Rabu, 18 Desember 2013

Perempuan tentang Tubuh-tubuh dan Globalisasi: Jadilah Perempuan Pembangkang


OLEH Ka’bati
Penulis Novel Padusi dan Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana Unand

Saat ini–setidaknya di Kota Padangsangat sulit kita mencari kepala perempuan yang bebas dari  tusukan jarum atau untaian manik-manik dan segala aksesoris lainnya, terutama pada jam-jam kerja. Perempuan PNS, perempuan guru, perempuan dosen, perempuan mahasiswa, perempuan dokter, perempuan politik, siswi sekolah rata-rata berdandan cenderung sama; Rambut di kucir tinggi lalu dibungkus dengan kain berbahan kaos yang diikat ketat. Belum cukup puas dengan tutup seperti itu, rambut dan kepala ditimbuni lagi dengan jilbab warna warni dan dipaku dengan peniti rumbai-rumbai, alasannya: Modis.

Refleksi Keritik Sastra: Melewati Tahun-tahun Ironi

OLEH Ivan Adilla
Kritikus Sastra

Ivan Adilla
Refleksi adalah menapak jejak masa lalu. Untuk tidak terlalu menyulitkan, jejak yang ingin ditapaki kali ini adalah yang berkaitan dengan kritik sastra, yang dari sana kita bisa melebarkannya ke bidang seni lain juga.
Dirumuskan dengan pendek, tahun-tahun yang kita lalui sejak dua atau tiga puluh tahun yang lalu diakhiri dengan ironi yang menguat. Dunia sastra dan seni pada umumnya di Sumatra Barat menutup abad ini dengan ironi. Ironi itu adalah; Ironi pertama, semakin banyak sastrawan muncul, semakin baik mutu karya, tetapi semakin tak ada kritik dan kritikus yang dengan setia dan tekun mengamati itu semua. Ironi kedua, semakin banyak perguruan tinggi sastra dibuat, semakin banyak alumnus dan sarjana sastra, semakin tak ada kritikus yang lahir. Ironi ketiga, dugaan bahwa Fakultas Sastra adalah ujian yang menakutkan untuk calon kritikus, kini telah memper-lihatkan kenyataannya. Padahal, sebaliknya, pergu-ruan tinggi untuk menulis karya sasrta tak pernah ada tetapi sastrawan makin banyak.

Selasa, 17 Desember 2013

Refleksi Sastra Sumatra Barat

OLEH Gus tf
Kolektor dan Pekerja Puisi

Pembicaraan atau diskusi dengan topik “Refleksi Sastra Sumatra Barat”, menurut hemat saya, baik dibatasi dengan, pertama, agar tidak melebar dan lebih dalam, pembicaraan difokuskan pada dua atau tiga dasawarsa terakhir. Dengan demikian pem-bicaraan akan sangat mungkin hanya tentang karya sastra yang penulisnya masih hidup, dan diharapkan berada di ruangan ini. Pun sebenarnyalah, apa guna, atau arti, kata “refleksi” bagi mereka yang telah mati? Dan oleh karenanya, kedua, izinkanlah saya untuk mungkin  akan bicara lebih banyak tentang orang-orang, tentang para penulis, dibanding karya sastra. Bukan hanya karena kata “refleksi” membuat saya mesti berketat dengan para pelaku sastra, melainkan keniscayaan bahwa topik kita kali ini hanya akan omong kosong tanpa melibatkan impuls dan daya-juang sastrawan untuk sesuatu yang di kemudian hari mungkin disebut “pencapaian”. 

