OLEH Andhika
Dinata
Penulis Buku Taufiq Ismail di Mata Mahasiswa
Andhika Dinata |
Ada yang bertanya. Ada yang menjawab. Ada yang
mengkritik. Ada yang mengulas. Tanya-jawab, kritikan, ulasan menjadi buah pena
yang lazim dari suatu kritik sastra. Seorang kritikus tidak disebut “kritikus”
apabila ia tidak mampu mengkritik. Begitu juga sebaliknya, seorang kritikus
tidak akan dapat pula disebut “kritikus” apabila ia tidak “berbesar hati” untuk
dikritik. Budaya kritik-mengkritik dalam konteks -kritik sastra- memang harus
terus berkembang menjadi siklus eksistensi yang tidak boleh padam.
Tidak berbeda halnya dengan sastrawan, kritikus sastra
juga berasal dari rahim dan proses kreatif yang hampir sama. Ia bukan (lah)
lahir secara kebetulan, tetapi ia lahir dan tumbuh lewat embrio perdebatan,
diskusi dan juga polemik. Seorang sastrawan secara kebetulan atau tidak akan
menjadi kritikus sastra–setidaknya buat karyanya sendiri, tidak jarang juga
mereka (sastrawan) juga mengulas karya orang lain.