Jumat, 13 Desember 2013

Menulis Puisi, Ritual dalam Diri



OLEH Yori Kayama
Penikmat Puisi

“Ia membawa kita kepada suatu tingkat maklum. Ia membawa kita kepada suatu tingkat, di mana kita dapat maklum-memaklumi sesama manusia, sehingga dapat merasai adamya suatu kenyataan dan dapat menghargai pesarasaan itu dan memasukkannya ke dalam perhitungan kita” (Asrul Sani)
Yang seperti i itulah yang dapat kita petik dan rasakan dari sebuah puisi. Secara etimologis puisi berasal dari bahasa Yunani, yang pada awalnya disebut dengan poesis yang artinya adalah penciptaan. Sedangkan dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi adalah poetry yang berawal dari kata poet dan poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan,1986:4) menjelaskan bahwa kata poet  juga berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta, dalam bahasa Yunani sendiri kata poet berarti adalah orang yang mencipta melalui imajinasinya, pada zaman itu sendiri biasanya orang-orang seperti itu bisa dikatakan sama dengan dewa-dewa. Mereka yang memiliki penciptaan itu adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci atau kaum filsuf serta negarawan yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

Sabtu, 07 Desember 2013

Kenangan Hari Raya



CERPEN Indrian Koto
“Jika puasamu bolong satu hari saja tanpa alasan, maka puasa-puasa lain di bulan itu tidak akan diterima,” kata ibu ketika aku kelas tiga sekolah dasar. Ajaib, untuk pertama kalinya puasaku penuh sebulan tanpa bolong sama sekali.
Kata-kata ajaib ibu itu terus menjadi motivasi buatku untuk selalu berpuasa dan tak ingin bolong satu hari pun. Namun, seiring usia, justru aku merasa puasa terasa semakin berat dan penuh godaan.
Yang sangat berat bagiku ketika kecil tentu saja bangun untuk makan sahur. Sehabis itu di minggu-minggu awal puasa, anak-anak dan para remaja, akan menghambur keluar rumah. Rasanya asyik saja sehabis subuh jalan-jalan tak tentu arah. Mereka yang sudah mengenal asmara tentu lebih menikmati kesempatan itu. Setelahnya kami meringkuk tidur dan bangun di siang hari. Laki-laki berkumpul di pos ronda, anak gadis biasanya berkumpul di rumah teman perempuannya dengan muka penuh bedak beras.

Naru dan Layang



CERPEN Yetti A.KA
 Mereka berteman baik dari kecil meski tidak pernah belajar di sekolah yang sama. Sudah beberapa lama ini pula Naru tahu kalau Layang memiliki dada yang berat. Kadang saat main di rumah Naru, Layang mengeluh tentang dadanya itu. Setengah berfantasi karena ingat cerita Jack dan Pohon Kacang Ajaib Naru bertanya: Layang, apa kau merasa ada yang tumbuh di dadamu, semacam kacang ajaib yang terus membesar?
Layang tertawa mendengar pertanyaan Naru (ah, benarkah ia sungguh-sungguh tertawa?). Lalu ia membuka bajunya, memperlihatkan dada tipis dengan tulang-tulang yang seakan ingin keluar. Apa menurutmu dada ini tidak terlalu tipis untuk sebatang kacang yang besar, Naru? tanyanya. Naru merasa bersalah pada Layang karena tidak dapat membantunya untuk merasa lebih baik. Sesuatu yang—menurut cerita Layang—menghimpit dan hampir-hampir tidak menyisakan ruang kosong untuk bernapas, pada saat-saat tertentu.

Lampu Merah di Senyum Ibu


CERPEN Ilham Yusardi
Penundaan keberangkatan. Aku hilang mood, begitu tahu delay keberangkatan untuk pesawat yang akan kutumpangi.  Dari pukul tiga siang ini menjadi pukul lima, sore nanti. Tidak ada alasan yang jelas. Alamak! Aku sudah capek-capek, buru-buru, pukul dua tadi sudah datang di bandara besar ini.
Meskipun demikian, Aku hanya butuh sedikit kesabaran untuk hal yang lebih penting. Nanti, kalau sudah di atas udara aku bisa tidur pulas barang dua jam. Begitu tiba di rumah, mencium tangan ibu dan mengajukan hasratku kepada ibu.

Peziarah Pulang Terlalu Pagi



OLEH Maya Lestari Gf
Dan lalu, ketika kuburan itu selesai dibuat, maka berdirilah sekalian orang di tepiannya. Berkata salah satunya.
“Sudah selesai, persis seperti yang diminta,” tuturnya sambil menyeka muka penuh keringat. Wajahnya dikotori butir-butir tanah basah dimamah gerimis. Pagi mendung. Cuaca tak bersahabat. Tapi sebelas orang itu terus bahu-membahu menggali hingga ke dasar. Satu koma delapan meter dalam lubang kuburan itu. Panjangnya seukuran itu pula. Persis seperti yang diminta oleh orang yang akan berkubur di situ.

Kota Ketiga



CERPEN Deddy Arsya
Saya pergi ke plaza bersama ayah. Berpikir, plaza tentu tak bernasib seperti kedai kami, setiap hujan turun pasti akan terendam. Mari jalan-jalan ke plaza! seru ayah setelah kami selesai menutup kedai sore itu.
Sehabis pulang sekolah, saya sering disuruh ibu membantu ayah di kedai. Saya anak satu-satunya di keluarga kami. Ayah mulai tua dan gampang lelah. Kami berkedai di pasar raya, tetapi sungguh kami belum pernah mengunjungi plaza yang baru dibangun beberapa bulan yang lalu itu.
Plaza yang berdiri di bekas terminal kota.
Kami tinggal di pinggiran kota, tapi sebenarnya kami adalah orang-orang kampung juga. Kami hanya mendengar dari orang-orang di tempat kami, tentang plaza baru yang megah itu. Dan ibu begitu keranjingan ingin pergi ke sana. Hanya ayah tak pernah mau mengajak ibu. Entah kenapa ibu pun tak mau pergi sendiri.

Kota yang Runtuh



CERPEN Ragdi F. Daye


Ketika dia datang dan tersenyum di ambang pintu dengan tubuh yang menggetarkan itu, kau merasa lututmu goyah. Rasanya tak sabar lagi kau untuk menghambur dan melabuhkan kepala di dadanya.
Kepada ibumu dia berkata hendak membawamu jalan-jalan ke luar: Untuk mengenal lebih dalam.
“Pergilah,” izin ibumu. “Tapi jangan pulang terlalu malam. Ingat, kalian baru tunangan.”
Dengan tersipu-sipu kau bergegas masuk ke dalam kamar. Mencari baju paling indah yang kau punya. Kau patut-patut diri di depan kaca. Merapikan kerudung hijau muda di kepala. Di cermin, kembali kau melihat wajah persegi itu tersenyum hangat. Akhirnya doa panjangmu terjawab. Tidak tanggung-tanggung. Kau dikirimkan sesosok malaikat.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...