Kamis, 28 November 2013

Pohon Mangga di Muka Surau



CERPEN Sunlie Thomas Alexander
Mengapa masih saja kau cemaskan isyarat yang tumbuh pada matanya? Bukankah ia adalah takdir? Bagaimana kau harus menghindarinya?
“Apakah lebaran nanti, Abang pulang?” tanyanya menatapmu malu-malu. Kau melengos, berpaling ke arah surau kecil di belakangmu. Sejenak kau bingung. Hendak menjawab ya, kau takut memberikan harapan sementara kau belum memiliki kepastian soal itu. Bila menjawab tidak, mungkin akan mengecewakan. Bagaimana kalau kau betul-betul pulang nantinya?

Sepotong Nyanyian Senja


CERPEN Alwi Karmena
Dia sama sekali tidak ingin semuanya berakhir sedih. Tidak menyesal, apa lagi sampai membuahkan tangis. Dia ingin menguji hati nya, hati laki-laki yang seharusnya keras. Bukan seorang yang lembek dan bukan pula seorang yang sentimen. Meski telah beranjak tua . Ia rasa urat urat darahnya masih liat menahan dera perasaian. Tapi entah kenapa, hentak kenyataan, kali ini lain. Di rumah tangganya beban moral sudah demikian berat. Belakangan, bahkan dia merasa seperti telah terinjak-injak. Dan kiranya hal itu seperangkat kekeliruan, ianya sudah tak bisa memaafkan lagi. Dia akan bertindak, membuat semacam perlawanan hebat pada realita. Bagaimana pun akibatnya  nanti.

Jumat, 22 November 2013

Cerdas! Strategi Serangan Jilbab Hitam Diambil dari Skripsinya Sendiri

 OLEH HENDRA WARDHANA

Cerdas, itulah kesan pertama yang saya tangkap sesaat setelah selesai membaca salinan skripsi berjudul “Pemikiran dan Perjuangan Tan Malaka 1945-1949” milik seorang bernama Indro Bagus Satrio Utomo. Menyimak kekuatan ide dan jalinan kalimat yang mengisi skripsi tersebut tampak bahwa sang penulis sangat ingin mengangkat Tan Malaka. Menyimak setiap kalimatnya yang cair mengalir, sementara sebuah skripsi biasanya kaku, saya berfikir ia memang sosok yang cerdas, setidaknya ia berhasil menyajikan tulisan, argumen, dan analisis yang padu dalam skripsinya itu.

Membaca skripsi tersebut terasa bahwa sang penulis tahu banyak tentang Tan Malaka. Ia tahu Tan Malaka bukan hanya sebagai objek kajian skripsinya semata. Dengan kata lain Tan Malaka bukanlah nama yang seketika muncul akibat keterpaksaan harus mencari bahan skripsi. Skripsi tersebut pun benar-benar ditulis dari hati dan pantas mendapat nilai A.

Jilbab Hitam, Kebetulan Bukan Berarti Kebenaran

OLEH ANDREAS HARSONO

Jilbab Hitam sembunyi di balik identitas "mantan wartawati Tempo" atau "pacar Indro Bagus." Nama anonim membuat pembaca tak bisa mengukur derajad kepercayaan mereka terhadap Jilbab Hitam. Saya pakai fedora hitam, baju hitam dan kacamata hitam namun saya tak pakai nama gelap.

Rabu kemarin ketika hendak tidur siang, Metta Dharmasaputra dari Katadata, kirim SMS, “Mas, Jilbab Hitam alias Indro dan Ratu Adil baru nulis lagi di Kompasiana dan sekarang serang Mas Andreas juga.”

Saya jawab singkat: “Asyik” … ingin segera tidur. Tapi kantuk saya hilang. Saya memutuskan baca blog Jilbab Hitam, “Selingkuhnya Rudi Rubiandini, Pengalihan Isu Suap SKK Migas?” 


Selingkuhnya Rudi Rubiandini, Pengalihan Isu Suap SKK Migas?


OLEH JILBAB HITAM

Eks wartawan TEMPO, kini buruh biasa

Sempat bikin heboh, kalau tidak boleh dikatakan membahana sampai-sampai harus dihapus, kini saya kembali mau menuangkan reportase saya, secara individual tentunya, dibantu semangat dari kekasih saya Indro Bagus Satrio Utomo, yang disalahartikan sebagai saya.
Apa yang hendak saya reportasekan disini masih berkaitan dengan apa yang saya ungkap pada tulisan pertama yang kemudian dihapus oleh Kompasiana, yaitu ruang lingkup kasus SKK Migas.


Sabtu, 16 November 2013

Suara Lokal dalam Teks-teks Drama Mutakhir Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya UGM
Menunggu Godot (asbarez.com)
Teks-teks drama mutakhir Indonesia yang ditulis dua dekade terakhir (antara tahun 80-an hingga tahun 2000) sangat kental dengan warna lokal. Hal ini berbeda dengan trend penulisan teks drama era sebelumnya yang banyak mengambil pola teater avantgarde, terutama bentuk teater absurd. Pada tahun 60-an hingga awal 80-an, misalnya, teks drama yang muncul pada umumnya dipengaruhi oleh model drama yang ditawarkan seperti Samuel Beckett, Bertolt Brecht, Antonin Artoud, Stanislavsky, Grotowski, dan sebagainya. Sejarah perkembangan drama di Indonesia telah mencatat fenomena itu pada saat Rendra bersama Bengkel Teaternya mementaskan Menunggu Godot karya Samuel Beckett di TIM Jakarta pada tahun 1969 (Soemanto, 2000:5), kemudian disusul oleh drama minikatanya yang lain macam Bip-Bop. Sejak pementasan itu, pola drama avantgarde seolah-olah telah mencuri perhatian para penulis drama di Indonesia dan menjadi mode baru pementasan drama pada masa itu.

Teks Pidato Pasambahan Batagak Gala di Minangkabau dalam Perspektif Semiologi Roland Barthes

OLEH Silvia Rosa
Universitas Andalas, Padang
silvia_rosa2003@yahoo.com

Pidato Pasambahan Adat Minangkabau  (baralekdi.blogspot.com)
Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang masyarakatnya dikenal suka merantau. Begitu kuat kesukaan itu sehingga merantau bagi masyarakat tersebut bukan lagi sekedar aktivitas yang bersifat pribadi, yang semata-mata didasarkan pada tuntutan kepentingan ekonomis, melainkan sudah menjadi aktivitas kolektif dan merupakan imperatif kultural. 
Kuatnya kesukaan merantau telah turut mempengaruhi pandangan mereka tentang wilayah tempat tinggal. Mereka membagi wilayah tempat tinggalnya menjadi dua bagian, yaitu luhak dan rantau. Luhak adalah wilayah kediaman asli mereka, sedangkan rantau merupakan wilayah yang menjadi tujuan mereka dalam merantau. Luhak terletak di dataran tinggi, di bagian pedalaman, sedangkan rantau di dataran yang lebih rendah daripada luhak, di pesisir. Wilayah yang pertama oleh masyarakat Minangkabau disebut juga darek (darat), sedangkan yang kedua pasisia (pesisir).

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...