Senin, 14 Oktober 2013

KABA UMBUIK MUDO: Bapadoman kapado kaba Umbuik Mudo

Disusun dan Ditulih: Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto
bagian 4 (Habis)

Mandeh Umbuik Mudo (56-8)
Galang Banyak nan baiak budi
Bungo satangkai tangah koto
Niyaiklah lamo nak kamari
Kinilah baru basuonyo

Jo mandeh kami lah barundiang
Rasonyo lai kasasuai
Hanyo mananti kato anak
Nak jaleh tampuak kami jinjiang
Jo anak kami nak bahandai
Cobolah timbang jo gamak
Jalan nan pasa kami tampuah
Uncang barisi kami bao
Mamintak kami sungguah-sungguah
Umbuik Mudo urang ka sumando
Ba-apo pikiran dek si Galang

Sabtu, 12 Oktober 2013

POLEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: Autisme Kesastraan


OLEH Romi Zarman
Pengarang

Romi Zarman
Autistik adalah kata yang tepat untuk esai Darman Moenir (Harian Haluan Minggu, 23 Januari 2011). Saya katakan autistik karena keterbatasan komunikasi yang dibangunnya. Keterbatasan itu terlihat ketika ia hanya mampu membangun komunikasi dengan “dirinya sendiri”, sehingga tak mengherankan kenapa baginya hanya Wisran Hadi satu-satunya pengarang dari Sumatra Barat yang karyanya terpilih dalam empat naskah terbaik sayembara novel DKJ 2010. Padahal, selain Wisran Hadi juga ada Hendri Teja asal Pariaman yang naskahnya juga masuk dalam empat naskah terbaik tersebut. Parahnya lagi, keterbatasan itu justru dimaknai dari sisi yang kurang tepat oleh tiga penanggap awal.
Pemaknaan yang dilakukan oleh Delvy Kurnia Alamsyah (Harian Haluan, Minggu (30 Januari 2011), Sudarmoko dan Elly Delvia (Harian Haluan, Minggu, 6 Februari 2011), dan Muhammad Subhan (Harian Haluan 13 Februari 2011), justru memunculkan autistik baru. Autistik itu terlihat dari masing-masing esai Sudarmoko dan Kurnia Alamsyah yang berpretensi membersihkan kesastraan dari arogansi dan politik kanonisasi. Esai Muhammad Subhan sendiri lebih tepat disebut sebagai kengawuran standarisasi atas kebermutuan karya yang dilihatnya dari laris atau tidaknya suatu karya. Efek atas autistik sebelumnya pun jadi terluputkan. Apa yang terluputkan dari esai Darman Moenir bitu adalah generalisasi standar penilaian Darman Moenir atas kebermutuan karya. Semestinya Darman Moenir melakukan kategorisasi berdasarkan generasi pengarang, bukan asal main “pukul rata” saja.

Mutu Karya Sastra Sumbar 30 Tahun Terakhir

OLEH DARMAN MOENIR

Satu
TEMA Menyoal Kebermutuan Karya Sastra Sumatera Barat membingungkan. Apalagi, lebih khusus, judul Mutu Karya Sastra Sumatera Barat 30 Tahun Terakhir.
Adakah karya sastra Sumatera Barat? Saya lebih tertarik menyebut karya sastra Indonesia, ditulis dalam bahasa Indonesia, oleh sastrawan yang berasal dari Sumatera Barat atau Minangkabau. Sumatera Barat jadi risalah ketata-negaraan, dan Minangkabau adalah masalah etnik(al). Chairil Anwar adalah penyair besar dan penting Indonesia biarpun dia berasal dari Taeh Baruah, Payokumbuah. Begitu juga Abdoel Moeis, novelis modern sastra Indonesia, lahir di Sungai Pua, Agam.
Pula, menulis dengan tema itu tidak memungkinkan saya tidak menyebut diri sendiri. Saya sejak awal, sejak berusia 18 tahun, memang terlibat dan melibatkan diri dalam dunia sastra, menulis beberapa puisi, cerpen, cerita anak, novel, esai dan kritik sastra, bahkan mengerjakan terjemahan (dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia). Menilai diri sendiri saya hindari benar sejak dulu. Itu narsisisme! Itu perbuatan memalukan, sering jadi bahan tertawaan.
 
