Selasa, 29 Oktober 2013

Televisi, Perempuan dan Wacana Posfeminisme

OLEH Yetti A.KA
Sastrawan
Yetti AKA
Era globalisasi memiliki relevansi dengan kebebasan berekspresi. Pada zaman ini orang-orang merayakan kediriannya dengan bermacam-macam cara. Keadaan ini ditunjang pula oleh akses informasi dan fasilitas yang tersedia, terutama di kota-kota besar. Orang-orang dengan mudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Situasi ini dijawab oleh hadirnya berbagai teknologi sebagai pendukung euphoria itu.
Salah satu teknologi yang paling digemari        masyarakat adalah televisi. Televisi jelas memiliki daya tarik luar biasa, di samping menimbulkan pengaruh yang tidak bisa dianggap sepele. Dari televisi orang bisa mengetahui dunia lain tanpa perlu datang ke sana. Televisi juga bisa membuat orang berada pada ketaksadaran yang mengasyikkan, tempat di mana orang melupakan rasa sakit; kemiskinan, pengangguran, harga-harga sembako yang mencekik, dan biaya sekolah yang mahal (dalam iklannya boleh gratis).

Mengintegrasikan Minangkabau di Perantauan



OLEH Wannofri Samry
Pengajar di FIB Unand
  
Karatau madang dahulu, babungo babuah balun,
marantau bujang dahulu, di kampuang baguno balun.
Wannofri Samry
Itulah ungkapan orang Minangkabau yang turut mendorong mereka pergi merantau. Karena mereka belum bisa memberikan sesuatu untuk kampung halaman secara mendalam, maka mereka pergilah merantau. Alasan dan tujuan mereka pergi merantau memang bermacam-macam. Ada yang bertujuan memenuhi keperluan ekonomi dan ada juga yang bermaksud menambah ilmu pengetahuan. Namun setiap perantau Minangkabau pastilah berhubungan juga kampung halamannya pada suatu masa. Walaupun mereka sudah tua dan beranak cucu, dan sudah berjaya di rantau mereka tetap ingin mengabdikan diri mereka untuk kampung halaman, baik secara moril maupun secara materil.
Begitu pula kesan mendalam yang kami jumpai ketika bertemu dengan seorang tokoh Minangakabau, Dato Haji Kaharudin bin Momin generasi kedua  di Gombak, Selangor Malaysia. Beliau sebelumnya pernah menjawat Wakil Menteri Besar Negeri Selangor. Beliau ini sedang merancang sebuah Rumah Adat Minangkabau di kawasan Gombak, yang akan ditegakkan pada tanah seluas dua hektare. 

[TER]PENJARA DI PADANG: (Menyerap Inti Tesis Master Deddy Arsya pada Program Studi Ilmu Sejarah Unand 2012)



OLEH Zelfeni Wimra
Sastrawan

Deddy melatari penelitiannya dengan beberapa hal. Pertama, persoalan penjara masih menjadi persoalan yang hangat diperbincangkan pada satu dasawarsa awal abad ke-21 ini. Sejak tahun 1995, penjara memang telah berganti nama menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Dalam konsep pemasyarakatan, penjara bertujuan menyiapkan para terhukum untuk dapat kembali ke jalan orang ramai. Penjara dalam hal ini diidealkan mampu memulihkan akhlak narapidana untuk dapat diterima kembali di tengah masyarakatnya.
Namun, setelah itu penjara justru masih memunculkan berbagai permasalahan seputar dirinya sendiri. Tidak jarang penjara dipinalti: “gagal menjalankan fungsinya”. Kesangsian itu lahir karena penjara yang diidam-idamkan sebagai penyelamat sosial itu malah mencetak penjahat-penjahat baru. Narapidana kasus copet setelah keluar dari penjara mendapat ilmu merampok. Narapidana kasus teror setelah dipenjara menjadi lebih mahir merakit bom. Narapidana kasus pemakai sabu ketika masuk penjara bertambah kepandaian menjadi pengedar dan bandar. Penjara dengan ini seolah bertransformasis menjadi ‘sekolah tinggi’ bagi para kriminalis.

Dilema Pemerintahan Nagari ‘Hadiah’ Reformasi

OLEH Suryadi
Dosen & peneliti Leiden University Institute for Area Studies, Leiden, Belanda
 
Suryadi
Berkat reformasi kita di Minangkabau telah kembali ke sistem Pemerintahan Nagari. Namun rupanya sistem Pemerintahan Nagari ‘hadiah’ Reformasi itu telah menghadirkan kultur politik deviant yang kurang sehat di lingkungan nagari-nagari dan mengandung banyak virus konflik (kepentingan). Pemerintahan Nagari yang dipraktekkan sekarang tidak merepresentasikan spirit dan karakter budaya Minangkabau, dan tidak memenuhi harapan masyarakat Minangkabau, sebagaimana terefleksi dalam ramai wacana publik di berbagai media, baik di kampung maupun di rantau. Setelah 12 tahun masyarakat Minangkabau kembali ke pemerintahan nagari, ternyata kehidupan ber-nagari tidak lebih baik (Haluan, 22-1-2012).
Mungkin tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa kesempatan untuk menjemput kembali spirit dan filosofi kehidupaan ber-nagari ala Minangkabau melalui pencanangan ‘Baliak ka surau ka nagari’ di Zaman Reformasi ini, yang dulu dibonsai oleh Rezim Orde Baru, tampaknya telah disia-siakan oleh masyarakat Minangkabau dan para pemimpinnya. 

