Sabtu, 16 November 2013

Langit Bandar Padang

CERPEN Deddy Arsya
Dia hendak menuruni tangga kapal ketika ingatan pada mimpinya tiba-tiba menghentikannya. Beberapa hari belakangan ini, dia terbayang lagi leher-leher yang putus tertebas parang, decap bunyi anak panah menghujam kulit tubuh, atau letusan meriam yang menyalak tiada henti. Bermula, dua malam berturut-turut di Batavia, sejak itu, dia terus bermimpi lagi tentang perang melawan pasukan Pangeran, kelepak terompah kuda, desing dan letusan balansa, besi-besi yang berdentang, juga dentuman-dentuman yang memekakkan telinga. Dia mulai lagi membayangkan nyalang mata musuh yang meregang nyawa menatapnya tak kejap-kejap, bunyi daging-daging yang terkelupas dan gosong terpanggang, tubuh-tubuh yang sungsang, juga kepala yang lepas dari badan.

Air Mata Badut



CERPEN  Alwi Karmena
“Sudah jadi kau cuci topeng sama baju Badut itu Sam?” tanya Syair sambil menelan sebutir obat sakit kepala.
“Ooo yaa ya. Sudah, sudah,” k,ata Samiarni, istri Syair yang kurus pipih itu tak bisa berdusta. Dia belum sempat mencuci topeng dan pakaian Badut, pakaian kerja yang dipesankan suaminya kemarin. Cuma, dia tak ingin Syair marah. Agak lain juga. Belakangan ini darah tingginya acap kumat. Untuk itu, sekali ini Samiarni terpaksa berdusta.

Catatan Dasein pada Festival Monolog Kenthut-Roedjito Solo: mesin Eksistensialis dalam Perangkap Virtual



OLEH Delvi Yandra
Penggiat Teater dan Pendongeng

Dasein [berarti ‘berada di dalam’; bahasa Jerman: da zain] merupakan suatu istilah yang sangat karib dalam karya besar filsuf Martin Heidegger (1889-1976) berjudul Being and Time. Ia memakai istilah tersebut untuk menjelaskan kemampuan manusia dalam eksistensinya atau kemampuan ‘menetap’ dan memaknai hidupnya di dunia.
Istilah tersebut juga menjadi judul dari naskah drama yang sekaligus disutradarai oleh Bina Margantara pada rangkaian Festival Monolog ‘Kenthut-Roedjito’ di Solo, Kamis (5/7) malam lalu. Pentas tersebut dilakukan untuk mengenang dua tokoh teater: Bambang Widoyo SP (Kenthut) dan Roedjito (Mbah Jito).
Dalam pentas yang ke 29 tersebut, lewat Dasein, kelompok Teater Rumah Teduh tampil di Kelurahan Danukusuman, Kecamatan Serengan, Solo-Surakarta. Setelah sebelumnya pada Rabu (4/7) malam semua peserta melakukan upacara keprihatinan budaya di Lapangan Danukusuman Tanggul Budaya (tanggul di pinggiran sungai), bersama Butet Kertarejasa, Didik Nini Thowok, Slamet Gundono, Tony Broer, Yusril (Katil), Anastasya dan tokoh-tokoh teater lainnya. Hadir juga kelompok teater dari pelbagai kota seperti Padang, Banjarmasin, Makassar, Palu, Bali, Surabaya, Solo, Pekalongan, Jepara, Bandung, dan Jakarta. Upacara tersebut diadakan mengingat terancamnya 49 mata air apabila di Danukusuman didirikan pabrik semen oleh pemerintah.

Jilbab Hitam Versus Tempo: Sebuah Belantara Hitam Pers Indonesia

Berikut adalah link polemik yang awalnya dipicu pengakuan seorang yang mengaku mantan wartawan Tempo dengan menggunakan nama anonim "Jilbab Hitam" terhadap sepak terjang majalah Tempo, dan media lainnya.  Ini merupakan sejarah perjalanan pers di negeri ini dan perlu didokumentasikan secara benar.  Link bersumber dari www.rimanews.com dan tempo.co.
Pengasuh

Saya adalah seorang perempuan biasa yang sempat bercita-cita menjadi seorang wartawan. Menjadi wartawan TEMPO tepatnya. Kekaguman saya terhadap sosok Goenawan Mohamad yang menjadi alasan utamanya. Dimulai dari mengoleksi coretan-coretan beliau yang tertuang dalam ‘Catatan Pinggir’ hingga rutin membaca Majalah TEMPO sejak masih duduk di bangku pelajar, membulatkan tekad saya untuk menjadi bagian dalam grup media TEMPO.

Sesungguhnya apa sih yang membuat Bos TEMPO kelabakan ketika dituding terlibat mafia pemerasan kepada pihak-pihak bermasalah? Sedemikian paniknya Bos TEMPO melayani postingan blog yang ditulis oleh akun @Jilbab Hitam. Sehingga terkesan ada apa-apanya antara mahluk halus @Jilbab hitam dengan managemen Tempo Grup.

