Minggu, 03 November 2013

Zaman Akhir Orde Baru dan Perubahan "Suara Lokal" dalam Sastra Indonesia



OLEH Michael Bodden
University of Victoria, Canada
mbodden@uvic.ca 
Pengantar
Selama dua dasawarsa pertama Orde Baru, corak dominan di dalam fiksi "warna lokal" atau "warna daerah" adalah semacam sikap yang mendua terhadap budaya tradisional setempat. Salah satu contoh baik dari hal ini adalah novel Darman Moenir, Bako (1983 [1980]). 
Dalam novel Darman Moenir ini, budaya tradisional Minangkabau sering dipandang oleh si pembawa cerita, atau "aku", sebagai sesuatu yang penuh peraturan kaku dan kejam yang mau mengatur kehidupan para warga kampung, dan yang terlalu tergantung kepada asal-usual salah seorang (14-17, 28-29, 35, 45-46, 98-99). Semua ini membawa sederetan akibat bagi bapak dan ibu pembawa cerita karena ibunya bukan orang sekampung dengan bapaknya, apalagi bukan gadis lagi waktu disunting oleh bapaknya (14). Sikap masyarakat untuk menolak perkawinan mereka ikut menghancurkan kewarasan jiwa Ibu pembawa cerita dan menciptakan banyak kesulitan bagi si "aku" dan Bapaknya, meskipun keluarga bapak si "aku" jauh lebih maju dan toleran tentang soal-soal keturunan. Pada akhir novel itu, si "aku" sangat berharap supaya warga kampung bakonya akan bersikap lebih maju dan punya pengertian yang lebih masuk akal (98-99). 
Sebagai akibat dari persoalan yang dialaminya bersama ayah dan ibunya, pembawa cerita meyakini watak dan perbuatan seseorang sebagai ukuran martabat orang itu daripada asal dan keturunan (15). 

Sustaining the Local by Embracing the Global: Theatre and Contemporary Javanese/Indonesian Identity

BY Barbara Hatley
University of Tasmania, Australia
blhatley@postoffice.newnham.utas.edu.au 

Ketoprak di Jawa (www.antaranews.com)
This paper arises out of 25 years of theatre-watching in Indonesia, particularly in the city of Yogyakarta. Here I studied the popular melodrama ketoprak in the late 1970s, and have continued to observe ketoprak, modern Indonesian language theatre, teater, and other varieties of performance ever since. Yogya as the acknowledged heartland of ketoprak activity in the 1970s, the site of the greatest number of troupes, was my choice for the initial study. Later explorations of the social meanings of various forms of theatre for their Javanese-Indonesian participants have likewise been based mainly in Yogyakarta. But not exclusively so - where Yogya performance practice compares significantly with developments elsewhere, or where a wider perspective has been needed to encompass a particular topic, my gaze has been broader.

Sabtu, 02 November 2013

REFLEKSI UNTUK REPUBLIK INDONESIA: Bagaimana Kita Menilai PRRI?


OLEH H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie

Pada penghujung tahun 1957 situasi tanah air semakin panas. Seakan-akan bara api yang siap nyala membakar daun-daun kering yang berserakan di persada tanah air. Belum setahun gerakan-gerakan daerah  mengambilalih jabatan Gubernur Sumatera Tengah oleh Ketua Dewan Banteng A. Husein dari tangan Gubernur sipil Ruslan Muljohardjo, (20 Desember 1956) Gubernur Sumatera Utara St. Komala Pontas diambilalih oleh Simbolon (22 Desember 1956).  Kolonel Simbolon kemudian didaulat oleh Letkol Djamin Gintings. Gubernur Sumatera Selatan Winarno oleh Panglima Barlian (9 Maret 1957).

Kabinet Ali II memang sudah jatuh digantikan oleh Kabinet Djuanda yang dibentuk oleh formatur tunggal Bung Karno. Keadaannya semakin tidak berdaya menyelesaikan kemelut tanah air yang chaos di segala bidang : politik, ekonomi, sosial, keamanan dan pemerintahan.

