Selasa, 29 Oktober 2013

Semenda

CERPEN Joni Syahputra

Sumber: tegarseptyan.wordpress.com
Tamu agung itu sepertinya tersinggung. Baranjak secara tiba-tiba dari tempat duduknya. Berdiri. Tanpa mengatakan sepatah katapun, langsung pergi, tanpa pamit kepada tuan rumah.
Perempuan paruh baya, si tuan rumah, jadi salah tingkah. Belum meyadari apa yang membuat si tamu tersinggung, beranjak menuju pintu. Tetapi sang tamu agung sudah menghilang.
Gelisah, mondar mandir ke sana kemari. Sama sekali dia merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Bingung. Ingin segera menyusul keluar, tetapi, Johan, si tamu agung itu, sudah menghilang di balik tikungan. Ia pergi bergegas. Beruntung sebuah bus lewat. Tangannya menggigil. Teriakan kondektur bus memanggil penumpang tidak dihiraukannya lagi. Ia mencoba memicingkan mata beberapa saat. Ingin menghilangkan kegundahan di hatinya.

PUISI Deddy Arsya



Cinta Musim Panas

Kau boleh mencintaiku dengan rasa jijik
yang terus-menerus naik ke tenggorokanmu.
Aku akan membajak luas sawahmu, menjadi sapi,
atau kerbau untukmu.
Jika bosan kau boleh membuang aku di simpang jalan
entah di mana. Aku bisa pastikan tak ada yang akan
membawaku kembali ke sisimu.
Kau pernah membuang kucing yang suka berak di kasur,
di meja makan, di lemari pakaian,
tapi kembali lagi ke rumahmu, bukan?
Itu tak akan pernah terjadi—aku janji.
Kita akan bahagia disiram cahaya
matahari jam tujuh pagi,
kita akan bahagia memiliki rumah
yang bukan milik pribadi.
Kita hanya perlu numpang di bumi ini
seperti kata orang-orang, dengan lampu 15 watt
yang sering terlambat kita matikan,
sumur yang airnya berminyak,
atau induk semang yang pemberang.
Aku tidak makan terlalu banyak, percayalah,
ibumu tak akan susah memasak.
Aku mau makan apa saja dari periukmu,
bahkan jika kopi pagi kita adalah air dari hitam
kerak nasimu.
Aku akan bangun pagi dan tak akan tidur lagi
setelah sembahyang subuh.
Dan kau boleh anggap aku
mesin tak berguna yang gampang rusak.
Aku akan menghabiskan banyak uang
membeli kebahagiaan di toko pakaian,
gelanggang bergoyang, medan pacu kuda
hanya untukmu.
Aku surukkan nasib burukku dalam
keranjang belanja dan riuh pasar.
Biar saja orang kata: “Jika para pedagang kaki lima
menggelar isi perut mereka di meja parlemen,
menuntut kantor DPR pindah ke rumah bordir,
maka betapa celakanya sajakmu ini, wahai penyair,
yang berbicara jus dan kesepian!”
Aku tiada peduli, aku akan pindah ke rumah lain,
dan sepetak tanah halaman lain, sehabis tahun ini.
Kita akan menanam markisah, bukan?
dan minum jus terung pirus
seperti makan pokok tiga kali sehari.
Anak-anak kita akan menguap bersama udara,
menjadi langit hitam dan hujan yang jatuh ke perut bumi.
Aku akan menulis undangan di pesbuk:
“Aku akan beristri petani seledri
habis hari raya ini. Kami akan harum
sepanjang tahun,  kami berbunga
di musim apa pun.
Anak-anak kami dari kulit kayu,
cendawan tak beracun, dan rintik hujan.
Rumah kami cangkang kura-kura,
kepak hulu dan diam muara,
sunyi daratan dan riuh ombak.
Istriku bekerja keras, aku suka api nyala
dari dapur biasa saja,
anakku kelak cinta nasi dan lauk seadanya!”

Hah, aku tak mengejarmu, kau tak perlu lari.
Di tanganku tak ada pedang, aku tak suka perang.
Jariku terkelupas, tapi tak akan serupa monster.
Tapi aku kata: mari, sayang, mari!
Genggam tanganku erat sekali.

Aku anjing tak menyalak,
Aku sunyi dalam sajak. 

