Minggu, 27 Oktober 2013

PUISI Zelfeni Wimra

ubun-ubun bau pisang batu masak

tiba-tiba aku serasa mencium bau pisang batu masak
ketika mendekap ubun-ubunmu

“lihat mataku. ada barisan anak cabe rawit; abu jerami beterbangan; lendir biji cokelat; dan tangkai cangkul dari cabang surian…”

senyummu menukik ke dalam tangisku
sesuatu yang menyenangkan telah meremangkan ubun-ubunmu

tubuhku serasa mengerdil
meronta dalam buaian bayi tujuh bulan
kedipan terakhirmu begitu riang
mengajakku mencandai boneka musang

sebelum gelap, kikis lagi pisang batu masak
dengan ujung sendok teh itu
suapi aku
suapi aku

2010

PUISI Riza Jhulia Santhika


Mengerti Lelaki

Memangku lelaki, sejauh percumbuan tak kunjung
memberi  arti. Meneteki lelaki, mulutnya terkelupas
saat lepas membuahi janji;  Pergilah imajinasikan
tubuhku, kiranya  itu yang paling kau ingini.

Seperti lelaki,  apa yang dimengerti dari mimpi?
nafsu gila. Menimang jakun kemana-mana
menjajakan dari bibir menjadi cibir, merata dan
mudah saja diterka.

Menjadi lelaki, apa yang kau lakukan agar berarti?
ya, tentu  ya. Lelaki, menjadi tersebut sudah lebih
cukup bangga berdiri. Kapansaja ingkar, kapansaja
bercinta
dan kapanlagi?
“Membuahi birahi dengan serangkaian prosesi, aku menghibur
  jadi penari telanjangnya. Anggap saja lupa diri”


 Padang 2011

PUISI Irmadani Fitri




Hujan Ini

Barangkali hujan-hujan ini air mata orang-orang yang merindu
rindu-rindu yang dibawa angin lalu dan jadi gabak di hulu
mungkin rinduku, rindumu, rindu kita
ah..mataku jadi kering menatap waktu kepulangan
hingga kini tanyaku menghujan
mengapa akhir-akhir ini sering hujan?
apa terlalu bayak yang merindu?
dan bagaimana bisa makin jauh jarak makin deras rindu?

Barangkali hujan-hujan yang sering jatuh dikeningku adalah rindumu
aku jadi kalut, air di mataku jatuh satu-satu
mungkin juga jadi hujan dan jatuh dikeningmu
jika benar hujan-hujan ini adalah air mata orang yang merindu
menderaslah hujan biar deras rindu.

Jendela di Kamar



CERPEN Amelia Asmi

Di kamar aku melihat jendela itu terbuka. Jendela kayu bercat biru. Ada wanita di balik jendela itu. Perempuan mengenakan baju biru berkerah V. Aku tak tahu bawahan yang dikenakannya. Pasalnya tertutup tembok yang menghalang.
Rambut wanita itu dikepang dua. Di dagunya terdapat tahi lalat. Ia menatap lama ke arahku. Kadang bibirnya melengkungkan senyum. Tapi lebih sering bibirnya terkatup lalu matanya yang bergerak liar.  Jauh menatap ke kamarku. Menjelajahi setiap sudut kamar. Bila ada yang aneh, maka tawanya berderai. Aku sering salah tingkah dibuatnya.
Pagi ini tak ada kegiatan. Hari menunjukkan pukul enam pagi. Harum embun merebak di kamarku. Sebelum membuka jendela kamar aku putuskan untuk membuat secangkir teh. Aku seduh teh hangat, nikmat rasanya. Jendela kamar kubuka. Tak cukup hitungan menit, jendela biru itu pun terkuak. Wanita itu masih mengenakan baju yang kemarin. Baju kaus berkerah V warna biru. Ia melihat ke cangkir yang sedang aku pegang. Sepertinya ia ingin mencicipi teh yang kubuat. Aku tersenyum, ia balas senyumku. Lama kami saling memandang. Hingga embun kering di rumput, mentari hadir. Teh dalam gelas pun telah habis. Ia masih berdiri di balik jendelanya.

Kaba Si Ali Amat

PENGANTAR
KABA SI ALI AMAT ini disalin dari kitab beraksara Arab-Melayu berbahasa Melayu-Minangkabau terbitan P.W.M. Trap. Leiden tahun 1895 yang dicetak dengan tehnik lithografi. Dapat dipastikan, sebelum mencetak kitab tersebut tidak dilakukan pembenahan, terlihat dari banyaknya penulisan kata yang salah dan tidak konsisten.     
Umumnya penulisan kitab beraksara Arab-Melayu jaman silam yang tidak bertitik koma, seolah berbentuk seuntai kalimat yang amat panjang, maka dalam menyalinnya ke huruf Latin, kita jadikan kalimat-kalimat pendek dengan sedikit pembenahan dengan maksud memudahkan para peminat membacanya. Selamat membaca!
      
                                                                                Anas Nafis
                                                           
        
KABA SI ALI AMAT

Dicabiak kain dibali,
Dicabiak sahalai deta,
Mamintak tabiak kami banyanyi,
Nyanyi taliriah jadi kaba.
Banda urang kami bandakan,

Padi barapak di pamatang,
Disaok daun jarami,
Kaba urang kami kabakan,
Antah talabiah jo takurang,
Hanyo parintang-rintang hati.

Kaik bakaik rotan sago,
Takaik di aka baha,
Tabang ka langik tabarito,
Jatuah ka bumi jadi kaba.

POLITIC OF MEMORY: Sjafruddin Prawiranegara dalam Dua Zaman: PDRI dan PRRI


OLEH Mestika Zed
Guru Besar Ilmu Sejarah dan Direktur Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE), Universitas Negeri Padang

Mestika Zed
SEJARAH memerlukan peristiwa. Peristiwa memerlukan tokoh. Dan tokoh harus tewas dalam peristiwa. Bagi yang tidak tewas dalam peristiwa, nasibnya akan dipertimbangkan lewat sejarah.
Masalahya sejarah yang mana? Sejarah formal? Atau sejarah publik?
Oleh karena politik yang mendefinisikan syarat-syarat menjadi tokoh ”pahlawan” didasarkan pada ideologi, maka ia menjadi urusan ”politik ingatan” (politics of memory) rezim yang berkuasa. Dalam konstruksi ”politik ingatan” semacam itu, ada tokoh yang harus diingat dan diulang-ulang mengingatnya, bahkan dengan berbagai cara (buku, film, bangunan dan arsip), dan pada saat yang sama ada pula yang wajib dilupakan. Ada tokoh yang pada suatu zaman dielu-elukan, kemudian hilang atau dihilangkan dari peredaran memori bangsa. Mengapa bisa demikian?

PEMENTASAN KOMUNITAS SENI HITAM PUTIH: Tangga, Membangun Narasi Kultural Sendiri


OLEH Esha Tegar Putra
 
Pementasan Tangga (Foto Rivo)
Seusai pertunjukan teater berjudul Tangga yang dipentaskan Komunitas Hitam-Putih di Teater Utama Taman Budaya Sumbar, Minggu (23/9/2011), sebagian permerhati teater berpandangan bahwa kekuatan masing-masing bangunan (aktor, penari, pemusik) dalam pementasan tersebut telah mengaburkan warna ‘Yusril’ selaku sutradara.
Sebagian lagi berpendapat, karena proses pencarian estetik panggung telah membuat peralihan makna dari naskah yang berawal teks naratif puisi Tangga Iyut Fitra tersebut: menghancurkan sebuah sejarah lantas membangun sejarah yang baru… (mengutip pandangan S Metron M).

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...