Senin, 11 November 2013

PUISI Yusrina Sri Oktaviani


Pelataran Rindu

Tak pernah ku tau betapa dalam hatiku
Hingga disana tumbuh rindu
Bermekaran.. berbunga indah
Menyebut namamu sebagai daun cinta yang ku tanami
Tak pernah ku tau betapa murni hatiku
Hingga sapa mu menanam cinta disana
Subur.. bertunas dan berpucuk
Membayangkan rupamu sebagai atap dari keteduhan jiwaku
Tak pernah pula ku tau betapa tabah hatiku
Hingga akhirnya aku menantimu
Bersama kasih yang pernah kau titipkan
Walau tetesan kalbu kian menghujaniku
Menatap hampa pelataran taman
Tempat dimana aku pernah memohonkan doa
Sebait kata yang masih kukuh ku genggam
Meski tenang hatimu tak mampu ku tebak
Bahkan resapan nafas itu..
Tak lagi kau beri makna..
Namun doa menabahkan jiwa
Ada kalanya kan tiba
Pelataran rindu akan kita tempati kembali
Dengan berseminya bunga-bunga kasih
Aku menanti..
Di setengah napasku

PUISI Dedi Supendra


:Malam

Malam,
Seperti kacang goreng
Laku keras dibeli kupu-kupu
Datangnya ditunggu membawa madu
Hilangnya meninggalkan kabar tak sedap, seperti keringat-keringat yang bercucur dari kulit-kulit berbalut bedak dan debu panas
Malam, laksana darah bagi nyamuk nakal
Segar dan sedap
Dan merah membakar sayap

PUISI Sondri BS


Seseorang

I
beberapa cahaya menetesi malam
gelisah angin di bibir jendela
seseorang, mungkin menanti mimpinya
kenangan menggeliat dalam jelaga
hidup telah jauh sendirian saja
pergi bagai kereta meninggalkan stasiun
berpasang mata hanya saling melepaskan
kemudian memendam rindu, bagai ratap biola
manusia : hanya kesedihan yang dihibur dengan tawa

II
malam akan sampai diujungnya
dan kau kan sendiri memeluk kenangan
kesedihan bagai seseorang pergi
tak ingin mengulang jejaknya

lalu senyap bertanya bagai kawan
sudah kau temukan beberapa bagian hatimu yang hilang
ah, sampai kini juga belum ada kabarnya.

2012

PUISI Fitri Yani


Bunga Tidur

asmara bersemayam
di kelopak mata

partikel-partikel waktu
memusar di lubuk dada

tujuh lingkaran
tujuh kehidupan
dibangkitkan
dari sebuah taman

lalu muncul daun-daun
tempat kumpulan embun
berselancar
seperti bocah
tujuh tahun

membuka kelopak mata
berkeriap

sekejap

sabda mengalun
di telinga yang terjaga


(06 April, 2011)

Minggu, 03 November 2013

SOSIOLOGI SENI TEATER DAN FILM INDONESIA: Dalam Perspektif Semiotika Sosial Budaya


OLEH Soediro Satoto
Guru Besar pada Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
 
Pendahuluan
Baik Seni Teater maupun Seni Film, keduanya m
Pementasan Teater Koma (Dok)
erupakan jenis-jenis seni pertunjukan yang bersifat kolektif, kompleks, rumit, dan (paling) akrab dengan publiknya, yaitu ‘masyarakat seni teater dan film’, ‘masyarakat seni pertunjukan’. Yang dimaksud ‘masyarakat seni pertunjukan’ di sini, antara lain: pencipta seni, para pekerja seni, karya seninya itu sendiri, manager (pengelola, atau pemimpin) kelompok (group) seni, pengayom atau maesenas seni, alam semesta (universe) dan lingkungan seni (poleksosbud hankam, iptek dan seni) yang bisa dijadikan bahan atau sumber inspirasi bagi seniman untuk melakukan proses kreatif seni, lembaga pengelolaan atau managemen seni (lembaga swasta atau pemerintah, lembaga sekolah atau kampus, baik lembaga formal maupun nonformal, sanggar, kelompok, paguyuban, dsb.), penikmat, pemerhati, kritikus atau peneliti seni, pelatih atau pengajar seni, baik guru, dosen, maupun empu seni, dan jangan lupa penonton karya seni, baik menggunakan sarana visual, auditif, audiovisual, dan sebagainya. Baik melalui media panggung pementasan atau pergelaran, media cetak, elektronik, audiovisual atau teve, maupun komputer, Khusus penonton, menurut hemat saya bukan sekadar berkedudukan sebagai faktor penunjang, melainkan merupakan komponen atau unsur bagi setiap seni pertunjukan. Tanpa penonton, penyebutan istilah ‘seni pertunjukan’ menjadi aneh, sebab lalu dipertunjukkan atau dipertontonkan kepada siapa?

Zaman Akhir Orde Baru dan Perubahan "Suara Lokal" dalam Sastra Indonesia



OLEH Michael Bodden
University of Victoria, Canada
mbodden@uvic.ca 
Pengantar
Selama dua dasawarsa pertama Orde Baru, corak dominan di dalam fiksi "warna lokal" atau "warna daerah" adalah semacam sikap yang mendua terhadap budaya tradisional setempat. Salah satu contoh baik dari hal ini adalah novel Darman Moenir, Bako (1983 [1980]). 
Dalam novel Darman Moenir ini, budaya tradisional Minangkabau sering dipandang oleh si pembawa cerita, atau "aku", sebagai sesuatu yang penuh peraturan kaku dan kejam yang mau mengatur kehidupan para warga kampung, dan yang terlalu tergantung kepada asal-usual salah seorang (14-17, 28-29, 35, 45-46, 98-99). Semua ini membawa sederetan akibat bagi bapak dan ibu pembawa cerita karena ibunya bukan orang sekampung dengan bapaknya, apalagi bukan gadis lagi waktu disunting oleh bapaknya (14). Sikap masyarakat untuk menolak perkawinan mereka ikut menghancurkan kewarasan jiwa Ibu pembawa cerita dan menciptakan banyak kesulitan bagi si "aku" dan Bapaknya, meskipun keluarga bapak si "aku" jauh lebih maju dan toleran tentang soal-soal keturunan. Pada akhir novel itu, si "aku" sangat berharap supaya warga kampung bakonya akan bersikap lebih maju dan punya pengertian yang lebih masuk akal (98-99). 
Sebagai akibat dari persoalan yang dialaminya bersama ayah dan ibunya, pembawa cerita meyakini watak dan perbuatan seseorang sebagai ukuran martabat orang itu daripada asal dan keturunan (15). 

Sustaining the Local by Embracing the Global: Theatre and Contemporary Javanese/Indonesian Identity

BY Barbara Hatley
University of Tasmania, Australia
blhatley@postoffice.newnham.utas.edu.au 

Ketoprak di Jawa (www.antaranews.com)
This paper arises out of 25 years of theatre-watching in Indonesia, particularly in the city of Yogyakarta. Here I studied the popular melodrama ketoprak in the late 1970s, and have continued to observe ketoprak, modern Indonesian language theatre, teater, and other varieties of performance ever since. Yogya as the acknowledged heartland of ketoprak activity in the 1970s, the site of the greatest number of troupes, was my choice for the initial study. Later explorations of the social meanings of various forms of theatre for their Javanese-Indonesian participants have likewise been based mainly in Yogyakarta. But not exclusively so - where Yogya performance practice compares significantly with developments elsewhere, or where a wider perspective has been needed to encompass a particular topic, my gaze has been broader.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...