OLEH Romi Zarman
Pengarang
Romi Zarman |
Autistik adalah kata yang tepat untuk esai Darman
Moenir (Harian Haluan Minggu, 23
Januari 2011). Saya katakan autistik karena keterbatasan komunikasi yang
dibangunnya. Keterbatasan itu terlihat ketika ia hanya mampu membangun
komunikasi dengan “dirinya sendiri”, sehingga tak mengherankan kenapa baginya
hanya Wisran Hadi satu-satunya pengarang dari Sumatra Barat yang karyanya
terpilih dalam empat naskah terbaik sayembara novel DKJ 2010. Padahal, selain
Wisran Hadi juga ada Hendri Teja asal Pariaman yang naskahnya juga masuk dalam
empat naskah terbaik tersebut. Parahnya lagi, keterbatasan itu justru dimaknai
dari sisi yang kurang tepat oleh tiga penanggap awal.
Pemaknaan yang dilakukan oleh Delvy Kurnia Alamsyah
(Harian Haluan, Minggu (30 Januari 2011),
Sudarmoko dan Elly Delvia (Harian Haluan,
Minggu, 6 Februari 2011), dan Muhammad Subhan (Harian Haluan 13 Februari 2011), justru memunculkan autistik baru.
Autistik itu terlihat dari masing-masing esai Sudarmoko dan Kurnia Alamsyah
yang berpretensi membersihkan kesastraan dari arogansi dan politik kanonisasi.
Esai Muhammad Subhan sendiri lebih tepat disebut sebagai kengawuran
standarisasi atas kebermutuan karya yang dilihatnya dari laris atau tidaknya
suatu karya. Efek atas autistik sebelumnya pun jadi terluputkan. Apa yang
terluputkan dari esai Darman Moenir bitu adalah generalisasi standar penilaian
Darman Moenir atas kebermutuan karya. Semestinya Darman Moenir melakukan
kategorisasi berdasarkan generasi pengarang, bukan asal main “pukul rata” saja.