Selasa, 08 Oktober 2013

Polemik Sastra Sumatra Barat Menjalar ke Facebook


Berikut ini kami turunkan komentar-komentar para pegiat sastra di ruang jejaring sosial semenjak dibukanya polemik terhadap tulisan Darman Moenir di ruang ini satu setengah bulan lalu, tentu dengan penyuntingan. Selain itu pula—juga hangat jadi perbincangan di  Facebook—tentang “diangkatnya” sebagai laporan khusus sastra di rubrik Rona harian Koran Jakarta polemik ini tanpa mencantumkan sumbernya sehingga menuai kritik pula.
Ruang ini memang dikesankan sebagai ranah dialektis untuk kita bersama tanpa tendensi tentunya. Setiap tulisan, dinilai sebagai respons positif untuk kemajuan kultural. Memang, saatnya kita merawat dan merayakan berpikir dialektis dan merdeka.

POLEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: Kelangkaan Kritikus dan Peneliti Sastra



OLEH Nelson Alwi
Budayawan tinggal di Padang
                                       
Nelson Alwi
TAK terbantahkan, dengan tulisan berjudul 30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra Barat (Harian Haluan, Minggu (23 Januari 2011) Darman Moenir berhasil menggugah gairah sejumlah intelektual untuk penulis esai sastra sekaligus mempublikasikannya di harian kesayangan ini. Semangat mereka semoga dapat dipelihara dan semakin menyala-nyala, menyinari aktivitas berkesusastraan, terutama di daerah tercinta ini.
Dan kini, pada gilirannya masalah langkanya kritikus (baca: kritikus dan peneliti) sastra di daerah ini pun ditaja menjadi tema yang seyogianya dibahas. Sebab, menurut redaktur ”Kultur” Harian Haluan: ”... karya-karya yang lahir dari rahim sastrawan Sumatra Barat —baik berupa cerpen, puisi maupun novel— tak terpindai secara cermat dan hanya menghuni rak-rak buku tanpa perbincangan yang dialektis dan dalam”.

Minggu, 06 Oktober 2013

Perbioskopan di Padang: “Mati” dalam Belantara Teknologi Informasi


Bioskop Raya Padang

Pihak pengelola bioskop dinilai lamban membaca perkembangan zaman. Akibatnya, satu-satu tutup dan berguguran ditelan zaman.
Keputusan Hollywood berhenti mengirimkan produksi filmnya ke Indonesia, pekan lalu, banyak mengundang reaksi. Namun sampai saat ini pemutaran film di bioskop Cinema 21 dan XXI masih normal. Kendati begitu, jangan kaitkan dengan kondisi bioskop-bioskop di Kota Padang. Distop atau pun tak distop Hollywood, untuk perkembangan film di Kota Padang tak bersentuhan betul. Hidup saja, sudah syukur.

Bioskop dan Perfilman di Padang Tempo Doeloe



OLEH Suryadi
Alumnus Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Andalas dosen dan peneliti di Universitas Leiden, Belanda
SURYADI
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sudah sejak akhir abad ke-19 Padang menjadi kota ‘modern’, bahkan menjadi kota yang paling ‘maju’di bagian barat Indonesia. Kemajuan Padang meningkat pesat setelah sarana jembatan kereta api dibangun di Sumatra Barat pada 1892 menyusul pembangunan pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur).
Sejak 1870-an Padang sudah mempunya koran (koran pertama yang muncul di kota ini bernama “Bentara Melajoe”), yang kemudian makin banyak jumlahnya (Adam 1975), baik yang berbahasa Belanda maupun yang berbahasa Melayu. Unsur kebudayaan bandar (urban) lainnya, seperti rumah bola (societeit), hotel (seperti Hotel Sumatra dan Hotel Oranje) dan komplek pertokoan yang menjual barang-barang impor dan buatan dalam negeri cukup lengkap di Padang Bahkan ikan herring yang ditangkap oleh nelayan Belanda di Laut Utara dapat dibeli di Padang pada waktu itu.

WAWANCARA EMERALDY CHATRA: Pengusaha Bioskop Lamban Bertindak

EMERALDY CHATRA
“Pada akhir tahun 2000-an, saya meluncurkan ide agar Sumatera Barat dikembangkan jadi sentra produksi film alternatif setelah Jakarta. Siapa tahu nanti bisa jadi hollywoodnya Indonesia. Karena itu saya siapkan sebuah nama, Padariamwood (Padariam itu singkatan dari Padang-Pariaman),” kata Emeraldy Chatra.
Ini bukan sekadar luncuran ide iseng. Sejarah film Indonesia, kalau kita mau jujur, tidak bisa dilepaskan dari kehadiran sineas Minang pada awal kemerdekaan. Mereka itu antara lain Usmar Ismail, Haji Djamaluddin Malik, Dr Abu Hanifah, Drs. Asrul Sani, Roestam St. Palindih, Anjar Asmara, Dr Adnan Kapau Gani, Hasmanan, Soekarno M. Noor, dan Rosihan Anwar. Anjar Asmara, Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik dapat dikatakan pionir bagi perkembangan film Indonesia modern.

Amanat Moral dalam Kaba



OLEH Adriyetti Amir
Staf Pengajar FIB Unand
I
Yang menjadi topik pembicaraan ini adalah ajaran atau  pesan moral dalam sastra tradisional Minangkabau. Pembicaran tentang ajaran moral dalam sastra Minangkabau belum banyak dibicarakan. Padahal kaba bagi masyarakat Minangkabau selain sebagai sebuah hiburan, ia juga salah satu sumber pelajaran untuk berkata dan bersikap, dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu kali ini akan dibicarakan ajaran moral dalam sebuah karya sastra Minangkabau, yaitu Kaba Rancak di Labuah.

Kamis, 03 Oktober 2013

POLEMIK SASTRA SUMATERA BARAT: Biarkan Pembaca yang Menjadi “Hakim”



OLEH Muhammad Subhan
Penikmat Sastra, Bergiat di Komunitas Sastra Rumah Kabut Padang Panjang

TULISAN Darman Moenir berjudul “30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra Barat” (Harian Haluan, Minggu, 23 Januari 2011) memicu polemik di koran ini. Respons pertama muncul dari Devy Kurnia Alamsyah yang mengaku bukan sastrawan di dalam tulisannya berjudul “Arogansi Sastra Kanon” (Haluan, Minggu, 30 Januari 2011). Disusul tulisan Sudarmoko pekan lalu berjudul “Sedikit Gambaran Sastra Indonesia di Sumatra Barat, Tanggapan Terhadap Tulisan Darman Moenir dan Devy Kurnia Alamsyah” (Haluan, Minggu, 6 Februari 2011), serta tulisan Elly Delfia, Dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang di hari yang sama berjudul “Bahasa Cermin Kebermutuan Karya Sastra dan Pengarang”.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...