Senin, 21 Oktober 2013

CATATAN DARI MIMBAR TEATER INDONESIA #3 SOLO: Parade Panggung Kaum Kusam



OLEH Nasrul Azwar

Pementasan Interogasi Teater Noktah di MTI#3 Solo
Di atas panggung, setiap malam, manusia-manusia dipaparkan dengan segenap kemanusiawiaannya. Properti yang efesien. Ada lelaki tua, Jumena Martawangsa, rapuh iman yang merasa ajalnya kian dekat namun cemas hartanya jatuh ke tangan istrinya. Dia tak percaya lagi kepada orang lain. Ada Emak yang memberi angin surga pada sosok lugu bernama Abu. Sandek, aktivis buruh dengan multikepribadian menggugat sisi kemanusiaan Direktur Umum.
Panggung teater selama lima hari—minus Kalanari Teater yang menggunakan ruang terbuka— diisi dengan tokoh-tokoh yang idiot, cacat pincang, profesi pelacur, tubuh berkudis, bisu, gembel, para bandit, dan orang-orang tersisih dari kehidupan sosialnya. Semua sebagai representasi kegetiran hidup orang-orang yang tak jelas identitasnya dalam statistik negara. Pentas pun didominasi warna muram hitam, gelap, dan sunyi.

Minggu, 20 Oktober 2013

WACANA MUSIKUM: Imprezione Musik Minangkabau Bercita Rasa World-Jazz



OLEH Nurkholis
Dosen, Komposer, Konduktor, dan Pengamat Musik

Imprezione Musik Minangkabau Bercita Rasa World-Jazz
 Terma musik jazz seringkali melekat dengan suatu gaya permainan musik yang memiliki hubungan khusus dalam waktu (tempo, metrik, frasa, aksentuasi, dinamika, legato-staccato, densitas ritmik, dst...) yang didefinisikan sebagai 'ayunan' untuk sebuah spontanitas dan vitalitas produksi musik­­---wujud di dalam kemerduan improvisasi---, dan cara ungkap yang mencerminkan individualitas dari musisi jazz itu sendiri. Play what do you feel, and feel what do you play (Mainkan apa yang engkau rasakan, dan rasakan kembali apa yang telah engkau mainkan).

Batang Jambu Tumbuh di Perut Suami Saya



CERPEN Romi Zarman

Untuk ketiga kalinya, anak saya kembali menangis. Saya sudah membujuknya. Tapi ia tetap tak mau. Ia minta dicarikan jambu. Bukan jambu yang ada di pasar, tapi jambu yang langsung dari batang. Seperti yang pernah dibawakan ayahnya tiga hari yang lalu. Saya sudah berusaha mencarinya, ke sekeliling rumah. Tapi tetap tak ada batang jambu. Semua ini gara-gara dini hari itu.
Waktu itu suami saya pulang membawa jambu biji di tangan. Katanya, ia mendapatkan langsung dari batang. Anak saya langsung memakan. Enak sekali, katanya. Saya pun ikut menikmati.
Besoknya, suami saya terbaring, tak berdaya menggerakan badan. Katanya, “Perut saya terasa sakit.”
“Apakah karena jambu semalam?”
 “Entahlah,katanya.
Saya berikan obat. Saya suruh istirahat. Tapi tak mujarab. Sakitnya tak mau pergi. Dengan apakah saya harus mengusirnya?  Ke Puskesmas, kata tetangga. Saya jalankan itu usulan. Akan tetapi, diluar dugaan, Puskesmas juga tak bisa membantu. Katanya, “Suami Ibu tak apa-apa. Hanya sakit perut biasa.”

Dua Masjid Satu Imam



CERPEN Andika Destika Khagen

I
Sumber: www.vebidoo.de
Aku jarang pulang ke kampung. Bila ada kesempatan untuk pulang, itu pastilah karena dua orang: Emak dan Mamak.
Emakku begitu perindu. Sebulan saja aku tidak pulang, ia bisa saja sakit. Anehnya, bila aku telah di sampingnya, dan menciumi keningnya yang berkerut,  Emak tiba-tiba saja sehat. Seolah-olah tidak pernah sebelumnya ia merasa sakit. ”Kamu harus sering pulang, Jang,” tutur Udaku.
Baik Emak maupun Uda, pernah berkeinginan aku menetap saja di kampung. Dua hektare tanah peninggalan Bapak masih belum digarap. Tanah itu telah diberikan kepadaku, tersebab Emak tak punya anak perempuan. Aku tak menjawab tawaran Uda. Ia tentu tahu aku tidak pernah diajarkan memegang cangkul, bertanam padi, dan mengenal pekerjaan yang bisa dijadikan pegangan untuk hidup.

Kelopak Langit



CERPEN Ragdi F. Daye

Baiklah, aku akan menelanjangi diriku di depanmu.
Kau akan dengan leluasa melihat semua gurat sepi di pori-pori, semua jejak sesal yang membeku, dan mimpi-mimpi mati di epitel.
Kau tak akan bisa pergi menghindar atau menutup mata dan telinga sebab aku telah memasang rantai yang membuat tubuhmu akan tetap duduk menyimak di kursi itu. Kedua tanganmu telah kuupayakan senyaman mungkin tetap berada di balik punggungmu. Maafkan aku yang terpaksa menyumpal mulutmu dengan saputangan petak-petak biru muda yang kaubelikan, karena aku tak ingin ada sela, ada pertanyaan. Dengarkan saja aku. Setelah itu, kau dapat memutuskan akan tetap mencintaiku atau akan menjauh sepenuh jarak.

Melukis Gonjong



CERPEN Alizar Tanjung

Perhatikanlah Siak menggerakkan tangannya. Bagaimana ia menorehkan kuasnya dengan cara dia yang hati-hati. Kemudian bagaimana ia menggerakkan kuas itu naik turun dengan garis-garis lurus. Melepohnya dengan sangat halus. Semacam sapuan sapu pada daerah yang berdebu, maka berpoleslah semacam minyak kanvas itu. Tujuannya hendak menyelesaikan lukisan gonjong yang terbengkalai.
Ia telah menyelesaikan badan rumah bergonjong tanduk kerbau itu berbulan-bulan, tapi ia bertanya kepada dirinya, kenapa gonjong ini yang belum usai. Perhatikanlah, ia kemudian berkali-kali menghapus keringatnya, semacam berkali-kali bagaimana menyudahkan gonjong rumah gadang. Enam gonjong bagian tengah, satu gonjong menghadap ke depan rumah, menghadap ke jalan panjang yang tepat di depan badannya yang kini sedang menatap lurus.

Bidadari yang Tak Bersuara



CERPEN Methia Farina

Hujan semakin deras. Memekakkan telingaku. Aku mencoba menghitung hujan. Kuulurkan tanganku dari pintu jendela. Air, basah mengelilingi jemari tanganku. Aku memandang bukit barisan dari ke jauhan. Hujan menghalangi pandanganku. Kenapa harus ada hujan. Basah, basah hatiku. Hujan membuatku pilu.
Kursi roda ini selalu menemaniku dikala hujan. Percikan air yang melantun di jendelaku terkenang masa yang memilukan.
Bariqah, namamu melekat di ingatanku. Sepuluh tahun sudah kursi ini menemaniku. Masih adakah engkau melihatku. Duduk memikirkanmu yang telah lama diam di alam sana. Menangis sendiri. Adakah engkau melihatku Bariqah? Hatiku menyentakkan pilu. Engkau pergi dengan laki-laki lain.
***

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...