Sabtu, 07 Desember 2013

Peziarah Pulang Terlalu Pagi



OLEH Maya Lestari Gf
Dan lalu, ketika kuburan itu selesai dibuat, maka berdirilah sekalian orang di tepiannya. Berkata salah satunya.
“Sudah selesai, persis seperti yang diminta,” tuturnya sambil menyeka muka penuh keringat. Wajahnya dikotori butir-butir tanah basah dimamah gerimis. Pagi mendung. Cuaca tak bersahabat. Tapi sebelas orang itu terus bahu-membahu menggali hingga ke dasar. Satu koma delapan meter dalam lubang kuburan itu. Panjangnya seukuran itu pula. Persis seperti yang diminta oleh orang yang akan berkubur di situ.

Kota Ketiga



CERPEN Deddy Arsya
Saya pergi ke plaza bersama ayah. Berpikir, plaza tentu tak bernasib seperti kedai kami, setiap hujan turun pasti akan terendam. Mari jalan-jalan ke plaza! seru ayah setelah kami selesai menutup kedai sore itu.
Sehabis pulang sekolah, saya sering disuruh ibu membantu ayah di kedai. Saya anak satu-satunya di keluarga kami. Ayah mulai tua dan gampang lelah. Kami berkedai di pasar raya, tetapi sungguh kami belum pernah mengunjungi plaza yang baru dibangun beberapa bulan yang lalu itu.
Plaza yang berdiri di bekas terminal kota.
Kami tinggal di pinggiran kota, tapi sebenarnya kami adalah orang-orang kampung juga. Kami hanya mendengar dari orang-orang di tempat kami, tentang plaza baru yang megah itu. Dan ibu begitu keranjingan ingin pergi ke sana. Hanya ayah tak pernah mau mengajak ibu. Entah kenapa ibu pun tak mau pergi sendiri.

Kota yang Runtuh



CERPEN Ragdi F. Daye


Ketika dia datang dan tersenyum di ambang pintu dengan tubuh yang menggetarkan itu, kau merasa lututmu goyah. Rasanya tak sabar lagi kau untuk menghambur dan melabuhkan kepala di dadanya.
Kepada ibumu dia berkata hendak membawamu jalan-jalan ke luar: Untuk mengenal lebih dalam.
“Pergilah,” izin ibumu. “Tapi jangan pulang terlalu malam. Ingat, kalian baru tunangan.”
Dengan tersipu-sipu kau bergegas masuk ke dalam kamar. Mencari baju paling indah yang kau punya. Kau patut-patut diri di depan kaca. Merapikan kerudung hijau muda di kepala. Di cermin, kembali kau melihat wajah persegi itu tersenyum hangat. Akhirnya doa panjangmu terjawab. Tidak tanggung-tanggung. Kau dikirimkan sesosok malaikat.

DEKONSTRUKSI CITRA KEPEREMPUANAN DALAM SASTRA: Dari Budaya Lokal Hingga Global

OLEH Ali Imron A.M. 




Abstrak 
Sosok perempuan dalam karya sastra Indonesia tampil dengan pluralitas budaya dan makna yang kaya nuansa. Sejalan dengan mencuatnya issu gender dan eksisnya kaum wanita pada abad XXI seperti diprediksikan oleh futurolog Naisbitt & Aburdence (1990), citra dan stereotip perempuan dalam sastra Indonesia pun mengalami dinamika yang luar biasa unik dan menarik. 
Permasalahannya adalah bagaimana dinamika prasangka gender dalam sastra Indonesia. Lalu, bagaimana citra perempuan dalam sastra Indonesia dalam perspektif gender, dan bagaimana tipologi suara pengarang laki-laki dan perempuan dalam menyoroti sosok perempuan?
Dengan menggunakan pendekatan kritik sastra feminis ideologis dan dengan sampel bertujuan (purposive sample), maka ditemukan bahwa nuansa gender telah lama disoroti oleh para sastrawan kita, setidak-tidaknya dimulai pada roman Sitti Nurbaya karya Marah Rusli pada zaman Balai Pustaka. Sitti Nurabaya merupakan tokoh profeminis yang memprotes ketidakadilan gender yang telah mendarah daging, meskipun idenya tidak radikal. Dia hanya ingin membenahi sistem hubungan laki-laki dan perempuan sebagaimana mestinya.

PUISI Evan YS



Menjilat Luka Waktu

Langkah terseok tertatih menapak masa
Lelah mencerna suara tak beraturan

Bergumam, berdengung tanpa definisi

Aku muak, luka, dan muntah!

Darah dari luka-luka mengalir tak terbendung
Torehkan nyeri yang paling nyeri

Keculasan bertahta megah pada nurani
Kubur tembang perdamaian

Museumkan catatan usang

Demi sebuah keagungan
---sejarah---

akupun terseok menekan luka yang menerobos jantung

jilati hari tanpa makna

tanpa kata
tanpa suara

Kamis, 28 November 2013

Pohon Mangga di Muka Surau



CERPEN Sunlie Thomas Alexander
Mengapa masih saja kau cemaskan isyarat yang tumbuh pada matanya? Bukankah ia adalah takdir? Bagaimana kau harus menghindarinya?
“Apakah lebaran nanti, Abang pulang?” tanyanya menatapmu malu-malu. Kau melengos, berpaling ke arah surau kecil di belakangmu. Sejenak kau bingung. Hendak menjawab ya, kau takut memberikan harapan sementara kau belum memiliki kepastian soal itu. Bila menjawab tidak, mungkin akan mengecewakan. Bagaimana kalau kau betul-betul pulang nantinya?

Sepotong Nyanyian Senja


CERPEN Alwi Karmena
Dia sama sekali tidak ingin semuanya berakhir sedih. Tidak menyesal, apa lagi sampai membuahkan tangis. Dia ingin menguji hati nya, hati laki-laki yang seharusnya keras. Bukan seorang yang lembek dan bukan pula seorang yang sentimen. Meski telah beranjak tua . Ia rasa urat urat darahnya masih liat menahan dera perasaian. Tapi entah kenapa, hentak kenyataan, kali ini lain. Di rumah tangganya beban moral sudah demikian berat. Belakangan, bahkan dia merasa seperti telah terinjak-injak. Dan kiranya hal itu seperangkat kekeliruan, ianya sudah tak bisa memaafkan lagi. Dia akan bertindak, membuat semacam perlawanan hebat pada realita. Bagaimana pun akibatnya  nanti.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...