Minggu, 20 Oktober 2013

Dahlia di Bibir Bulan



CERPEN Kaba’ti

(Cerita sudah saat pungguk mati di bulan
Tak mati pungguk karena bulan
Mati pungguk karena tuhan)


Di atas langit Kota Belimbing, Bulan  tersenyum pada laki-laki bertampang mabuk yang tertatih mencari tempat rebah. Laki-laki itu berjalan ke kamar kecil di bawah menara di samping mesjid. Fajar mulai muncul, dan langit dipenuhi suara mendengung—suara azan berbaur rekaman ceramah dai-dai popouler juga lantunan salawat dan nyanyian asmaul husna.
Walau sebenarnya mengejek, tetapi senyum Bulan, kapanpun, tetap saja manis. Itulah hiburan jiwa yang menentramkan, memandang senyum Bulan. Laki-laki bertampang mabuk itu kelihatan sangat kehilangan akal. Tangannya menggapai-gapai dan mulutnya meraung-raung kecil seperti kucing kasmaran. Kadang dia mengikuti irama nyanyian asmaul husna tapi kadang entah nyanyian apa pula yang dia lagukan. Maklumlah, pikiran orang yang tak tetap. Tetapi suara laki-laki itu bagus. Karena suara itulah, Bulan selalu tersenyum padanya. Suara yang membuat Bulan sering terlambat pulang ke peraduan. Hanya suara, bagi Bulan, tak pernah tampak wajahnya. Kalau Bulan selalu tersenyum, senyum itu tertuju pada suara. Ya, suara dari ujung menara.

Permintaan Janin



CERPEN Isbedy Stiawan ZS

MAGICIAN Karya Eddy Hermanto
SEJAK kamu hamil, tentu buah dari perkawinan denganku, setiap kau meminta sesuatu dan aku lambat merespons, selalu katamu: “Ini permintaan janin, mas. Bayi kita ini...” sambil mengelus perutmu yang baru berusia empat bulan lebih.
Seperti ketika malam jelang pukul 01.00, kau menggangguku sedang di depan komputer. Kau merengek ingin sekali meminum jus semangka. Di mana aku harus membeli jus semangka di malam buta ini? Taman kuliner di Katamso sudah lama tak beraktivitas, kecuali beberapa warung yang memang menyewa di situ. Sejumlah rumah makan, ah, aku tak yakin masih menyediakan jus semangka keinginanmu.
“Tapi aku pingin sekali, mas. Ini pasti permintaan bayimu di perutku ini. Kamu mau anakmu meleleh terus air liurnya nanti?” katamu merajuk.
Bukan disebabkan memenuhi permintaan janin di perutmu, kalau aku pun menuju motorku di malam itu. Sebabnya, aku hanya ingin menghindari pertengkaran. Hanya itu. Tidak lebih atau pun dikurangi.
“Kau sayang kan dengan yang ini?” tanyamu, selalu itu, sambil menunjuk perutmu yang mulai tampak membuncit itu.

PUISI Yuka Fainka Putra




Kemana Kita Setelah Pulang dari Ingatan

Menyelusuri sunyi menghadirkan keintiman laknat pada tubuh, berguncang dan berkehendak di tepian. Meneguk masa lalu, berhadap-hadapan dengan kenyatan. Sejarah diri adalah ruang untuk tubuh berkelekar, menjadi panggung pertunjukan yang gelap. Tak bisa melawan, karena berjalan maju adalah mingikuti arus, berjalan mundur menguap, namun tak pernah lenyap. lalu kemana kita setelah pulang dari ingatan.

Hanya berdiri diam di tempat.

Terlahir menjadi ada, lalu tak melakukan apa-apa sungguh telah mendustai tubuh, bukankah kita juga pernah di pucuk imaji, riuh gempita dan meneguk madu asmara. Mengapa jua bicara gelap dan terang, jika semisal menyelusuri kelok-kelok itu bisa membuat kita bertahan. Menziarahi penyesalan tentu tak akan merubah apa-apa, situs-situs pertemuan telah mejadi tugu berlambang: kenangan, lalu kemana kita setelah pulang dari ingatan.

Tidak membalik halaman berikutnya.

Terjadi jeda yang berkepanjangan, tubuh hanya diam walau keinginan serupa kecemasan, ingatan memaksa pulang, tak tertahan. Sangsai benar jika memaksa mengunjingi sunyi, setiap ditepis ia malah menari.

Painan, Oktober 2010

PUISI Fernando




Menapak Maninjau

setapak, setapak maninjau yang kutemukan danau juga,
kabut  tanjung raya benar mengelilingi ribuan keramba, 
ikan ikan di dalamnya jelma jadi anak anak gunung tinjau,
yang sempat hilang dari garis bayang,
hingga ingin kuingat bagaimana rupa tanjung raya,
saat ia masih sebagai  insan bersama bujang sembilan

Padang, Oktober 2010

PUISI Y. Thendra BP



Di Jembatan Siti Nurbaya

siti, muara teramat senja
mengalir di bawah rambutmu
mengingat kasih bergenggam
untuk melepas.

hati selalu sampai
anginlah yang mencerai.
bagaimana menggenggam angin
yang mudah berubah?

rasakan, rasakanlah tiang jembatan
yang mulai dingin
dengan mata terbuka.
burung burung laut
melintasi garis tualang
memetakan sepi yang panjang.

dermaga melambai pada kapal yang berlayar.
kekasih terusir ke pulau jauh.
tapi rindu akan merunut ranji
dari mana cinta bermula.

percayalah!

tak di lahir bersatu
di batin bertaut jua


Padang, 2008

PUISI Ramoun Apta



Pujangga Bulan


bungkusan teri di sudut pasar. lakon pejuang
di sepanjang dinding pembatas jalan. gelagat para nabi
dalam setiap ingatan pejalan yang buram.

ia hanya penyair yang tak dikenal. penyair yang tak pernah
mendapat pujian dan merasakan sentuhan kekasih.
setiap malam membayangkan bulan jatuh di pangkuan. setiap malam
menghitung bintang yang menjauh ke negeri seberang.

bila pagi datang, ia hanya membayangkan wajah bulan.
betapa inginnya ia berpergian dengan wajah yang punah
dari dendam orang-orang terbuang.

dalam hujan ia mengenang;
mengaminkan nasib serupa korban pembunuhan tuan
tuan yang tak kenyang-kenyang menelan darah ibunda
yang sudah menjanda.


Tunas Mandiri-LPK, 2010-2011

PUISI Anggi Fadilah

Negeri Mimpi

Kubaca takdir satu-satu
Terawang langit merekah
Terbius cairan darah dan menetes
Sepanjang akar pengap
Di batas negeri mimpi

                        Langit dan tanah jadi satu
                        Menyikat pekat bayang hitam dalam poros
                        Bersaksikan
                        Embun dan lintah-lintah

Ku tatap senja kemarau panjang
Di musim itu
Gerimis mematah jejak di gurunmu
Coba selimuti dengan dengkur
Dan menadahlah penuh sungguh

                        Simpangan laut jadi beritamu
                        Tatapku
            Rasamu
Tancap!
Menjelmakan sangkar hitam, hingga
Terang tak mampu menampakkan putihnya
                        Riuh gemuruh bersorak sayu
                        Bersimpuhlah kiranya

                                                                                                INS Kayutanam, 2011

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...