Rabu, 16 Oktober 2013

Marapulai

CERPEN Delvi Yandra

Malam ini adalah malam terberat sepanjang hidupku. Pikiranku terus melambung. Aku hanya terus duduk merenung di sudut kamar. Di atas lapik kubentangkan kitab suci tanpa membaca surat-surat di dalamnya. Sesungguhnya, besok aku akan menjadi marapulai.
Bukan pekerjaan yang kupersoalkan atau masalah setoran yang cukup membuat repot tapi ini adalah persoalan anjuran agama. Besok aku akan melaksanakan akad nikah. Gadis pinangan yang dipilih Abak bukanlah perempuan yang kucintai. Sebenarnya aku belum berniat mencari pendamping hidup dengan alasan bahwa aku masih ingin menikmati kesendirian dengan pekerjaanku. Jadi, tak perlu kiranya kusebutkan bagaimana sebenarnya perempuan itu. Yang jelas, ia bukan perempuan yang dapat membuat aku jatuh hati padanya. Tidak ada pesona yang menarik.

Senin, 14 Oktober 2013

Catatan Pertunjukan “Empat Lingkar” Komunitas Intro Payakumbuh: Puitik, Monoton, dan Sedikit Gagap


OLEH Susandro
Penikmat Teater
Adegan pertunjukan Empat Lingkar (Dok)
“Mereka lahir tersebab takdir dan impian. Setelah lahir mereka pun tumbuh dalam impian. Dan ketika hamil mereka kembali bermimpi, obsesi, klise, bahkan menakutkan.”
Frase di atas jadi kata kunci pertunjukan teater Empat Lingkar yang diusung Komunitas Seni Intro Payakumbuh, karya dan sutradara Della Nasution—seorang perempuan aktivis seni—yang dilangsungkan di arena sederhana di Komunitas Seni Intro Payakumbuh pada 4 Desember 2010. 

Koreografer Perempuan Bicara tentang Perempuan

OLEH Asril Muchtar
Pemerhati Seni Pertunjukan dan Dosen ISI Padang Panjang
“Jalan Andami” karya Evadila(Foto AM)
Minggu, (26/12/2010) ada dua karya tari yang menjadi peristiwa budaya di Padang Panjang, yakni; “Jalan Andami” karya Evadila dan “Aku dan Sekujur Manekin” karya Nike Suryani. Kedua karya ini didedikasikan sebagai tugas akhir penciptaan tari Program Pascasarjana ISI Padang Panjang dan sebagai pertunjukan penutup tahun 2010.
Evadila mementaskan koreografinya di Gedung Jurusan Teater ISI, sedangkan Nike Suryani di Auditorium ISI Padang Panjang.
Keduanya mencoba membaca persoalan yang banyak dialami oleh para perempuan dalam kasus dan suasana batin yang berbeda. Evadila mencoba menoleh ke masa silam dengan menginterpretasi episode Kataluak Koto Tanau dari kaba (cerita) Anggun Nan Tongga versi seni tutur sijobang.

KABA UMBUIK MUDO: Bapadoman kapado kaba Umbuik Mudo

Disusun dan Ditulih: Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto
bagian 4 (Habis)

Mandeh Umbuik Mudo (56-8)
Galang Banyak nan baiak budi
Bungo satangkai tangah koto
Niyaiklah lamo nak kamari
Kinilah baru basuonyo

Jo mandeh kami lah barundiang
Rasonyo lai kasasuai
Hanyo mananti kato anak
Nak jaleh tampuak kami jinjiang
Jo anak kami nak bahandai
Cobolah timbang jo gamak
Jalan nan pasa kami tampuah
Uncang barisi kami bao
Mamintak kami sungguah-sungguah
Umbuik Mudo urang ka sumando
Ba-apo pikiran dek si Galang

