Minggu, 20 Oktober 2013

PUISI Fernando




Menapak Maninjau

setapak, setapak maninjau yang kutemukan danau juga,
kabut  tanjung raya benar mengelilingi ribuan keramba, 
ikan ikan di dalamnya jelma jadi anak anak gunung tinjau,
yang sempat hilang dari garis bayang,
hingga ingin kuingat bagaimana rupa tanjung raya,
saat ia masih sebagai  insan bersama bujang sembilan

Padang, Oktober 2010

PUISI Y. Thendra BP



Di Jembatan Siti Nurbaya

siti, muara teramat senja
mengalir di bawah rambutmu
mengingat kasih bergenggam
untuk melepas.

hati selalu sampai
anginlah yang mencerai.
bagaimana menggenggam angin
yang mudah berubah?

rasakan, rasakanlah tiang jembatan
yang mulai dingin
dengan mata terbuka.
burung burung laut
melintasi garis tualang
memetakan sepi yang panjang.

dermaga melambai pada kapal yang berlayar.
kekasih terusir ke pulau jauh.
tapi rindu akan merunut ranji
dari mana cinta bermula.

percayalah!

tak di lahir bersatu
di batin bertaut jua


Padang, 2008

PUISI Ramoun Apta



Pujangga Bulan


bungkusan teri di sudut pasar. lakon pejuang
di sepanjang dinding pembatas jalan. gelagat para nabi
dalam setiap ingatan pejalan yang buram.

ia hanya penyair yang tak dikenal. penyair yang tak pernah
mendapat pujian dan merasakan sentuhan kekasih.
setiap malam membayangkan bulan jatuh di pangkuan. setiap malam
menghitung bintang yang menjauh ke negeri seberang.

bila pagi datang, ia hanya membayangkan wajah bulan.
betapa inginnya ia berpergian dengan wajah yang punah
dari dendam orang-orang terbuang.

dalam hujan ia mengenang;
mengaminkan nasib serupa korban pembunuhan tuan
tuan yang tak kenyang-kenyang menelan darah ibunda
yang sudah menjanda.


Tunas Mandiri-LPK, 2010-2011

PUISI Anggi Fadilah

Negeri Mimpi

Kubaca takdir satu-satu
Terawang langit merekah
Terbius cairan darah dan menetes
Sepanjang akar pengap
Di batas negeri mimpi

                        Langit dan tanah jadi satu
                        Menyikat pekat bayang hitam dalam poros
                        Bersaksikan
                        Embun dan lintah-lintah

Ku tatap senja kemarau panjang
Di musim itu
Gerimis mematah jejak di gurunmu
Coba selimuti dengan dengkur
Dan menadahlah penuh sungguh

                        Simpangan laut jadi beritamu
                        Tatapku
            Rasamu
Tancap!
Menjelmakan sangkar hitam, hingga
Terang tak mampu menampakkan putihnya
                        Riuh gemuruh bersorak sayu
                        Bersimpuhlah kiranya

                                                                                                INS Kayutanam, 2011

PUISI Mohammad Isa Gautama


                             
                        HUJAN SEPERTI

                        hujan seperti pena dan pensil
                        sembunyi di ingatan masa lalu

                        ketika sungai-sungai meluap di musim beku
                        dan cinta tak lebih dari kupu-kupu

                        singgah di kepingan peta layu
                        tanpa skala dan garis pantai

                        seperti wajah tak dikenal
                        mengintip di cermin banal

                        kala riwayat tak terurai
                        dan waktu hanyalah radio

                        menggamitmu lewat saluran resah
                        tentang kekasih yang lama menanti

                        hujan seperti…

                        Bandung, 2004-2011

PUISI Budi Saputra



Mata Air

rahasia hujan yang kerap singgah dalam diri kita, yang berupa
butir yang bersemayam di titik pecahnya itu. bertahun-tahun hujan
berenang di tiap perguliran uap bumi. menyapih kelopak mawar
dan segala benih-benih yang tunas

namun hujan kadang menghilang dari padang hijau
dan kulit-kulit kehidupan

di tepi bukit itu, ada yang selalu menggelitik ingatan kita, katamu.
mata air yang mengalir dari batangan bambu. bermusim-musim
tetap mengalir seperti halnya angin yang senantiasa menggetarkan
dedaun kayu. saat musim kering merayap di hamparan tanah,
dimana sebagian ditanami benih dan sebagaian lainnya lahan tidur
atau hakulah, kita pernah menyaksikan bocah-bocah menjinjing
sekian dirijen air dari mata air itu. dalam kabut petang, dalam lenguh
sapi yang pulang kandang, kita tak habisnya meneruka sekian makna
“ sesungguhnya di tiap perguliran uap bumi ke langit lepas itu,
termaktub sebuah keikhlasan bagi yang ranggas dan yang kering”
   
Padang, 2010

Sabtu, 19 Oktober 2013

POLEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: Beban Berat Kritikus Sastra



OLEH Heru Joni Putra
Mahasiswa Sastra Inggris FIB Unand


Heru Joni Putra dan Agus Hernawan
Setiap ada tulisan perihal kritik sastra, tak jarang muncul polemik, baik itu yang mempermasalahkan langkanya kritikus sastra, karya kritik yang tidak layak,  ataupun yang mempertanyakan peran akademisi sastra sebagai kritikus sastra.
Setidaknya hal tersebut selalu menjadi bahan pembicaraan yang tak dapat dihindarkan. Tetapi tetap saja tak ada muncul kritikus yang diharapkan—(sebenarnya penggunaan kata “diharapkan” di sini pun agak meragukan bagi saya, karena harapan sastrawan sebagai produsen karya sering tak sesuai dengan harapan kritikus), sehingga polemik-polemik mengenai kritik sastra terus berlanjut sampai sekarang dan bahkan merembes ke masalah lain.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...