Rabu, 23 Oktober 2013

Catatan Pementasan “Petang di Taman”: Membaca Taman dalam Tanda Kutip

OLEH Nasrul Azwar

Pementasan "Petang di Taman"
Pada sebuah taman entah di kota mana, awalnya tampak sepi, lalu gaduh. Dua sosok menggugat eksistensinya. Taman—galibnya—adalah representasi kota sekaligus identitas bagi warga kota. Taman sebagai ruang publik, ruang sosial, mungkin juga antisosial, jadi keniscayaan bagi kota modern dan metropolitan. Ia ikon modernisme. Tapi, bisa jadi, taman bagi seorang sastrawan—Iwan Simatupang, misalnya—dalam pengertian tanda kutip. Sebaliknya, ada juga taman dalam pengertian dinas pertamanan.
Panggung teater seperti taman “beneran”. Bukan taman sebagai tempat bergulat berbagai pemikiran dan kemanusiaan. Pohon-pohon rindang, dua bangku, bunga-bunga terpaku dan beku. Warga kota singgah ke taman melepas lelah sembari bermain dengan ternak piaran dengan harga tak masuk akal. Ada juga yang datang ke taman dengan kemurungan, hati dongkol, marah, dan mabuk. Tapi, ada juga yang berbahagia. Taman adalah potret kehidupan sosial sesungguhnya dari kondisi bangsa Indonesia hari ini.

Perempuan dan Dewan Minangkabau

OLEH Anas Nafis
Pengantar
Pada tahun 1945, di Bukit Tinggi ada seorang dokter wanita pribumi. Orang menyebutnya Dokter M. Thomas. Di jaman penjajahan Belanda dulu, selain sebagai dokter, ia juga duduk sebagai pengurus S.K.I.S. (Serikat Kaum Ibu Sumatera). Barangkali ia satu-satunya kaum perempuan yang mengecap pendidikan tinggi di jaman penjajahan dulu.
Sekarang tahun 2005, jadi enam puluh tahun kemudian, situasi sudah jauh berbeda. Entah sudah berapa ratus atau mungkin juga ribuan kaum perempuan yang meraih gelar kesarjanaan.

RAGA TARI: Fisikalitas Budaya dan Tubuh Politik

Catatan Pertunjukan Tari “Senandung Impian” dan “Jalan Pulang”
OLEH Sahrul N 
Dosen Teater ISI Padang Panjang
Tari Senandung Impian. Foto Wendy
Pascasarjana ISI Padang Panjang dalam dua tahun terakhir ini telah melahirkan seniman-seniman pencipta karya seni yang secara akademis perlu dimintai pertanggungjawabannya. Selama ini, khusus untuk penciptaan seni tari terdapat kekecewaan mendalam karena tidak adanya pergumulan konsisten dengan epistemologi raga. Di kalangan mereka yang menggeluti seni pertunjukan tari terdapat nihilnya yang berpijak pada fisikalitas raga yang mampu memahami raga tari sebagai produsen budaya-politik. Seyogyanya seniman pencipta tari memandang kreasi tari sebagai sebuah bentuk teorisasi, yang menjiwai dan dijiwai oleh proses penjabaran signifikansi raga. 

BARAT DANTIMUR DALAM TEKS SASTRA: Perbincangan Postkolonial



OLEH Yetti A.KA
Mahasiswa Program Pascasarjana UGM
Yetti A.KA
Pencitraan negatif yang dilakukan oleh bangsa Barat terhadap Timur banyak terdapat dalam kisah-kisah perjalanan. Dalam buku-buku itu, bangsa Timur sering digambarkan sebagai bangsa terbelakang dan asing. Faruk (2001) berpendapat bahwa, berdasarkan bacaannya atas buku Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature karangan  Rob Nieuwenhuys, imperialisme dan kolonialisasi tidak hanya menempatkan wilayah jajahan sebagai suatu wilayah tempat terbukanya peluang bagi eksploitasi sumber-sumber ekonomi, melainkan juga sebagai sebuah dunia sosial dan kultural yang asing, yang berbeda dari dunia penjajah. Perbedaan itu tidak hanya dipahami sebagai sebuah perbedaan yang netral, horizontal, melainkan mengandung nilai yang bersifat hierarkis dan vertikal. Bangsa penjajah memosisikan diri sebagai kelompok sosial yang berposisi sebagai subjek, arogan, superior, di hadapan masyarakat setempat.

Kaba Sabai Nan Aluih


OLEH Anas Nafis

PENGANTAR

Cerita klasik ini disadur dari KABA SABAJ NAN HALUIH sebagaimana yang dituliskan Dr. Ph. S. van Ronkel dalam TBG. deel 56 – 1914.
Tidak seperti susunan yang termuat dalam TBG tersebut, dalam menyalin kembali kaba atau cerita ini dirombak dan diperbaiki penyajiannya termasuk penyesuaian ejaan agar enak dibaca.
Sebenarnya kaba atau cerita Sabai Nan Aluih ini tidaklah tertata dalam struktur adat Minangkabau yang baku.
Dalam cerita ini diriwayatkan Rajo Nan Panjang membunuh Rajo Babandiang, yaitu ayah si Sabai karena lamarannya ditolak.
Dalam adat Minangkabau seorang ayah tidaklah berperan atau menentukan jodoh anak-anaknya. Sebagai seorang sumando dalam keluarga istrinya sang bapak boleh dikatakan sebagai tukang aminkan saja.
Seharusnya Rajo Nan Panjang berang kepada mamak si Sabai, sebab mamaklah yang berperan dalam menentukan jodoh si Sabai dan bukan ayahnya, yaitu Rajo Babandiang.

Anas Nafis  

Busur Pelangi di Ngarai Sianok: Membaca Kover Belakang Mangkutak di Negeri Prosa Liris





OLEH Fadlillah Malin Sutan
Pengajar FIB Unand dan Kandidat Doktor di Universitas Udayana
seperti lukisan siluet seorang perempuan duduk merentang tangan di bibir lembah Sianok ketika senja, sehingga ketika dilihat dari jauh seakan memegang pelangi jadi busur, memanah ke langit
Tidak seperti biasa, membaca kover belakang kumpulan puisi Mangkutak di Negeri Prosa Liris (2010), yakni membacanya dari belakang, dimulai dari kanan, tidak dari kiri, seperti membuka al Qur’an, terasa lain. Bagian belakang merupakan sesuatu yang terpinggirkan di zaman semua orang lebih mementingkan kulit depan. Jangan kan  bagian belakang, bagian isi pun sering di anggap tidak begitu penting, karena yang lebih penting kulit depan. Sebuah puisi di kulit belakang, yang bukan bagian dari kumpulan puisi, mungkin puisi “dari kumpulannya terbuang” (cf Charil Anwar). Kulit depan sebagai pusat, belakang sebagai pinggir dan dipinggirkan, orang struktural menyebutnya oposisi binner.

Asal Usul Nama Indonesia dan Merdeka



OLEH Anas Nafis


Sungguhpun nama Indonesia “orang bule” yang menemukan, namun di jaman penjajahan dulu Pemerintah Belanda yang juga “bule-bule” enggan mendengar apalagi memakainya. Mereka lebih suka memakai kata Inlanders, Inheemse (Bumi Putera) atau Bevolking van Nederlandsch Indie (penduduk Hindia Belanda).
Tuan Kreemer dalam “Het Koloniaal Weekblad” tahun 1927, mengatakan nama Indonesia itu dianjurkan atau didorong pemakaiannya oleh orang-orang pergerakan komunis dan ulah orang-orang pers.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...