Sabtu, 12 Oktober 2013

KABA UMBUIK MUDO: Bapadoman Kapado Kaba Umbuik Mudo

Disusun dan Ditulih: Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto
bagian 3

Gurindam Legaran 6
Sudah barundiang jo adiaknyo
Umbuik Mudo hatilah sanang
Kami aliah tujuan kato
Si Galang Banyak kito bincang
Dilapeh siriah jo pinang
Pamanggia urang di nagari
Lah tibo dihari nan dibilang
Alek bamulai hanyo lai

Rami alek indak tabado
Bahimpun urang nan banyak
Bapak mandeh sanang hatinyo
Kok untuang dapek jodoh anak

Umbuik Mudo talambek tibo
Alek lah rami tigo hari
Bajawek salam jo gurunyo
Sadang barundiang lah tu kini
Hap…Tah ...Tih ...

Mutu Karya Sastra Sumatera Barat 30 Tahun Terakhir Dipertanyakan

Dialog Sastra di Taman Budaya (10/10/13) Foto Dakwatuna
dakwatuna.com – Padang. Sastrawan Sumatera Barat Darman Moenir kembali mempertanyakan mutu karya sastra Sumatera Barat 30 tahun terakhir. Sepanjang 30 tahun itu, menurut Darman Moenir, karya-karya sastra yang terbit di Sumatera Barat “tidak ada” yang bermutu. 

Pernyataan Darman Moenir itu disampaikannya dalam kegiatan Dialog Sastra bertajuk “Menyoal Kebermutuan Karya Sastra Sumatera Barat” yang digelar UPTD Taman Budaya Sumatera Barat, Kamis (10/10), di Galeri Seni Rupa Taman Budaya Sumatera Barat di Padang. Diskusi itu dihadiri kalangan sastrawan, seniman, budayawan, akademisi, pengamat sastra, dan sejumlah penulis muda.

Ekonomi Kreatif Sumatra Barat: Potensi Besar, Pemahaman Kurang

Tidak diragukan lagi, Indonesia memang punya segudang ragam budaya yang mampu membuat mata dunia terpesona, termasuk Provinsi Sumatra Barat. Namun sebagian SKPD terkait dengan sektor ini di Sumatra Barat belum fokus mengembangkan secara maksimal dan terencana menuju industri kreatif.
Budaya tersebut bisa menjadi potensi ekonomi yang besar bila dikembangkan dengan baik. Modal tersebut bisa menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi kreatif dunia. Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI mengakui, banyak hal yang harus dibenahi untuk mengembangkan industri kreatif di Indonesia, dan pemerintah proaktif mencari solusi yang menguntungkan semua pihak.

P0LEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: TANGGAPAN DARMAN MOENIR


Menulis Novel “Kerja” Kreatif!
OLEH Darman Moenir
Sastrawan

MENULIS karya sastra, dalam hal ini, novel, pada hkreatifakikatnya adalah “pekerjaan” (di antara tanda petik) . Setelah Allah SWT menciptakan laut maka manusia membuat garam. Setelah Allah SWT menciptakan kapas maka manusia menenun kain. Setelah Allah SWT menciptakan eter, maka manusia mengadakan komunikasi maya. Dan setelah Allah SWT menciptakan alat bicara dan kata dan bahasa (juga bahasa Indonesia), maka manusia mengadakan bahasa tulis, penyair menciptakan puisi, novelis menciptakan novel. Mencipta melalui pemberian yang Mahakuasa itu adalah kreativitas!
Sekali garam terbentuk, sekali kain tertenun, dan sekali internet terujud, maka kreativitas itu berubah menjadi produktivitas. Pembuat garam, penenun dan pembuat piranti dunia maya berikut hanya mengulang atau melanjutkan apa yang dikerjakan pendahulu. Tidak lebih, tidak kurang. Begitu pula, menulis Salah Asuhan (1928), merupakan pencapaian luar biasa Abdul Muis. Siapa pun yang kemudian menulis seperti yang dilakukan Abdul Muis takkan menghasilkan novel bermutu. Sekali lagi, bermutu, satu kata yang saya pinjam dari Suryadi, yang sekarang berada di Negeri Belanda.

Selasa, 08 Oktober 2013

Polemik Sastra Sumatra Barat Menjalar ke Facebook


Berikut ini kami turunkan komentar-komentar para pegiat sastra di ruang jejaring sosial semenjak dibukanya polemik terhadap tulisan Darman Moenir di ruang ini satu setengah bulan lalu, tentu dengan penyuntingan. Selain itu pula—juga hangat jadi perbincangan di  Facebook—tentang “diangkatnya” sebagai laporan khusus sastra di rubrik Rona harian Koran Jakarta polemik ini tanpa mencantumkan sumbernya sehingga menuai kritik pula.
Ruang ini memang dikesankan sebagai ranah dialektis untuk kita bersama tanpa tendensi tentunya. Setiap tulisan, dinilai sebagai respons positif untuk kemajuan kultural. Memang, saatnya kita merawat dan merayakan berpikir dialektis dan merdeka.

POLEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: Kelangkaan Kritikus dan Peneliti Sastra



OLEH Nelson Alwi
Budayawan tinggal di Padang
                                       
Nelson Alwi
TAK terbantahkan, dengan tulisan berjudul 30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra Barat (Harian Haluan, Minggu (23 Januari 2011) Darman Moenir berhasil menggugah gairah sejumlah intelektual untuk penulis esai sastra sekaligus mempublikasikannya di harian kesayangan ini. Semangat mereka semoga dapat dipelihara dan semakin menyala-nyala, menyinari aktivitas berkesusastraan, terutama di daerah tercinta ini.
Dan kini, pada gilirannya masalah langkanya kritikus (baca: kritikus dan peneliti) sastra di daerah ini pun ditaja menjadi tema yang seyogianya dibahas. Sebab, menurut redaktur ”Kultur” Harian Haluan: ”... karya-karya yang lahir dari rahim sastrawan Sumatra Barat —baik berupa cerpen, puisi maupun novel— tak terpindai secara cermat dan hanya menghuni rak-rak buku tanpa perbincangan yang dialektis dan dalam”.

Minggu, 06 Oktober 2013

Perbioskopan di Padang: “Mati” dalam Belantara Teknologi Informasi


Bioskop Raya Padang

Pihak pengelola bioskop dinilai lamban membaca perkembangan zaman. Akibatnya, satu-satu tutup dan berguguran ditelan zaman.
Keputusan Hollywood berhenti mengirimkan produksi filmnya ke Indonesia, pekan lalu, banyak mengundang reaksi. Namun sampai saat ini pemutaran film di bioskop Cinema 21 dan XXI masih normal. Kendati begitu, jangan kaitkan dengan kondisi bioskop-bioskop di Kota Padang. Distop atau pun tak distop Hollywood, untuk perkembangan film di Kota Padang tak bersentuhan betul. Hidup saja, sudah syukur.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...