Berangkat dari apa yang di katakan oleh Pepatah “ Tidak Mungkin Ada Asap Kalau Tidak Ada Api “ begitulah kita menilai atas apa yang di tulis oleh Jilbab Hitam tentang kebobrokan Majalah Tempo yang di motori oleh Gunawan Muhammad dan Bambang Hari Murti. Walaupun penulis belum sempat membaca apa yang di tulis oleh Jilbab Hitam yang menelanjangi Majalah Tempo. Majalah yang cukup terkenal di Tanah Air bahkan di Asia Tenggara ini, namun dari beberapa tulisan yang menanggapi apa yang di tulis oleh Jilbab Hitam tentu kita menduga apa yang di tulis oleh Jilbab Hitam ke mungkinan mendekati kebenaran. 


Sungguh,sosok Jilbab Hitam(http://www.rimanews.com/read/20131111/126044/mengerikan-dan-brutal-tempo...) kini populer di Indonesia, terutama di media, dan terutama di grup Tempo. Pasalnya, akun ini dinilai ‘menyebar fitnah’ dengan memaparkan sejumlah hal seputar kebobrokan media terkait dengan pemberitaan.

Menyimak banyaknya pemberitaan menyangkut tulisan yang ditayangkan oleh akun jilbab Hitam yang memantik tempo untuk membalas dengan sengit, hati saya bertanya-tanya; sudah pantaskah Kompasiana menghapus tulisan tersebut hanya karena pihak tempo merasa keberatan karena dianggap melakukan kebohongan publik dan cenderung mengarah pada fitnah? 


Identitas penulis misterius Jilbab Hitam kini ramai dipergunjingkan di media cyber. Di situs Kompasiana, seorang penulis alias Kompasianer mengaku mengetahui jati diri si Jilbab Hitam yang menjelek-jelekkan sejumlah individu dan institusi, di antaranya Tempo, Bank Mandiri, dan lembaga riset Katadata. Meski tulisannya masih misteri pula. 



Catat dulu, tulisan ini bukan fakta, sekedar analisis atau pendapat.  Jagat kompasiana dan sosial media beberapa hari ini dihebohkan oleh tulisan kompasianer anonim “jilbab hitam”yang secara terbuka menuding TEMPO dan KataData memeras Bank Mandiri dalam Kasus SKK Migas. Siapa Jilbab Hitam itu? Benarkah ia adalah mantan wartawan TEMPO? Dan banyak pertanyaan lain yang lazim muncul ketika sebuah akun anonim melempar sebuah ‘fakta’ (fakta dalam tanda kutip) yang kita belum tahu kebenarannya.


Refleksi dari kasus Jilbab Hitam vs Tempo: Beberapa waktu lalu cukup ramai dipergunjingkan tulisan dari akun ‘Jilbab Hitam’ di Kompasiana yang mengkonstruk sebuah opini provokatif; upaya pemerasan terhadap perusahaan BUMN oleh media ternama (Kini tulisan tersebut sudah diturunkan). Sebagai manusia yang melek media, saya fikir kita tidak perlu memihak opini mana yang benar (Media Pemeras itu atau Perusahaan yang diperas).

Saya lega sudah dibukakan mata dan tidak lagi buta terhadap TEMPO maupun mimpi saya menjadi seorang wartawan yang bersih. Sulit menjadi bersih di kalangan wartawan. Godaan begitu banyak. Tidak hanya di luar organisasi tempat kamu bekerja, tetapi juga di dalam organisasi tempatmu bekerja. 

'Jilbab Hitam' Ungkap 'Borok' Etika Pemberitaan TEMPO?
Alhamdulillah, Whistleblower terus bermunculan di Indonesia, sejak 1998 lepas dari cengkeraman Orde Baru yang rasanya sulit mengungkap borok negeri yang menggurita. Namun sayangnya tidak diikuti oleh media mainstream yang seharusnya menjadi pengabar fakta, pemberi cahaya terang dalam kegelapan, bukan malah bersekongkol dengan mafia, godfather atau para cukong yang malah menjadi pengabur fakta dan membunuh para musuh cukong dan mengumbar sentimen anti islam yang kental. Inilah kekejaman media mainstream dengan menghakimi opini massa, 'trial by press' 

Luar biasa, sebuah kejutan besar sekaligus ide hebat dari seseorang yang menamakan diri “Jilbab Hitam.” Dalam tulisannya di Kompasiana.com, pada 11 November 2013, telah menghebohkan banyak pihak. Tak kurang, Tempo sendiri menurunkan 5 tulisan bantahan atas informasi yang dia paparkan. Bagaimanapun, tulisan “Jilbab Hitam” lebih kuat dari semua bantahan Tempo; dan sangat disayangkan, Kompasiana.com men-delete begitu saja tulisan itu. Bahkan dalam ulasan di Kompasiana.com disebutkan, bahwa “Jilbab Hitam” hanyalah pemain amatir, tulisannya dangkal. Bodoh, justru tulisan dia sangat kuat. Lebih kuat dari umumnya tulisan-tulisan di Kompasiana.com yang ngalor-ngidul gak jelas.