Jumat, 13 Desember 2013

Menulis Puisi, Ritual dalam Diri



OLEH Yori Kayama
Penikmat Puisi

“Ia membawa kita kepada suatu tingkat maklum. Ia membawa kita kepada suatu tingkat, di mana kita dapat maklum-memaklumi sesama manusia, sehingga dapat merasai adamya suatu kenyataan dan dapat menghargai pesarasaan itu dan memasukkannya ke dalam perhitungan kita” (Asrul Sani)
Yang seperti i itulah yang dapat kita petik dan rasakan dari sebuah puisi. Secara etimologis puisi berasal dari bahasa Yunani, yang pada awalnya disebut dengan poesis yang artinya adalah penciptaan. Sedangkan dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi adalah poetry yang berawal dari kata poet dan poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan,1986:4) menjelaskan bahwa kata poet  juga berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta, dalam bahasa Yunani sendiri kata poet berarti adalah orang yang mencipta melalui imajinasinya, pada zaman itu sendiri biasanya orang-orang seperti itu bisa dikatakan sama dengan dewa-dewa. Mereka yang memiliki penciptaan itu adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci atau kaum filsuf serta negarawan yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

Sabtu, 07 Desember 2013

Kenangan Hari Raya



CERPEN Indrian Koto
“Jika puasamu bolong satu hari saja tanpa alasan, maka puasa-puasa lain di bulan itu tidak akan diterima,” kata ibu ketika aku kelas tiga sekolah dasar. Ajaib, untuk pertama kalinya puasaku penuh sebulan tanpa bolong sama sekali.
Kata-kata ajaib ibu itu terus menjadi motivasi buatku untuk selalu berpuasa dan tak ingin bolong satu hari pun. Namun, seiring usia, justru aku merasa puasa terasa semakin berat dan penuh godaan.
Yang sangat berat bagiku ketika kecil tentu saja bangun untuk makan sahur. Sehabis itu di minggu-minggu awal puasa, anak-anak dan para remaja, akan menghambur keluar rumah. Rasanya asyik saja sehabis subuh jalan-jalan tak tentu arah. Mereka yang sudah mengenal asmara tentu lebih menikmati kesempatan itu. Setelahnya kami meringkuk tidur dan bangun di siang hari. Laki-laki berkumpul di pos ronda, anak gadis biasanya berkumpul di rumah teman perempuannya dengan muka penuh bedak beras.

Naru dan Layang



CERPEN Yetti A.KA
 Mereka berteman baik dari kecil meski tidak pernah belajar di sekolah yang sama. Sudah beberapa lama ini pula Naru tahu kalau Layang memiliki dada yang berat. Kadang saat main di rumah Naru, Layang mengeluh tentang dadanya itu. Setengah berfantasi karena ingat cerita Jack dan Pohon Kacang Ajaib Naru bertanya: Layang, apa kau merasa ada yang tumbuh di dadamu, semacam kacang ajaib yang terus membesar?
Layang tertawa mendengar pertanyaan Naru (ah, benarkah ia sungguh-sungguh tertawa?). Lalu ia membuka bajunya, memperlihatkan dada tipis dengan tulang-tulang yang seakan ingin keluar. Apa menurutmu dada ini tidak terlalu tipis untuk sebatang kacang yang besar, Naru? tanyanya. Naru merasa bersalah pada Layang karena tidak dapat membantunya untuk merasa lebih baik. Sesuatu yang—menurut cerita Layang—menghimpit dan hampir-hampir tidak menyisakan ruang kosong untuk bernapas, pada saat-saat tertentu.

Lampu Merah di Senyum Ibu


CERPEN Ilham Yusardi
Penundaan keberangkatan. Aku hilang mood, begitu tahu delay keberangkatan untuk pesawat yang akan kutumpangi.  Dari pukul tiga siang ini menjadi pukul lima, sore nanti. Tidak ada alasan yang jelas. Alamak! Aku sudah capek-capek, buru-buru, pukul dua tadi sudah datang di bandara besar ini.
Meskipun demikian, Aku hanya butuh sedikit kesabaran untuk hal yang lebih penting. Nanti, kalau sudah di atas udara aku bisa tidur pulas barang dua jam. Begitu tiba di rumah, mencium tangan ibu dan mengajukan hasratku kepada ibu.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...