Selasa, 29 Oktober 2013

Pekasih Cirit Anjing

CERPEN Indrian Koto

“Minyak aku situang-tuang, dituang dalam kuali. Bukan aku berminyak seorang, beserta bulan dan matahari. Asam limau purut asam lima sanding, ketiga asam limau lungga. Menurut si Mega seperti anjing, menangis tidak akan kubawa. Berkat lailah hailallah. Huallah…
Aku melafazkan kalimat itu pelan-pelan sambil meniupkan ke minyak rambut merek Lavender biru-pekat di tangan sebelum menggosokan ke rambutku.
Sisir bermerek Tancho hitam dan rapat menggaruk kepalaku yang licin. Kusisir ke samping, ke depan, ke belakang, subhanallah, rebahnya bagus. Aku menatap kaca yang selebar telapak tangan, memperhatikan betul-betul wajahku di sana. Apakah minyak Lavender ini yang telah membuat rambutku begini patuh, atau kekuatan mantera telah menggerakkan semesta tunduk kepadaku?

PUISI Isbedy Stiawan ZS



DI BAWAH BATU YANG BATAL TERBANG KE LANGIT


jika matahari terbangun di pagi ini
sedang kau masih terpejam
apakah burungburung di di pohon
akan tetap menunggumu sambil
berkicau tentang siang nan benderang?

kau akan abai pada pakaianmu
yang masai. harapan sangsai
ataupun senyuman sebagai lambai
: entah pagi mana lagi akan mengantarmu
pada ketinggian cahaya?

di kota yang tak pernah gelap
di bawah batu yang batal terbang ke langit
beri aku waktu untuk melepas pakaianku
untuk menerima segala cahaya


13/04/11

Firasat

CERPEN Ilham Yusardi
(I)
“Niar, kau lihat hape?” Bahar menyonsong istrinya yang berada di dapur. Niar sedang mengaduk gula dan kopi, membuatkan minuman pagi buat suaminya itu. Sejenak Niar menoleh, menangkap wajah suaminya menyembul separuh badan di pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur rumah. Niar agaknya sedikit heran dengan kelabat lakinya.
“Hape Uda? Tidak. Tapi, biasanya sebelum tidur, kan Uda taruh di dekat lemari kaca kamar. Tentu masih di situ.” Niar kian keheranan lihat laku suaminya. Tidak biasanya, pagi-pagi ia menanyakan hape. Lagi pula hape yang dibelikan Lara itu, putri tunggal mereka yang sekarang bekerja di ibu kota, memang jarang berbunyi. Hape itu baru seminggu di tangan Bahar. Ia sangat senang sekali. Ia terisak tangis waktu menerima hape itu dari tangan Lara. Ia bersuka cita sekali bukan karena hapenya, tapi Bahar terharu lagi karena itulah pemberian pertama Lara dari hasil jerih peluhnya bekerja. Ia bangga dengan pemberian itu. Padahal, ia tiada pernah meminta di balas budi sedikit pun dari anaknya itu. Malahan ia sangat khawatir Lara yang tidak mau lagi meminta atau menerima uang darinya selepas ia tamat dari kuliah.

Minggu, 27 Oktober 2013

Pembunuhan



CERPEN Delvi Yandra                        

Di sepanjang trotoar, aku melangkah gontai dengan map yang selalu kubawa ke pintu-pintu perusahaan. Tak satu pintu pun pernah membentuk wajahku jadi lebih baik serupa lengkung senyum orang-orang kebanyakan. Penawaranku selalu ditolak sebab alasan yang tidak jelas. Tidak sesuai dengan perkiraanku padahal aku berjanji akan jadi pekerja yang baik kalau perusahaan berkenan menerimaku. Tapi kenyataannya, tak satu perusahaan pun berbaik hati padaku. Tak satu pun.

PUISI Nurfirman AS

Musim Sunyi

musim ini adalah bagian daritingkah diam yang usang
yang menjelma nasib pada ruang-ruang tunggu
dan potongan jarak antara gerimis yang menemui rapuh

sebuah kepingan episode dalam kamar ilusi
dari kejamnya imajinasi orang-orang lalu
yang menancapkan bekas-bekas luka
dengan air mata yang tertahan di tenggorokan
dan suara isak yang luruh dari paru-paru yang menemui sesak

kesendirian telah merenggut jiwa-jiwa para petapa
dan dalam keramaian, mereka sibuk sendiri
memilah sisi-sisi
yang terbentang antara realita sosial dan ruang imaji

tentang musim, suara-suara dari keheningan
terlihat lebih baik
dan sikap diam
adalah jalan terbaik


rumahteduh, Januari 2012

PUISI Fajry Chaniago Ms


Rumah Sakit 

putih ketika kesucian
putih pada kematian

Padang, Mei 2012



Ranjang

matahari mengeluarkan darah
dan kau berteriak hingga ke perut bumi
memecah sunyi kenikmatan

Padang, Mei 2012

Bingkuang Si Padang


OLEH Alizar Tanjung

Lelah Mengejar Engkau" (Hajriansyah)
Ketika Padang memutuskan tinggal di kotanya, dia telah mempertimbangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan darah, daging, dan tulangnya. Darahnya darah Padang. Dagingnya daging Padang. Tulangnya tulang Padang. Dia telah mempertimbangkan baik dan buruknya tinggal di Kota Bingkuang. Tinggal bersebelahan dengan Emmahaven yang kini telah berganti nama dengan Teluk Bayur. Tempat ‘orang rantai’ yang telah almarhlum mengalirkan keringatnya demi membangun Emmahaven di tahun 1890. Tempat para buruh yang tak berijazah Sekolah Dasar mengadu nasibnya mengangkut barang impor dan ekspor. Telah ia kaji untung dan rugi. Sampai hal sedetil-detilnya, seumpamanya nanti ia benar-benar menjadi petani bingkuang yang miskin. Sebab bingkuang hanya laku 5.000 rupiah satu ikat. Kalau ada yang 10.000 rupiah satu ikat hanyalah karena peruntungan baik saja. Dia telah mempertimbangkan pula kemungkinan terburuk suatu hari entah kapan ia akan menjadi lelaki lapuk bersama musnahnya bingkuang dari kotanya. Sebab mucikari tanah yang berlomba-lomba membangun proyek; gudang penumpukan, bulk cargo, mol, hotel, restoran siap saji di kotanya.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...