Nama samaran Jilbab Hitam dengan tulisannya (http://www.rimanews.com/read/20131111/126044/mengerikan-dan-brutal-tempo...) tentang isu pemerasan Tempo kepada Bank Mandiri menjadi pembicaraan riuh di dunia internet. Pihak Bank Mandiri dan Tempo membantah tuduhan si Jilbab Hitam. Beberapa orang teman saya di facebook dan teman-teman mereka menanggapi dengan opini yang beragam. Ada yang bilang si Jilbab Hitam menunjukkan bahwa ia merupakan orang tidak jelas karena nama dan identitas palsunya.

Identitas penulis misterius Jilbab Hitam kini ramai dipergunjingkan di media cyber. Di situs Kompasiana, seorang penulis alias Kompasianer mengaku mengetahui jati diri si Jilbab Hitam yang menjelek-jelekkan sejumlah individu dan institusi, di antaranya Tempo, Bank Mandiri, dan lembaga riset Katadata. 
Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk Bambang Harymurti memberikan klarifikasi atas tulisan Hendra Boen yang dimuat di Kompasiana. Berikut ini adalah tanggapan BHM--sapaan akrabnya.

Media Relations Bank Mandiri, Eko Nopiansyah, membantah bahwa dirinya pernah bertemu seseorang yang mengaku mantan wartawan Tempo untuk membicarakan dugaan pemerasan oleh media tersebut terhadap Bank Mandiri.
Pengelola media sosial Kompasiana, Pepih Nugraha, mengatakan tulisan berjudul "Tempo Dan Kata Data Memeras Bank Mandiri Dalam Kasus SKK Migas" dicabut karena dianggap memojokkan seseorang atau instansi. Tulisan itu, kata Pepih, mengandung unsur provokatif.

Ini Kejanggalan Tuduhan Jilbab Hitam pada Tempo 
 
Majalah Tempo bersama lembaga riset Katadata dituding melakukan pemerasan terhadap Bank  Mandiri berkaitan dengan kasus Rudi Rubiandini. Tudingan itu ditulis oleh “Jilbab Hitam”, yang mengaku sebagai bekas wartawan Tempo angkatan 2006,  di media sosial Kompasiana, Senin, 11 November 2013.
 
 

Senin, 11 November 2013

Di Bawah Temaram Lampu Badai




CERPEN Delvi Yandra

Judul Menguji Kesabaran
akrilik-ballpoint, 145 x 145 cm, 2006

Sejak pemberontakan meletus empat hari yang lalu, anak-anak dan kaum perempuan tidak ada yang berani keluar rumah sehingga kampung kami sungguh mengalami masa-masa sulit; sawah dan ladang tak menghasilkan apa-apa, akses ke kampung sebelah hanya dapat dilewati melalui sungai dengan perahu atau rakit, dan pengajian ditiadakan untuk sementara waktu.
Bala tentara musuh semakin rajin berkeliaran keluar masuk kampung seraya membawa bedil. Mereka menguasai Batu Hampar hingga ke Kurai. Kami geram melihat manusia jangkung berkulit pucat dan berambut pirang dengan hidung mencuat itu, sehingga kami bertekad menghancur-leburkan mereka.
Tetapi kami tak butuh arloji. Athar telah menjadi waktu bagi kami. Ketika malam tiba, itulah saatnya bagi kami untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan seruan dari Athar.

Wajah-wajah dalam Ingatan



CERPEN R Yulia
Mereka kembali berbisik-bisik. Di sudut. Menjauhkanku lewat tatapan setajam clurit–seakan memberi ancaman tentang harga mahal yang harus kubayar jika coba menguping atau memperpendek jarak terhadap mereka—lipatan dahi dan tarikan garis mengetat pada bibir. Aku berpaling. Tak hendak mencuri lihat, mencuri dengar atau bahkan mencuri hati.
Sekujur tubuhku melekat erat pada jeruji besi, membatasi kehendak liar yang menggelepar-gelepar dalam kepala, meronta-ronta seperti babi hutan yang tertombak. Hawa dingin yang mengalir lewat genggaman tangan, kulit wajah, dada dan pahaku, membekukan seluruh keinginanku pada temperatur nol absolut. Termasuk keinginan menemuinya!

Kisah Cinta Pekerja Malam di Kota Gigolacur



CERPEN Ramoun Apta
Lukisan Nasrul
Pada suatu malam berdebu, di suatu Minggu kota Gigolacur, trotoar tak pernah bercerita tentang apa dan bagaimana caranya dua ekor tikus bisa saling kejar-mengejar, meningkahi kerikil yang berserakan, menyusuri got-got yang bau, dan kemudian bergerumul seperti hendak saling membunuh. Begitu juga dengan tiang listrik yang kesepian menimang embun—yang sebenarnya tak patut juga disebut embun karena ia sedikit berminyak—di dekat taman itu, seperti hendak melepaskan kabel-kabel yang terentang memberat.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...