Minggu, 27 Oktober 2013

POLITIC OF MEMORY: Sjafruddin Prawiranegara dalam Dua Zaman: PDRI dan PRRI


OLEH Mestika Zed
Guru Besar Ilmu Sejarah dan Direktur Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE), Universitas Negeri Padang

Mestika Zed
SEJARAH memerlukan peristiwa. Peristiwa memerlukan tokoh. Dan tokoh harus tewas dalam peristiwa. Bagi yang tidak tewas dalam peristiwa, nasibnya akan dipertimbangkan lewat sejarah.
Masalahya sejarah yang mana? Sejarah formal? Atau sejarah publik?
Oleh karena politik yang mendefinisikan syarat-syarat menjadi tokoh ”pahlawan” didasarkan pada ideologi, maka ia menjadi urusan ”politik ingatan” (politics of memory) rezim yang berkuasa. Dalam konstruksi ”politik ingatan” semacam itu, ada tokoh yang harus diingat dan diulang-ulang mengingatnya, bahkan dengan berbagai cara (buku, film, bangunan dan arsip), dan pada saat yang sama ada pula yang wajib dilupakan. Ada tokoh yang pada suatu zaman dielu-elukan, kemudian hilang atau dihilangkan dari peredaran memori bangsa. Mengapa bisa demikian?

PEMENTASAN KOMUNITAS SENI HITAM PUTIH: Tangga, Membangun Narasi Kultural Sendiri


OLEH Esha Tegar Putra
 
Pementasan Tangga (Foto Rivo)
Seusai pertunjukan teater berjudul Tangga yang dipentaskan Komunitas Hitam-Putih di Teater Utama Taman Budaya Sumbar, Minggu (23/9/2011), sebagian permerhati teater berpandangan bahwa kekuatan masing-masing bangunan (aktor, penari, pemusik) dalam pementasan tersebut telah mengaburkan warna ‘Yusril’ selaku sutradara.
Sebagian lagi berpendapat, karena proses pencarian estetik panggung telah membuat peralihan makna dari naskah yang berawal teks naratif puisi Tangga Iyut Fitra tersebut: menghancurkan sebuah sejarah lantas membangun sejarah yang baru… (mengutip pandangan S Metron M).

Sabtu, 26 Oktober 2013

Pembakar



CERPEN Dafriansyah Putra

Judul: Jendela di Prapatan, karya Amrianis
Ruangan penuh dengan berkas berserakan, buku terkembang, buram bertebaran, dokumen bertumpuk-tumpuk. Kalian senantiasa membiarkannya. Tak ada kesempatan buat membereskan. Kalian terlampau sibuk mengurusi suatu misi yang amat penting, misi dikejar waktu.
Kalian mengenakan baju hijau lumut yang membuat penampilan kalian kelihatan gagah, cantik, dan berwibawa. Kemudian kalian duduk berkumpul mengeliling, bersehadap meja kaca oval yang lebar. Tatapan kalian tertuju pada satu arah, kepada orang yang duduk di paling ujung.
Kalian memasang muka yang begitu serius. Seperti rapat tikus saja. Kalian bercericit ganti-ganti. Satu menanya, satu menyanggah. Satu bersuara yang lain menginap-inapkan.  
“Malam besok jalan!”
Pembicaraan kalian selesai seiring kepalan tangan yang kalian tinju-tinjukan ke udara. Kalian bubar. Bunyi kursi derit-berderit dibuatnya.
***

