Sabtu, 19 Oktober 2013

POLEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: Sastrawan yang Baik sama dengan Kritikus yang Baik




OLEH Andhika Dinata
Penulis Buku Taufiq Ismail di Mata Mahasiswa

Andhika Dinata
Ada yang bertanya. Ada yang menjawab. Ada yang mengkritik. Ada yang mengulas. Tanya-jawab, kritikan, ulasan menjadi buah pena yang lazim dari suatu kritik sastra. Seorang kritikus tidak disebut “kritikus” apabila ia tidak mampu mengkritik. Begitu juga sebaliknya, seorang kritikus tidak akan dapat pula disebut “kritikus” apabila ia tidak “berbesar hati” untuk dikritik. Budaya kritik-mengkritik dalam konteks -kritik sastra- memang harus terus berkembang menjadi siklus eksistensi yang tidak boleh padam.
Tidak berbeda halnya dengan sastrawan, kritikus sastra juga berasal dari rahim dan proses kreatif yang hampir sama. Ia bukan (lah) lahir secara kebetulan, tetapi ia lahir dan tumbuh lewat embrio perdebatan, diskusi dan juga polemik. Seorang sastrawan secara kebetulan atau tidak akan menjadi kritikus sastra–setidaknya buat karyanya sendiri, tidak jarang juga mereka (sastrawan) juga mengulas karya orang lain.

Kota Lampion

CERPEN Dodi Prananda

Sumber: http://www.cepolina.com
Bahkan, aku tidak tahu kenapa aku bisa sampai melangkah ke kota ini. Perjalanannya begitu asing. Begitu cepat. Secepat kilat, sampai-sampai aku lupa, dengan mengendarai apa sehingga aku bisa sampai tersesat ke kota lampion ini. Setelah yakin bahwa aku benar-benar merasa asing dengan kota ini, aku yakin bahwa  aku telah benar-benar tersesat.
Begitu sampai ke kota ini, aku agak heran. Kuedarkan tatapanku ke seluruh arah. Tidak ada satu orang pun. Kota apa ini? Berkali-kali aku bertanya dalam hati. Tapi, tak jua mendapatkan jawaban. Bangunan-bangunan berasitektur seperti istana kulihat tampak tersusun rapi di hadapan tiang yang berjejer lampu-lampu lampion warna merah. Kota nan indah. Kulihat keindahan yang begitu luar biasa dari kota ini. Tapi, kenapa tak ada seorang pun manusia di sini?

RESPONS TERHADAP TULISAN ROMI ZARMAN: Terapi Autisme Kesastraan



OLEH Esha Tegar Putra
Dosen di Universitas Bung Hatta Padang 
Esha Tegar Putra
A Moment To Remember, film drama Korea (2004), sutradara John H Lee adalah peristiwa yang sedikit dekat dengan penuturan tulisan Romi Zarman (Autisme Kesastraan”, Harian Haluan, Minggu 27 Februari 2011). Dalam A Moment To Remember, seorang laki-laki dihadapkan pada kenyataan, harus menerima kekasihnya divonis berpenyakit alzheimer.
Perlahan, si kekasih hilang ingatannya, sampai ia lupa pada diri sendiri. Tokoh laki-laki berusaha mengingatkan, melalui potret-potret romantis masa lalu, catatan-catatan kecil pada kulkas, meja, pintu, di mana si kekasih bisa mengingat dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Usaha itu membuahkan hasil, si kekasih mengingat hari lalu, hari depan pun tampak bagi mereka berdua. Yang paling berharga di kisah ini, tentunya cinta dan sejarah, kenangan dan ingatan.