Ini makalah yang dibawakab Darman Moenir dalam Dialog Sastra di Taman Budaya Sumbar (Kamis, 10 Oktober 2013)

Sastra Sumbar Bangkit, 5 Tahun Muncul 50 Buku Sastra

PADANG – Bagaimana mutu karya sastra Sumbar saat ini? Itulah pertanyaan yang diapung kan dalam acara Dialog Sastra bertema ‘Menyoal Kebermutuan Karya Sastra Sumbar’ di Taman Budaya Padang, Kamis (10/10).
Tiga sastrawan Sumbar hadir sebagai narasumber, Darman Moenir, Zelfeni Wimra dan Romi Zarman. Para peserta diskusi pun sastrawan dan penikmat sastra se-Sumbar. Mereka menyampaikan pandangan masing-masing tentang mutu karya sastra Sumbar saat ini.
Sastrawan dan Budayawan, Darman Moenir mengatakan Sumbar tak pernah miskin karya sastra. Dalam lima tahun terakhir sudah terbit lebih dari 50 buku sastra yang ditulis pengarang asal Sumbar. Yang terbaru sebut saja Novel ‘Gadis Berbudi’ karya Irzen Hawer. Ada pula novel ‘Karnoe, Sejarah Tak Tertulis di Balik Nama Besar’ karya Jombang Santani Khairen. Beberapa lagi novel karya Jose Rizal, Zaili Asril, Wisran Hadi, Khairul Jasmi, A. Fuadi, Raflis Chaniago, Akmal Nasery Basral, Asye Saidra, Nang Syamsuddin, Mustafa Ibrahim dan beberapa pengarang lain.

 

KABA UMBUIK MUDO: Bapadoman Kapado Kaba Umbuik Mudo

Disusun dan Ditulih: Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto
bagian 3

Gurindam Legaran 6
Sudah barundiang jo adiaknyo
Umbuik Mudo hatilah sanang
Kami aliah tujuan kato
Si Galang Banyak kito bincang
Dilapeh siriah jo pinang
Pamanggia urang di nagari
Lah tibo dihari nan dibilang
Alek bamulai hanyo lai

Rami alek indak tabado
Bahimpun urang nan banyak
Bapak mandeh sanang hatinyo
Kok untuang dapek jodoh anak

Umbuik Mudo talambek tibo
Alek lah rami tigo hari
Bajawek salam jo gurunyo
Sadang barundiang lah tu kini
Hap…Tah ...Tih ...

Mutu Karya Sastra Sumatera Barat 30 Tahun Terakhir Dipertanyakan

Dialog Sastra di Taman Budaya (10/10/13) Foto Dakwatuna
dakwatuna.com – Padang. Sastrawan Sumatera Barat Darman Moenir kembali mempertanyakan mutu karya sastra Sumatera Barat 30 tahun terakhir. Sepanjang 30 tahun itu, menurut Darman Moenir, karya-karya sastra yang terbit di Sumatera Barat “tidak ada” yang bermutu. 

Pernyataan Darman Moenir itu disampaikannya dalam kegiatan Dialog Sastra bertajuk “Menyoal Kebermutuan Karya Sastra Sumatera Barat” yang digelar UPTD Taman Budaya Sumatera Barat, Kamis (10/10), di Galeri Seni Rupa Taman Budaya Sumatera Barat di Padang. Diskusi itu dihadiri kalangan sastrawan, seniman, budayawan, akademisi, pengamat sastra, dan sejumlah penulis muda.

Ekonomi Kreatif Sumatra Barat: Potensi Besar, Pemahaman Kurang

Tidak diragukan lagi, Indonesia memang punya segudang ragam budaya yang mampu membuat mata dunia terpesona, termasuk Provinsi Sumatra Barat. Namun sebagian SKPD terkait dengan sektor ini di Sumatra Barat belum fokus mengembangkan secara maksimal dan terencana menuju industri kreatif.
Budaya tersebut bisa menjadi potensi ekonomi yang besar bila dikembangkan dengan baik. Modal tersebut bisa menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi kreatif dunia. Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI mengakui, banyak hal yang harus dibenahi untuk mengembangkan industri kreatif di Indonesia, dan pemerintah proaktif mencari solusi yang menguntungkan semua pihak.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...