PUISI Yuka Fainka Putra


Sajak Pendengar Radio
Aku memesan Something Stupid-nya Frank Sinatra dengan segelas kopi, malam memekat dan gerimis memucat, tak bisa memastikan akan reda atau malah menjadi deras. Aku dalam hening yang sangat, cinta. Pada kerelaan-kerealan panjang aku titip asa dalam baris-baris ketidakpastian, dan di ujungnya sungguh-sungguh aku tancapkan realitas.
Dari suara turun ke hati, jangan diganggu karena sungguh nikmat, melakukannya sendiri.
Padan nomor  Gloomy Sunday-nya Reszo Seress, gerimis mulai berganti padat, memuai seluruh ke angkasa, malam semakin lelap dan jangan kau ajak aku menjadi konyol, sebab dalam kesendirian aku tak sedang berhitung, aku hanya menepi pada igauan dan tradisi.
Dari suara turun kehati, mendakilah ke puncak imaji, taklukkan dalam sunyi.
Telah lewat tengah malam, suara sudah tiada yang tinggal hanya tembang-tembang lawas berteman pula dengan lembab, hari berganti dan tak ada lagi jeda iklan dalam pergantin nomor-nomor, selepas Utha Likumahuwa dengan Esokkan Masih Ada di sambung Rayuan Pulau Kelapa, yang tersisa hanya desir yang hening menggantikan suara gerimis, Aku mengecilkan suara radio dan membiarkannya menyala, hingga kembali menyalak.

Painan, September 2012

Maukah Kamu Menikah Denganku, Wahai Cinta?



CERPEN Ramoun Apta

Karya TATANG BSp. 1998
Ia tak peduli, yang ia inginkan cuma satu, seorang istri. Harta ia sudah banyak, mobil ia sudah berserak, kebun memanjang berhektar-hektar, rumah gedung bertingkat, ruko puluhan, motor mewah keluaran Amerika dan Jerman penuh mengisi parkiran koleksi kendaraan di rumahnya. Ekonominya sudah mapan. Tetapi ia kurang bahagia. Ia sehat tetapi senyum tidak berbuah di bibirnya. Saking tidak bahagianya, liurnya saja terasa masam apabila bibirnya mengecap. Ia benar-benar ingin menikah.
Teman-teman yang ia kenal sudah menikah semua. Bahkan, ada yang beristri lebih dari satu. Tiga, lima, bahkan ada yang sampai lima belas. Semua temannya berbahagia. Semua temannya senang bersenda gurau bersama anak-anak mereka sambil menjilat potongan es krim di taman kota. Padahal teman-temannya tidak ada yang kaya seperti ia. Tetapi, “Kenapa hanya aku seorang yang belum menikah?”

PUISI Rio Fitra SY




Masuk Museum


Memasuki ruang remang-remang:
terang dan kelam terkurung,
tak tahu jalan keluar.

Di mana lesung nenek tak meniupkan bara di tungku,
tapi menanak udara.
Aku menyuapi
mulut penuh lumut.

Di dinding, terpajang gambar seseorang.
Matanya menangkap sesuatu yang berkelebat:
sesuatu berwarna angin.

Di sini ingatan adalah bantal di kasur
saat pagi, siang,
dan malam.

Di mana segerombolan pengantin masa lalu membeku.
Konon mereka menatap kita
tanpa membuka matanya
yang pecah.

Padang, 2010

Lelaki Putih Berpayung Merah

CERPEN Amelia Asmi
Burung-burung hitam beriring di langit yang mulai kemerahan. Azan Magrib sebentar lagi berkumandang dari masjid. Anak-anak lagi bermain dipanggil ibunya pulang. Berbenah kemudian mengaji di masjid.
Aku beranjak dari dudukku, berjalan ke depan jendela. Menutupnya dan menurunkan gorden. Tanganku tergantung waktu menurunkan gorden. Di depan, dari jendela aku melihat lelaki berpayung merah. Ia lelaki dewasa, memakai celana panjang dan baju kaos warna hitam. Dari ia memegang payung, aku lihat kulit tangannya putih. Putih bak bengkuang yang baru dikupas. Angin membawa harumnya ke dalam rumah, bau melati. Ia berlalu.
“Aneh, tidak ada hujan ia memakai payung,” pikirku.
Aku mengikat rambutku tinggi. Mengambil kertas untuk mengipas. Siang ini matahari terasa dekat kepala. Di kamar aku berpeluh, baju kaosku basah di bagian punggung dan ketiak. Aku menuju beranda rumah, setidaknya udara dari bunga-bunga di beranda dapat menyejukkan.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...