Sabtu, 12 Oktober 2013

POLEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: Autisme Kesastraan


OLEH Romi Zarman
Pengarang

Romi Zarman
Autistik adalah kata yang tepat untuk esai Darman Moenir (Harian Haluan Minggu, 23 Januari 2011). Saya katakan autistik karena keterbatasan komunikasi yang dibangunnya. Keterbatasan itu terlihat ketika ia hanya mampu membangun komunikasi dengan “dirinya sendiri”, sehingga tak mengherankan kenapa baginya hanya Wisran Hadi satu-satunya pengarang dari Sumatra Barat yang karyanya terpilih dalam empat naskah terbaik sayembara novel DKJ 2010. Padahal, selain Wisran Hadi juga ada Hendri Teja asal Pariaman yang naskahnya juga masuk dalam empat naskah terbaik tersebut. Parahnya lagi, keterbatasan itu justru dimaknai dari sisi yang kurang tepat oleh tiga penanggap awal.
Pemaknaan yang dilakukan oleh Delvy Kurnia Alamsyah (Harian Haluan, Minggu (30 Januari 2011), Sudarmoko dan Elly Delvia (Harian Haluan, Minggu, 6 Februari 2011), dan Muhammad Subhan (Harian Haluan 13 Februari 2011), justru memunculkan autistik baru. Autistik itu terlihat dari masing-masing esai Sudarmoko dan Kurnia Alamsyah yang berpretensi membersihkan kesastraan dari arogansi dan politik kanonisasi. Esai Muhammad Subhan sendiri lebih tepat disebut sebagai kengawuran standarisasi atas kebermutuan karya yang dilihatnya dari laris atau tidaknya suatu karya. Efek atas autistik sebelumnya pun jadi terluputkan. Apa yang terluputkan dari esai Darman Moenir bitu adalah generalisasi standar penilaian Darman Moenir atas kebermutuan karya. Semestinya Darman Moenir melakukan kategorisasi berdasarkan generasi pengarang, bukan asal main “pukul rata” saja.

Mutu Karya Sastra Sumbar 30 Tahun Terakhir

OLEH DARMAN MOENIR

Satu
TEMA Menyoal Kebermutuan Karya Sastra Sumatera Barat membingungkan. Apalagi, lebih khusus, judul Mutu Karya Sastra Sumatera Barat 30 Tahun Terakhir.
Adakah karya sastra Sumatera Barat? Saya lebih tertarik menyebut karya sastra Indonesia, ditulis dalam bahasa Indonesia, oleh sastrawan yang berasal dari Sumatera Barat atau Minangkabau. Sumatera Barat jadi risalah ketata-negaraan, dan Minangkabau adalah masalah etnik(al). Chairil Anwar adalah penyair besar dan penting Indonesia biarpun dia berasal dari Taeh Baruah, Payokumbuah. Begitu juga Abdoel Moeis, novelis modern sastra Indonesia, lahir di Sungai Pua, Agam.
Pula, menulis dengan tema itu tidak memungkinkan saya tidak menyebut diri sendiri. Saya sejak awal, sejak berusia 18 tahun, memang terlibat dan melibatkan diri dalam dunia sastra, menulis beberapa puisi, cerpen, cerita anak, novel, esai dan kritik sastra, bahkan mengerjakan terjemahan (dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia). Menilai diri sendiri saya hindari benar sejak dulu. Itu narsisisme! Itu perbuatan memalukan, sering jadi bahan tertawaan.
 
Ini makalah yang dibawakab Darman Moenir dalam Dialog Sastra di Taman Budaya Sumbar (Kamis, 10 Oktober 2013)

Sastra Sumbar Bangkit, 5 Tahun Muncul 50 Buku Sastra

PADANG – Bagaimana mutu karya sastra Sumbar saat ini? Itulah pertanyaan yang diapung kan dalam acara Dialog Sastra bertema ‘Menyoal Kebermutuan Karya Sastra Sumbar’ di Taman Budaya Padang, Kamis (10/10).
Tiga sastrawan Sumbar hadir sebagai narasumber, Darman Moenir, Zelfeni Wimra dan Romi Zarman. Para peserta diskusi pun sastrawan dan penikmat sastra se-Sumbar. Mereka menyampaikan pandangan masing-masing tentang mutu karya sastra Sumbar saat ini.
Sastrawan dan Budayawan, Darman Moenir mengatakan Sumbar tak pernah miskin karya sastra. Dalam lima tahun terakhir sudah terbit lebih dari 50 buku sastra yang ditulis pengarang asal Sumbar. Yang terbaru sebut saja Novel ‘Gadis Berbudi’ karya Irzen Hawer. Ada pula novel ‘Karnoe, Sejarah Tak Tertulis di Balik Nama Besar’ karya Jombang Santani Khairen. Beberapa lagi novel karya Jose Rizal, Zaili Asril, Wisran Hadi, Khairul Jasmi, A. Fuadi, Raflis Chaniago, Akmal Nasery Basral, Asye Saidra, Nang Syamsuddin, Mustafa Ibrahim dan beberapa pengarang lain.

 

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...