Minggu, 20 Oktober 2013

Dua Masjid Satu Imam



CERPEN Andika Destika Khagen

I
Sumber: www.vebidoo.de
Aku jarang pulang ke kampung. Bila ada kesempatan untuk pulang, itu pastilah karena dua orang: Emak dan Mamak.
Emakku begitu perindu. Sebulan saja aku tidak pulang, ia bisa saja sakit. Anehnya, bila aku telah di sampingnya, dan menciumi keningnya yang berkerut,  Emak tiba-tiba saja sehat. Seolah-olah tidak pernah sebelumnya ia merasa sakit. ”Kamu harus sering pulang, Jang,” tutur Udaku.
Baik Emak maupun Uda, pernah berkeinginan aku menetap saja di kampung. Dua hektare tanah peninggalan Bapak masih belum digarap. Tanah itu telah diberikan kepadaku, tersebab Emak tak punya anak perempuan. Aku tak menjawab tawaran Uda. Ia tentu tahu aku tidak pernah diajarkan memegang cangkul, bertanam padi, dan mengenal pekerjaan yang bisa dijadikan pegangan untuk hidup.

Kelopak Langit



CERPEN Ragdi F. Daye

Baiklah, aku akan menelanjangi diriku di depanmu.
Kau akan dengan leluasa melihat semua gurat sepi di pori-pori, semua jejak sesal yang membeku, dan mimpi-mimpi mati di epitel.
Kau tak akan bisa pergi menghindar atau menutup mata dan telinga sebab aku telah memasang rantai yang membuat tubuhmu akan tetap duduk menyimak di kursi itu. Kedua tanganmu telah kuupayakan senyaman mungkin tetap berada di balik punggungmu. Maafkan aku yang terpaksa menyumpal mulutmu dengan saputangan petak-petak biru muda yang kaubelikan, karena aku tak ingin ada sela, ada pertanyaan. Dengarkan saja aku. Setelah itu, kau dapat memutuskan akan tetap mencintaiku atau akan menjauh sepenuh jarak.

Melukis Gonjong



CERPEN Alizar Tanjung

Perhatikanlah Siak menggerakkan tangannya. Bagaimana ia menorehkan kuasnya dengan cara dia yang hati-hati. Kemudian bagaimana ia menggerakkan kuas itu naik turun dengan garis-garis lurus. Melepohnya dengan sangat halus. Semacam sapuan sapu pada daerah yang berdebu, maka berpoleslah semacam minyak kanvas itu. Tujuannya hendak menyelesaikan lukisan gonjong yang terbengkalai.
Ia telah menyelesaikan badan rumah bergonjong tanduk kerbau itu berbulan-bulan, tapi ia bertanya kepada dirinya, kenapa gonjong ini yang belum usai. Perhatikanlah, ia kemudian berkali-kali menghapus keringatnya, semacam berkali-kali bagaimana menyudahkan gonjong rumah gadang. Enam gonjong bagian tengah, satu gonjong menghadap ke depan rumah, menghadap ke jalan panjang yang tepat di depan badannya yang kini sedang menatap lurus.

Bidadari yang Tak Bersuara



CERPEN Methia Farina

Hujan semakin deras. Memekakkan telingaku. Aku mencoba menghitung hujan. Kuulurkan tanganku dari pintu jendela. Air, basah mengelilingi jemari tanganku. Aku memandang bukit barisan dari ke jauhan. Hujan menghalangi pandanganku. Kenapa harus ada hujan. Basah, basah hatiku. Hujan membuatku pilu.
Kursi roda ini selalu menemaniku dikala hujan. Percikan air yang melantun di jendelaku terkenang masa yang memilukan.
Bariqah, namamu melekat di ingatanku. Sepuluh tahun sudah kursi ini menemaniku. Masih adakah engkau melihatku. Duduk memikirkanmu yang telah lama diam di alam sana. Menangis sendiri. Adakah engkau melihatku Bariqah? Hatiku menyentakkan pilu. Engkau pergi dengan laki-laki lain.
***

Dahlia di Bibir Bulan



CERPEN Kaba’ti

(Cerita sudah saat pungguk mati di bulan
Tak mati pungguk karena bulan
Mati pungguk karena tuhan)


