Narasi
Secangkir Kopi dan Daster
Suaminya baru saja pulang kerja. Wajahnya tampak lesu dan penat. Istrinya
sedang sibuk mencuci. Bergegas ke dapur, bikin kopi. Dua sendok kopi, dua
setengah sendok gula dimasukkan ke dalam cangkir.
“Suamiku suka kopi yang manis” bisiknya
Lalu ia terus tersenyum sambil mengaduk kopi. Ia mengaduk rasa pahit dan
panis bersamaan. Saat mengangkat sendok, tetesan kopi jatuh di ujung dasternya.
Ujung daster itu tampak sempurna kusamnya oleh tetes yang membiaskan noda
hitam.
“Tak apa”, lirihnya.
Ia bertekad membiarkan noda hitam dan aroma pekat kopi menempel di daster
malam pertamanya itu. Dengan begitu ia tak akan kesepian meski suaminya sedang
jauh dari rumah. Aroma kopi adalah harum tubuh suaminya. Secangkir kopi telah
selesai ia buat. Bergegas diantarkannya ke ruang tengah. Masih panas, jari-jari
mungilnya memerah. Diletakkannya secangkir kopi itu di atas meja. Suaminya
sedang asik menatap layar komputer. Masih ada kerja yang belum sudah di kantor.
Ia berdiri di hadapan suaminya. Menunggu komentar tentang kopi buatannya
hari ini. Suami menyeruput kopi yang masih panas, kemudian kembali menatap
layar komputer, tanpa menyisakan setetes kata untuknya.
Bibir istrinya mulai pegal menahan senyum. Tiba-tiba ada suara ketukan di
pintu. Rupanya ada tamu, beberapa orang rekan kerja.
“Mari, masuk! Mari minum kopi!” Ujar suaminya sambil menyodorkan secangkir
kopi.
Senyum istrinya jatuh berserak di lantai. Bergegas ia ke kamar mengganti
dasternya, dan melempar daster kusam malam pertama itu di atas tumpukan kain
kotor.
18 Desember 2011