetapi sastrawan makin banyak.

Selasa, 17 Desember 2013

Refleksi Sastra Sumatra Barat

OLEH Gus tf
Kolektor dan Pekerja Puisi

Pembicaraan atau diskusi dengan topik “Refleksi Sastra Sumatra Barat”, menurut hemat saya, baik dibatasi dengan, pertama, agar tidak melebar dan lebih dalam, pembicaraan difokuskan pada dua atau tiga dasawarsa terakhir. Dengan demikian pem-bicaraan akan sangat mungkin hanya tentang karya sastra yang penulisnya masih hidup, dan diharapkan berada di ruangan ini. Pun sebenarnyalah, apa guna, atau arti, kata “refleksi” bagi mereka yang telah mati? Dan oleh karenanya, kedua, izinkanlah saya untuk mungkin  akan bicara lebih banyak tentang orang-orang, tentang para penulis, dibanding karya sastra. Bukan hanya karena kata “refleksi” membuat saya mesti berketat dengan para pelaku sastra, melainkan keniscayaan bahwa topik kita kali ini hanya akan omong kosong tanpa melibatkan impuls dan daya-juang sastrawan untuk sesuatu yang di kemudian hari mungkin disebut “pencapaian”. 

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...