Di atas langit Kota Belimbing, Bulan  tersenyum pada laki-laki bertampang mabuk yang tertatih mencari tempat rebah. Laki-laki itu berjalan ke kamar kecil di bawah menara di samping mesjid. Fajar mulai muncul, dan langit dipenuhi suara mendengung—suara azan berbaur rekaman ceramah dai-dai popouler juga lantunan salawat dan nyanyian asmaul husna.
Walau sebenarnya mengejek, tetapi senyum Bulan, kapanpun, tetap saja manis. Itulah hiburan jiwa yang menentramkan, memandang senyum Bulan. Laki-laki bertampang mabuk itu kelihatan sangat kehilangan akal. Tangannya menggapai-gapai dan mulutnya meraung-raung kecil seperti kucing kasmaran. Kadang dia mengikuti irama nyanyian asmaul husna tapi kadang entah nyanyian apa pula yang dia lagukan. Maklumlah, pikiran orang yang tak tetap. Tetapi suara laki-laki itu bagus. Karena suara itulah, Bulan selalu tersenyum padanya. Suara yang membuat Bulan sering terlambat pulang ke peraduan. Hanya suara, bagi Bulan, tak pernah tampak wajahnya. Kalau Bulan selalu tersenyum, senyum itu tertuju pada suara. Ya, suara dari ujung menara.

Permintaan Janin



CERPEN Isbedy Stiawan ZS

MAGICIAN Karya Eddy Hermanto
SEJAK kamu hamil, tentu buah dari perkawinan denganku, setiap kau meminta sesuatu dan aku lambat merespons, selalu katamu: “Ini permintaan janin, mas. Bayi kita ini...” sambil mengelus perutmu yang baru berusia empat bulan lebih.
Seperti ketika malam jelang pukul 01.00, kau menggangguku sedang di depan komputer. Kau merengek ingin sekali meminum jus semangka. Di mana aku harus membeli jus semangka di malam buta ini? Taman kuliner di Katamso sudah lama tak beraktivitas, kecuali beberapa warung yang memang menyewa di situ. Sejumlah rumah makan, ah, aku tak yakin masih menyediakan jus semangka keinginanmu.
“Tapi aku pingin sekali, mas. Ini pasti permintaan bayimu di perutku ini. Kamu mau anakmu meleleh terus air liurnya nanti?” katamu merajuk.
Bukan disebabkan memenuhi permintaan janin di perutmu, kalau aku pun menuju motorku di malam itu. Sebabnya, aku hanya ingin menghindari pertengkaran. Hanya itu. Tidak lebih atau pun dikurangi.
“Kau sayang kan dengan yang ini?” tanyamu, selalu itu, sambil menunjuk perutmu yang mulai tampak membuncit itu.

PUISI Yuka Fainka Putra




Kemana Kita Setelah Pulang dari Ingatan

Menyelusuri sunyi menghadirkan keintiman laknat pada tubuh, berguncang dan berkehendak di tepian. Meneguk masa lalu, berhadap-hadapan dengan kenyatan. Sejarah diri adalah ruang untuk tubuh berkelekar, menjadi panggung pertunjukan yang gelap. Tak bisa melawan, karena berjalan maju adalah mingikuti arus, berjalan mundur menguap, namun tak pernah lenyap. lalu kemana kita setelah pulang dari ingatan.

Hanya berdiri diam di tempat.

Terlahir menjadi ada, lalu tak melakukan apa-apa sungguh telah mendustai tubuh, bukankah kita juga pernah di pucuk imaji, riuh gempita dan meneguk madu asmara. Mengapa jua bicara gelap dan terang, jika semisal menyelusuri kelok-kelok itu bisa membuat kita bertahan. Menziarahi penyesalan tentu tak akan merubah apa-apa, situs-situs pertemuan telah mejadi tugu berlambang: kenangan, lalu kemana kita setelah pulang dari ingatan.

Tidak membalik halaman berikutnya.

Terjadi jeda yang berkepanjangan, tubuh hanya diam walau keinginan serupa kecemasan, ingatan memaksa pulang, tak tertahan. Sangsai benar jika memaksa mengunjingi sunyi, setiap ditepis ia malah menari.

Painan, Oktober 2010

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...