WAWANCARA KHALID SAIFULLAH: Pembalakan Hutan, Kerap Libatkan Oknum TNI dan Polri


Khalid Saifullah
Investigasi dilakukan Walhi Sumbar menemukan, setiap aktivitas pengambilan kayu secara ilegal di Sumatera Barat, selalu melibatkan oknum dari kepolisan dan oknum dari TNI sebagai backing, bahkan ada juga yang menjadi aktor utamanya (cukong) sebagai penyedia modal dan peralatan di samping itu ada juga oknum dari Dinas Kehutanan. “Menumpas pembalakan hutan, sama persis beratnya dengan menumpas korupsi di negeri ini. Ia  sudah mendarah daging,” kata Khalid Saifullah, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat. Berikut petikan wawancaranya dengan Nasrul Azwar.
Bagaimana komentar WALHI tentang kondisi hutan Sumatra Barat saat ini?
Jika kita lihat secara kasat mata dari kejauhan maupun dengan menggunakan helicopter kondisi kawasan hutan kita di Sumatera Barat sepertinya masih terlihat baik-baik saja karena terlihat masih tertutup oleh hijaunya perbukitan.

PENEBANGAN HUTAN SOLOK SELATAN DAN TANAH DATAR: Bahaya Laten Lebih Dahsyat

Penebangan hutan (http://awalinfo.blogspot.com)
Hutan Solok Selatan memberi hasil bagi daerah cukup besar, tapi jika tak dikelola baik, bahaya latennya lebih dahsyat. Banyak perusahaan kayu besar yang beroperasi di sini.
Sebagain besar hutan di Kabupaten Solok Selatan masih perawan. Hasil hutan telah mendatangkan miliaran rupiah bagi pembangunan daerah. Setidaknya Rp9 miliar/tahun PAD Solsel disumbangkan oleh hasil hutan.
Kadis Kehutan dan Perkebunan Kabupaten Solok Selatan menyebutkan, sumbangan PAD dari PT Andalas Merapi Timber (AMT) mencapai Rp5 miliar, PT Bukit Raya Mudisa (BRM) Rp4 miliar, dan SKAU hutan rakyat Rp225 juta. Sejak 2005 sampai 2009, PT AMT telah menyumbangkan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp9,16 miliar.

Perambahan Hutan di Agam: Air Danau Maninjau Terancam Kering

Air danau Maninjau menyusut (komapost.com)
Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem memiliki arti dan peran penting dalam menyangga sistem kehidupan. Di sisi lain juga memiliki peranan sangat penting bagi keberhasilan pembangunan, baik secara nasional maupun daerah.

Kerusakan hutan akan berdampak pada lingkungan. Lingkungan yang rusak akan menimbulkan petaka bagi makhluk hidup.

Hal itu sangat disadari Bupati Agam H Indra Catri Dt Malako Nan Putiah. Makanya, sejak dilantik sebagai Bupati Agam, yang pertama menjadi perhatiannya adalah masalah pelestarian hutan dan lingkungan.

PENEBANGAN MEMBABI BUTA: Pesisir Selatan Dikepung Bencana

Dampak penebangan hutan (Dok Rivo)
Setiap hari hutan di Pesisir Selatan termasuk di TNKS dibabat. Ada puluhan titik lahan kritis yang mengepung Pesisir Selatan yang setiap saat bisa menjadi malapetaka bagi warga sekitar. Belum ada tindakan konkret dari pemerintah.
Tahun 2008 sampai 2009 lalu, barangkali rentang masa puncak habisnya ribuan hektare hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Hulu Batang Kambang, Pesisir Selatan. Diduga, hutan dibabat secara liar oleh oknum tak bertanggung jawab. Proses pembalakan liar yang telah dijadikan sebagai lahan perkebunan tersebut oleh orang yang tidak dikenal telah berlangsung lama.
Sementara warga Kambang Utara saat ini mulai resah atas perbuatan oknum yang mengancam puluhan ribu jiwa yang bermukim di Daerah Aliran Sungai Batang Kambang.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...