CERPEN Kaba’ti
(Cerita sudah saat pungguk mati di bulan
Tak mati pungguk karena bulan
Mati pungguk karena tuhan)
Di atas langit Kota Belimbing, Bulan tersenyum pada laki-laki bertampang mabuk
yang tertatih mencari tempat rebah. Laki-laki itu berjalan ke kamar kecil di
bawah menara di samping mesjid. Fajar mulai muncul, dan langit dipenuhi suara mendengung—suara
azan berbaur rekaman ceramah dai-dai popouler juga lantunan salawat dan
nyanyian asmaul husna.
Walau sebenarnya
mengejek, tetapi senyum Bulan, kapanpun, tetap saja manis. Itulah hiburan jiwa
yang menentramkan, memandang senyum Bulan. Laki-laki bertampang mabuk itu
kelihatan sangat kehilangan akal. Tangannya menggapai-gapai dan mulutnya
meraung-raung kecil seperti kucing kasmaran. Kadang dia mengikuti irama
nyanyian asmaul husna tapi kadang entah nyanyian apa pula yang dia lagukan.
Maklumlah, pikiran orang yang tak tetap. Tetapi suara laki-laki itu bagus. Karena
suara itulah, Bulan selalu tersenyum padanya. Suara yang membuat Bulan sering
terlambat pulang ke peraduan. Hanya suara, bagi Bulan, tak pernah tampak
wajahnya. Kalau Bulan selalu tersenyum, senyum itu tertuju pada suara. Ya,
suara dari ujung menara.