Pertempuran dalam Ruang Tradisi



OLEH Deddy Arsya
Sastrawan
Deddy Arsya
Tujuh gelombang rombongan (semuanya laki-laki) secara bergantian telah naik dan turun dari rumah tempat perhelatan dilangsungkan. Sebentar tadi, masih tinggal dalam pandangan, sebelum rombongan-rombongan undangan dapat menyantap hidangan, mereka harus ‘melayani’ tuan rumah berbalas pantun. Mulanya masing-masing pihak memberi penghormatan dengan kalimat-kalimat berkias yang panjang, menyampaikan maksud kedatangan dan maksud undangan, dan seterusnya. Setelah makan, untuk dapat turun dari rumah itu, rombongan undangan pun mesti minta izin kepada tuan rumah, dengan kalimat-kalimat yang metaforik pula tentu saja. Berbalas pantun yang bisa lama bisa sebentar, tergantung kemahiran kedua belah pihak ber-retorika. Dan kini acara pantun-memantun itu telah usai setelah rombangan ketujuh.

Semenda

CERPEN Joni Syahputra

Sumber: tegarseptyan.wordpress.com
Tamu agung itu sepertinya tersinggung. Baranjak secara tiba-tiba dari tempat duduknya. Berdiri. Tanpa mengatakan sepatah katapun, langsung pergi, tanpa pamit kepada tuan rumah.
Perempuan paruh baya, si tuan rumah, jadi salah tingkah. Belum meyadari apa yang membuat si tamu tersinggung, beranjak menuju pintu. Tetapi sang tamu agung sudah menghilang.
Gelisah, mondar mandir ke sana kemari. Sama sekali dia merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Bingung. Ingin segera menyusul keluar, tetapi, Johan, si tamu agung itu, sudah menghilang di balik tikungan. Ia pergi bergegas. Beruntung sebuah bus lewat. Tangannya menggigil. Teriakan kondektur bus memanggil penumpang tidak dihiraukannya lagi. Ia mencoba memicingkan mata beberapa saat. Ingin menghilangkan kegundahan di hatinya.

PUISI Deddy Arsya



Cinta Musim Panas

Kau boleh mencintaiku dengan rasa jijik
yang terus-menerus naik ke tenggorokanmu.
Aku akan membajak luas sawahmu, menjadi sapi,
atau kerbau untukmu.
Jika bosan kau boleh membuang aku di simpang jalan
entah di mana. Aku bisa pastikan tak ada yang akan
membawaku kembali ke sisimu.
Kau pernah membuang kucing yang suka berak di kasur,
di meja makan, di lemari pakaian,
tapi kembali lagi ke rumahmu, bukan?
Itu tak akan pernah terjadi—aku janji.
Kita akan bahagia disiram cahaya
matahari jam tujuh pagi,
kita akan bahagia memiliki rumah
yang bukan milik pribadi.
Kita hanya perlu numpang di bumi ini
seperti kata orang-orang, dengan lampu 15 watt
yang sering terlambat kita matikan,
sumur yang airnya berminyak,
atau induk semang yang pemberang.
Aku tidak makan terlalu banyak, percayalah,
ibumu tak akan susah memasak.
Aku mau makan apa saja dari periukmu,
bahkan jika kopi pagi kita adalah air dari hitam
kerak nasimu.
Aku akan bangun pagi dan tak akan tidur lagi
setelah sembahyang subuh.
Dan kau boleh anggap aku
mesin tak berguna yang gampang rusak.
Aku akan menghabiskan banyak uang
membeli kebahagiaan di toko pakaian,
gelanggang bergoyang, medan pacu kuda
hanya untukmu.
Aku surukkan nasib burukku dalam
keranjang belanja dan riuh pasar.
Biar saja orang kata: “Jika para pedagang kaki lima
menggelar isi perut mereka di meja parlemen,
menuntut kantor DPR pindah ke rumah bordir,
maka betapa celakanya sajakmu ini, wahai penyair,
yang berbicara jus dan kesepian!”
Aku tiada peduli, aku akan pindah ke rumah lain,
dan sepetak tanah halaman lain, sehabis tahun ini.
Kita akan menanam markisah, bukan?
dan minum jus terung pirus
seperti makan pokok tiga kali sehari.
Anak-anak kita akan menguap bersama udara,
menjadi langit hitam dan hujan yang jatuh ke perut bumi.
Aku akan menulis undangan di pesbuk:
“Aku akan beristri petani seledri
habis hari raya ini. Kami akan harum
sepanjang tahun,  kami berbunga
di musim apa pun.
Anak-anak kami dari kulit kayu,
cendawan tak beracun, dan rintik hujan.
Rumah kami cangkang kura-kura,
kepak hulu dan diam muara,
sunyi daratan dan riuh ombak.
Istriku bekerja keras, aku suka api nyala
dari dapur biasa saja,
anakku kelak cinta nasi dan lauk seadanya!”

Hah, aku tak mengejarmu, kau tak perlu lari.
Di tanganku tak ada pedang, aku tak suka perang.
Jariku terkelupas, tapi tak akan serupa monster.
Tapi aku kata: mari, sayang, mari!
Genggam tanganku erat sekali.

Aku anjing tak menyalak,
Aku sunyi dalam sajak. 

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...