OLEH Michael Bodden
University
of Victoria, Canada
Pengantar
Selama dua dasawarsa pertama
Orde Baru, corak dominan di dalam fiksi "warna lokal" atau
"warna daerah" adalah semacam sikap yang mendua terhadap budaya
tradisional setempat. Salah satu contoh baik dari hal ini adalah novel Darman
Moenir, Bako (1983 [1980]).
Dalam novel Darman Moenir ini,
budaya tradisional Minangkabau sering dipandang oleh si pembawa cerita, atau
"aku", sebagai sesuatu yang penuh peraturan kaku dan kejam yang mau
mengatur kehidupan para warga kampung, dan yang terlalu tergantung kepada asal-usual
salah seorang (14-17, 28-29, 35, 45-46, 98-99). Semua ini membawa sederetan
akibat bagi bapak dan ibu pembawa cerita karena ibunya bukan orang sekampung
dengan bapaknya, apalagi bukan gadis lagi waktu disunting oleh bapaknya (14).
Sikap masyarakat untuk menolak perkawinan mereka ikut menghancurkan kewarasan
jiwa Ibu pembawa cerita dan menciptakan banyak kesulitan bagi si
"aku" dan Bapaknya, meskipun keluarga bapak si "aku" jauh
lebih maju dan toleran tentang soal-soal keturunan. Pada akhir novel itu, si
"aku" sangat berharap supaya warga kampung bakonya akan bersikap
lebih maju dan punya pengertian yang lebih masuk akal (98-99).
Sebagai akibat dari persoalan
yang dialaminya bersama ayah dan ibunya, pembawa cerita meyakini watak dan
perbuatan seseorang sebagai ukuran martabat orang itu daripada asal dan
keturunan (15).