Minggu, 20 Oktober 2013

PUISI Mohammad Isa Gautama


                             
                        HUJAN SEPERTI

                        hujan seperti pena dan pensil
                        sembunyi di ingatan masa lalu

                        ketika sungai-sungai meluap di musim beku
                        dan cinta tak lebih dari kupu-kupu

                        singgah di kepingan peta layu
                        tanpa skala dan garis pantai

                        seperti wajah tak dikenal
                        mengintip di cermin banal

                        kala riwayat tak terurai
                        dan waktu hanyalah radio

                        menggamitmu lewat saluran resah
                        tentang kekasih yang lama menanti

                        hujan seperti…

                        Bandung, 2004-2011

PUISI Budi Saputra



Mata Air

rahasia hujan yang kerap singgah dalam diri kita, yang berupa
butir yang bersemayam di titik pecahnya itu. bertahun-tahun hujan
berenang di tiap perguliran uap bumi. menyapih kelopak mawar
dan segala benih-benih yang tunas

namun hujan kadang menghilang dari padang hijau
dan kulit-kulit kehidupan

di tepi bukit itu, ada yang selalu menggelitik ingatan kita, katamu.
mata air yang mengalir dari batangan bambu. bermusim-musim
tetap mengalir seperti halnya angin yang senantiasa menggetarkan
dedaun kayu. saat musim kering merayap di hamparan tanah,
dimana sebagian ditanami benih dan sebagaian lainnya lahan tidur
atau hakulah, kita pernah menyaksikan bocah-bocah menjinjing
sekian dirijen air dari mata air itu. dalam kabut petang, dalam lenguh
sapi yang pulang kandang, kita tak habisnya meneruka sekian makna
“ sesungguhnya di tiap perguliran uap bumi ke langit lepas itu,
termaktub sebuah keikhlasan bagi yang ranggas dan yang kering”
   
Padang, 2010

Sabtu, 19 Oktober 2013

POLEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: Beban Berat Kritikus Sastra



OLEH Heru Joni Putra
Mahasiswa Sastra Inggris FIB Unand


Heru Joni Putra dan Agus Hernawan
Setiap ada tulisan perihal kritik sastra, tak jarang muncul polemik, baik itu yang mempermasalahkan langkanya kritikus sastra, karya kritik yang tidak layak,  ataupun yang mempertanyakan peran akademisi sastra sebagai kritikus sastra.
Setidaknya hal tersebut selalu menjadi bahan pembicaraan yang tak dapat dihindarkan. Tetapi tetap saja tak ada muncul kritikus yang diharapkan—(sebenarnya penggunaan kata “diharapkan” di sini pun agak meragukan bagi saya, karena harapan sastrawan sebagai produsen karya sering tak sesuai dengan harapan kritikus), sehingga polemik-polemik mengenai kritik sastra terus berlanjut sampai sekarang dan bahkan merembes ke masalah lain.

POLEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: Sastrawan yang Baik sama dengan Kritikus yang Baik




OLEH Andhika Dinata
Penulis Buku Taufiq Ismail di Mata Mahasiswa

Andhika Dinata
Ada yang bertanya. Ada yang menjawab. Ada yang mengkritik. Ada yang mengulas. Tanya-jawab, kritikan, ulasan menjadi buah pena yang lazim dari suatu kritik sastra. Seorang kritikus tidak disebut “kritikus” apabila ia tidak mampu mengkritik. Begitu juga sebaliknya, seorang kritikus tidak akan dapat pula disebut “kritikus” apabila ia tidak “berbesar hati” untuk dikritik. Budaya kritik-mengkritik dalam konteks -kritik sastra- memang harus terus berkembang menjadi siklus eksistensi yang tidak boleh padam.
Tidak berbeda halnya dengan sastrawan, kritikus sastra juga berasal dari rahim dan proses kreatif yang hampir sama. Ia bukan (lah) lahir secara kebetulan, tetapi ia lahir dan tumbuh lewat embrio perdebatan, diskusi dan juga polemik. Seorang sastrawan secara kebetulan atau tidak akan menjadi kritikus sastra–setidaknya buat karyanya sendiri, tidak jarang juga mereka (sastrawan) juga mengulas karya orang lain.

Kota Lampion

CERPEN Dodi Prananda

Sumber: http://www.cepolina.com
Bahkan, aku tidak tahu kenapa aku bisa sampai melangkah ke kota ini. Perjalanannya begitu asing. Begitu cepat. Secepat kilat, sampai-sampai aku lupa, dengan mengendarai apa sehingga aku bisa sampai tersesat ke kota lampion ini. Setelah yakin bahwa aku benar-benar merasa asing dengan kota ini, aku yakin bahwa  aku telah benar-benar tersesat.
Begitu sampai ke kota ini, aku agak heran. Kuedarkan tatapanku ke seluruh arah. Tidak ada satu orang pun. Kota apa ini? Berkali-kali aku bertanya dalam hati. Tapi, tak jua mendapatkan jawaban. Bangunan-bangunan berasitektur seperti istana kulihat tampak tersusun rapi di hadapan tiang yang berjejer lampu-lampu lampion warna merah. Kota nan indah. Kulihat keindahan yang begitu luar biasa dari kota ini. Tapi, kenapa tak ada seorang pun manusia di sini?

RESPONS TERHADAP TULISAN ROMI ZARMAN: Terapi Autisme Kesastraan



OLEH Esha Tegar Putra
Dosen di Universitas Bung Hatta Padang 
Esha Tegar Putra
A Moment To Remember, film drama Korea (2004), sutradara John H Lee adalah peristiwa yang sedikit dekat dengan penuturan tulisan Romi Zarman (Autisme Kesastraan”, Harian Haluan, Minggu 27 Februari 2011). Dalam A Moment To Remember, seorang laki-laki dihadapkan pada kenyataan, harus menerima kekasihnya divonis berpenyakit alzheimer.
Perlahan, si kekasih hilang ingatannya, sampai ia lupa pada diri sendiri. Tokoh laki-laki berusaha mengingatkan, melalui potret-potret romantis masa lalu, catatan-catatan kecil pada kulkas, meja, pintu, di mana si kekasih bisa mengingat dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Usaha itu membuahkan hasil, si kekasih mengingat hari lalu, hari depan pun tampak bagi mereka berdua. Yang paling berharga di kisah ini, tentunya cinta dan sejarah, kenangan dan ingatan.

PUISI Isbedy Stiawan ZS



Taman Hutan Kota
: suatu malam

baiklah, jadikan lelampu itu
sebagai bulan di wajahmu

akhirnya ke taman ini
kita tak juga menemukan
                         bulan,
seperti yang kau 
minta padaku
sebelum berangkat tadi:
sudah berapa tempat singgah
dan berapa kafe
hanya mau melihat bulan
jatuh di meja makan

"anakmu (tepatnya masih jabang)
di dalam rahim ini, selalu bernyanyi:
'bulan bulan tok 
bulan segede batok'
dan berdendang:
'o bulan o bulan....'

lalu ke taman hutan kota
kau tengadahkan wajahmu
ingin sekali harap
bulan jatuh persis di perutmu

kau mengelus (tepatnya membelai)
wajah perutmu, yang di dalamnya
bersemayam jabang
yang kini selalu berdendang

'hidung mangir
dagu lancip
siapa punya?'

ah, cukuplah kau sehat
bulan tak pucat
di kolam itu 


06112010

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...