Senin, 11 November 2013

PUISI Sondri BS


Seseorang

I
beberapa cahaya menetesi malam
gelisah angin di bibir jendela
seseorang, mungkin menanti mimpinya
kenangan menggeliat dalam jelaga
hidup telah jauh sendirian saja
pergi bagai kereta meninggalkan stasiun
berpasang mata hanya saling melepaskan
kemudian memendam rindu, bagai ratap biola
manusia : hanya kesedihan yang dihibur dengan tawa

II
malam akan sampai diujungnya
dan kau kan sendiri memeluk kenangan
kesedihan bagai seseorang pergi
tak ingin mengulang jejaknya

lalu senyap bertanya bagai kawan
sudah kau temukan beberapa bagian hatimu yang hilang
ah, sampai kini juga belum ada kabarnya.

2012

PUISI Fitri Yani


Bunga Tidur

asmara bersemayam
di kelopak mata

partikel-partikel waktu
memusar di lubuk dada

tujuh lingkaran
tujuh kehidupan
dibangkitkan
dari sebuah taman

lalu muncul daun-daun
tempat kumpulan embun
berselancar
seperti bocah
tujuh tahun

membuka kelopak mata
berkeriap

sekejap

sabda mengalun
di telinga yang terjaga


(06 April, 2011)

Minggu, 03 November 2013

SOSIOLOGI SENI TEATER DAN FILM INDONESIA: Dalam Perspektif Semiotika Sosial Budaya


OLEH Soediro Satoto
Guru Besar pada Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
 
Pendahuluan
Baik Seni Teater maupun Seni Film, keduanya m
Pementasan Teater Koma (Dok)
erupakan jenis-jenis seni pertunjukan yang bersifat kolektif, kompleks, rumit, dan (paling) akrab dengan publiknya, yaitu ‘masyarakat seni teater dan film’, ‘masyarakat seni pertunjukan’. Yang dimaksud ‘masyarakat seni pertunjukan’ di sini, antara lain: pencipta seni, para pekerja seni, karya seninya itu sendiri, manager (pengelola, atau pemimpin) kelompok (group) seni, pengayom atau maesenas seni, alam semesta (universe) dan lingkungan seni (poleksosbud hankam, iptek dan seni) yang bisa dijadikan bahan atau sumber inspirasi bagi seniman untuk melakukan proses kreatif seni, lembaga pengelolaan atau managemen seni (lembaga swasta atau pemerintah, lembaga sekolah atau kampus, baik lembaga formal maupun nonformal, sanggar, kelompok, paguyuban, dsb.), penikmat, pemerhati, kritikus atau peneliti seni, pelatih atau pengajar seni, baik guru, dosen, maupun empu seni, dan jangan lupa penonton karya seni, baik menggunakan sarana visual, auditif, audiovisual, dan sebagainya. Baik melalui media panggung pementasan atau pergelaran, media cetak, elektronik, audiovisual atau teve, maupun komputer, Khusus penonton, menurut hemat saya bukan sekadar berkedudukan sebagai faktor penunjang, melainkan merupakan komponen atau unsur bagi setiap seni pertunjukan. Tanpa penonton, penyebutan istilah ‘seni pertunjukan’ menjadi aneh, sebab lalu dipertunjukkan atau dipertontonkan kepada siapa?