PUISI Isbedy Stiawan ZS



Taman Hutan Kota
: suatu malam

baiklah, jadikan lelampu itu
sebagai bulan di wajahmu

akhirnya ke taman ini
kita tak juga menemukan
                         bulan,
seperti yang kau 
minta padaku
sebelum berangkat tadi:
sudah berapa tempat singgah
dan berapa kafe
hanya mau melihat bulan
jatuh di meja makan

"anakmu (tepatnya masih jabang)
di dalam rahim ini, selalu bernyanyi:
'bulan bulan tok 
bulan segede batok'
dan berdendang:
'o bulan o bulan....'

lalu ke taman hutan kota
kau tengadahkan wajahmu
ingin sekali harap
bulan jatuh persis di perutmu

kau mengelus (tepatnya membelai)
wajah perutmu, yang di dalamnya
bersemayam jabang
yang kini selalu berdendang

'hidung mangir
dagu lancip
siapa punya?'

ah, cukuplah kau sehat
bulan tak pucat
di kolam itu 


06112010

Kamis, 17 Oktober 2013

MITIGASI KEBENCANAAN: Pertahanan Terbaik Bernama Pengetahuan


OLEH Nasrul Azwar
Jurnalis Freelance, tinggal di Padang
Pertahanan terbaik terbaik manusia menghadapi bencana alam adalah pengetahuan. Pengetahuan yang tepat sangat berpotensi meminimalisir risiko jatuhnya korban lebih luas. Sejauh mana pengetahuan dan kesiapsiagaan bencana itu dipahami masyarakat?

Sumber: http://3.bp.blogspot.com/

Nenek itu tampak bingung. Orang-orang meneriakinya agar bergegas ke luar rumah. Malam itu, kebetulan hanya ia yang berada di rumahnya. Anak dan menantunya ke luar kota. Lidah nenek terasa berat untuk berucap membalas teriakan itu. Bibirnya pun menggigil.

“Air sudah setinggi pinggang. Sebentar lagi akan sampai ke sini. Cepat Nek!” Sorak lelaki paruh baya sembari memopong nenek itu ke atas mobilnya. Nenek itu tak bersuara. Ia pasrah. Mobil bergerak lambat.

Rabu, 16 Oktober 2013

Konsolidasi Kultural Suku Bangsa Minangkabau: Aktualisasi ABS-SBK di Tengah Tantangan Lokal, Nasional, dan Global

OLEH Azyumardi Azra
Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
 
Azyumardi Azra
“Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah; syarak mangato, adaik mamakai.”
Konsolidasi kultural suku bangsa Minangkabau? Kenapa ada gagasan seperti ini? Bukankah suku bangsa Minangkabau terkenal di seantero Nusantara sebagai sebuah suku yang distingtif, yang relatif memiliki karakter yang khas? Begitu distingtifnya berbagai aspek kehidupan suku bangsa ini sehingga menjadi sasaran penelitian para ahli dan peneliti, mulai dari tradisi matrilinealnya yang unik, adat istiadatnya yang khas, budaya merantau yang tidak pernah pudar, sampai kepada Islam yang dipandang sangat kuat baik di masa lampau maupun kontemporer.
Tetapi, pada saat yang sama, berbagai aspek kehidupan suku bangsa Minangkabau juga cenderung cair, karena kebudayaannya yang terbuka, yang ‘eksvolutif’, berbeda dengan kebudayaan suku Jawa yang ‘involutif’—melingkar ke dalam jika kita meminjam kerangka Clifford Geertz tentang ‘involutif pertanian Jawa’. Karena itu, kebudayaan suku Minangkabau cenderung sangat terbuka bagi budaya luar, dengan mengorbankan budayanya sendiri, yang lebih lama menjadi distingsinya.

Nyanyian Badai (Sepotong Puisi yang Belum Selesai)


CERPEN Alwi Karmena

Sudah lama sekali kami tak bersama. Sudah lama. Sejak pelayaran penghabisan di Tanjung Cina itu. Berpuluh tahun yang lalu, kenangan semakin berkabut dalam derai musim yang urutannya hampir pupus. Kesan tentang dia, larut dalam sebuah tragedi perpisahan tak tercatat. Perpisahan yang tajam. Setajam silet. Mencukur remang impian masa lalu. Masa-masa di kapal. Masa di mana jiwa ini masih dahaga mengembara.
Karinus Budikase namanya. Orang Sangihe. Lelaki laut. Berdarah laut. Kekar, tapi tak kasar. Kulitnya legam dengan cambang yang lebat di rahang. Adalah dia, sahabat karibku. Sahabat yang tegar berkelebat  dalam badai. Sahabat seperasaian. Bergulat bersama antara hidup dan mati di laut malam.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...