Pekasih Cirit Anjing

CERPEN Indrian Koto

“Minyak aku situang-tuang, dituang dalam kuali. Bukan aku berminyak seorang, beserta bulan dan matahari. Asam limau purut asam lima sanding, ketiga asam limau lungga. Menurut si Mega seperti anjing, menangis tidak akan kubawa. Berkat lailah hailallah. Huallah…
Aku melafazkan kalimat itu pelan-pelan sambil meniupkan ke minyak rambut merek Lavender biru-pekat di tangan sebelum menggosokan ke rambutku.
Sisir bermerek Tancho hitam dan rapat menggaruk kepalaku yang licin. Kusisir ke samping, ke depan, ke belakang, subhanallah, rebahnya bagus. Aku menatap kaca yang selebar telapak tangan, memperhatikan betul-betul wajahku di sana. Apakah minyak Lavender ini yang telah membuat rambutku begini patuh, atau kekuatan mantera telah menggerakkan semesta tunduk kepadaku?

PUISI Isbedy Stiawan ZS



DI BAWAH BATU YANG BATAL TERBANG KE LANGIT


jika matahari terbangun di pagi ini
sedang kau masih terpejam
apakah burungburung di di pohon
akan tetap menunggumu sambil
berkicau tentang siang nan benderang?

kau akan abai pada pakaianmu
yang masai. harapan sangsai
ataupun senyuman sebagai lambai
: entah pagi mana lagi akan mengantarmu
pada ketinggian cahaya?

di kota yang tak pernah gelap
di bawah batu yang batal terbang ke langit
beri aku waktu untuk melepas pakaianku
untuk menerima segala cahaya


13/04/11

Firasat

CERPEN Ilham Yusardi
(I)
“Niar, kau lihat hape?” Bahar menyonsong istrinya yang berada di dapur. Niar sedang mengaduk gula dan kopi, membuatkan minuman pagi buat suaminya itu. Sejenak Niar menoleh, menangkap wajah suaminya menyembul separuh badan di pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur rumah. Niar agaknya sedikit heran dengan kelabat lakinya.
“Hape Uda? Tidak. Tapi, biasanya sebelum tidur, kan Uda taruh di dekat lemari kaca kamar. Tentu masih di situ.” Niar kian keheranan lihat laku suaminya. Tidak biasanya, pagi-pagi ia menanyakan hape. Lagi pula hape yang dibelikan Lara itu, putri tunggal mereka yang sekarang bekerja di ibu kota, memang jarang berbunyi. Hape itu baru seminggu di tangan Bahar. Ia sangat senang sekali. Ia terisak tangis waktu menerima hape itu dari tangan Lara. Ia bersuka cita sekali bukan karena hapenya, tapi Bahar terharu lagi karena itulah pemberian pertama Lara dari hasil jerih peluhnya bekerja. Ia bangga dengan pemberian itu. Padahal, ia tiada pernah meminta di balas budi sedikit pun dari anaknya itu. Malahan ia sangat khawatir Lara yang tidak mau lagi meminta atau menerima uang darinya selepas ia tamat dari kuliah.

Minggu, 27 Oktober 2013

Pembunuhan



CERPEN Delvi Yandra                        

Di sepanjang trotoar, aku melangkah gontai dengan map yang selalu kubawa ke pintu-pintu perusahaan. Tak satu pintu pun pernah membentuk wajahku jadi lebih baik serupa lengkung senyum orang-orang kebanyakan. Penawaranku selalu ditolak sebab alasan yang tidak jelas. Tidak sesuai dengan perkiraanku padahal aku berjanji akan jadi pekerja yang baik kalau perusahaan berkenan menerimaku. Tapi kenyataannya, tak satu perusahaan pun berbaik hati padaku. Tak satu pun.

PUISI Nurfirman AS

Musim Sunyi

musim ini adalah bagian daritingkah diam yang usang
yang menjelma nasib pada ruang-ruang tunggu
dan potongan jarak antara gerimis yang menemui rapuh

sebuah kepingan episode dalam kamar ilusi
dari kejamnya imajinasi orang-orang lalu
yang menancapkan bekas-bekas luka
dengan air mata yang tertahan di tenggorokan
dan suara isak yang luruh dari paru-paru yang menemui sesak

kesendirian telah merenggut jiwa-jiwa para petapa
dan dalam keramaian, mereka sibuk sendiri
memilah sisi-sisi
yang terbentang antara realita sosial dan ruang imaji

tentang musim, suara-suara dari keheningan
terlihat lebih baik
dan sikap diam
adalah jalan terbaik


rumahteduh, Januari 2012

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...