Zaman Akhir Orde Baru dan Perubahan "Suara Lokal" dalam Sastra Indonesia



OLEH Michael Bodden
University of Victoria, Canada
mbodden@uvic.ca 
Pengantar
Selama dua dasawarsa pertama Orde Baru, corak dominan di dalam fiksi "warna lokal" atau "warna daerah" adalah semacam sikap yang mendua terhadap budaya tradisional setempat. Salah satu contoh baik dari hal ini adalah novel Darman Moenir, Bako (1983 [1980]). 
Dalam novel Darman Moenir ini, budaya tradisional Minangkabau sering dipandang oleh si pembawa cerita, atau "aku", sebagai sesuatu yang penuh peraturan kaku dan kejam yang mau mengatur kehidupan para warga kampung, dan yang terlalu tergantung kepada asal-usual salah seorang (14-17, 28-29, 35, 45-46, 98-99). Semua ini membawa sederetan akibat bagi bapak dan ibu pembawa cerita karena ibunya bukan orang sekampung dengan bapaknya, apalagi bukan gadis lagi waktu disunting oleh bapaknya (14). Sikap masyarakat untuk menolak perkawinan mereka ikut menghancurkan kewarasan jiwa Ibu pembawa cerita dan menciptakan banyak kesulitan bagi si "aku" dan Bapaknya, meskipun keluarga bapak si "aku" jauh lebih maju dan toleran tentang soal-soal keturunan. Pada akhir novel itu, si "aku" sangat berharap supaya warga kampung bakonya akan bersikap lebih maju dan punya pengertian yang lebih masuk akal (98-99). 
Sebagai akibat dari persoalan yang dialaminya bersama ayah dan ibunya, pembawa cerita meyakini watak dan perbuatan seseorang sebagai ukuran martabat orang itu daripada asal dan keturunan (15). 

Sustaining the Local by Embracing the Global: Theatre and Contemporary Javanese/Indonesian Identity

BY Barbara Hatley
University of Tasmania, Australia
blhatley@postoffice.newnham.utas.edu.au 

Ketoprak di Jawa (www.antaranews.com)
This paper arises out of 25 years of theatre-watching in Indonesia, particularly in the city of Yogyakarta. Here I studied the popular melodrama ketoprak in the late 1970s, and have continued to observe ketoprak, modern Indonesian language theatre, teater, and other varieties of performance ever since. Yogya as the acknowledged heartland of ketoprak activity in the 1970s, the site of the greatest number of troupes, was my choice for the initial study. Later explorations of the social meanings of various forms of theatre for their Javanese-Indonesian participants have likewise been based mainly in Yogyakarta. But not exclusively so - where Yogya performance practice compares significantly with developments elsewhere, or where a wider perspective has been needed to encompass a particular topic, my gaze has been broader.

Sabtu, 02 November 2013

REFLEKSI UNTUK REPUBLIK INDONESIA: Bagaimana Kita Menilai PRRI?


OLEH H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie

Pada penghujung tahun 1957 situasi tanah air semakin panas. Seakan-akan bara api yang siap nyala membakar daun-daun kering yang berserakan di persada tanah air. Belum setahun gerakan-gerakan daerah  mengambilalih jabatan Gubernur Sumatera Tengah oleh Ketua Dewan Banteng A. Husein dari tangan Gubernur sipil Ruslan Muljohardjo, (20 Desember 1956) Gubernur Sumatera Utara St. Komala Pontas diambilalih oleh Simbolon (22 Desember 1956).  Kolonel Simbolon kemudian didaulat oleh Letkol Djamin Gintings. Gubernur Sumatera Selatan Winarno oleh Panglima Barlian (9 Maret 1957).

Kabinet Ali II memang sudah jatuh digantikan oleh Kabinet Djuanda yang dibentuk oleh formatur tunggal Bung Karno. Keadaannya semakin tidak berdaya menyelesaikan kemelut tanah air yang chaos di segala bidang : politik, ekonomi, sosial, keamanan dan pemerintahan.

WAWANCARA KHALID SAIFULLAH: Pembalakan Hutan, Kerap Libatkan Oknum TNI dan Polri


Khalid Saifullah
Investigasi dilakukan Walhi Sumbar menemukan, setiap aktivitas pengambilan kayu secara ilegal di Sumatera Barat, selalu melibatkan oknum dari kepolisan dan oknum dari TNI sebagai backing, bahkan ada juga yang menjadi aktor utamanya (cukong) sebagai penyedia modal dan peralatan di samping itu ada juga oknum dari Dinas Kehutanan. “Menumpas pembalakan hutan, sama persis beratnya dengan menumpas korupsi di negeri ini. Ia  sudah mendarah daging,” kata Khalid Saifullah, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat. Berikut petikan wawancaranya dengan Nasrul Azwar.
Bagaimana komentar WALHI tentang kondisi hutan Sumatra Barat saat ini?
Jika kita lihat secara kasat mata dari kejauhan maupun dengan menggunakan helicopter kondisi kawasan hutan kita di Sumatera Barat sepertinya masih terlihat baik-baik saja karena terlihat masih tertutup oleh hijaunya perbukitan.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...