Minggu, 06 Oktober 2013

Bioskop dan Perfilman di Padang Tempo Doeloe



OLEH Suryadi
Alumnus Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Andalas dosen dan peneliti di Universitas Leiden, Belanda
SURYADI
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sudah sejak akhir abad ke-19 Padang menjadi kota ‘modern’, bahkan menjadi kota yang paling ‘maju’di bagian barat Indonesia. Kemajuan Padang meningkat pesat setelah sarana jembatan kereta api dibangun di Sumatra Barat pada 1892 menyusul pembangunan pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur).
Sejak 1870-an Padang sudah mempunya koran (koran pertama yang muncul di kota ini bernama “Bentara Melajoe”), yang kemudian makin banyak jumlahnya (Adam 1975), baik yang berbahasa Belanda maupun yang berbahasa Melayu. Unsur kebudayaan bandar (urban) lainnya, seperti rumah bola (societeit), hotel (seperti Hotel Sumatra dan Hotel Oranje) dan komplek pertokoan yang menjual barang-barang impor dan buatan dalam negeri cukup lengkap di Padang Bahkan ikan herring yang ditangkap oleh nelayan Belanda di Laut Utara dapat dibeli di Padang pada waktu itu.

WAWANCARA EMERALDY CHATRA: Pengusaha Bioskop Lamban Bertindak

EMERALDY CHATRA
“Pada akhir tahun 2000-an, saya meluncurkan ide agar Sumatera Barat dikembangkan jadi sentra produksi film alternatif setelah Jakarta. Siapa tahu nanti bisa jadi hollywoodnya Indonesia. Karena itu saya siapkan sebuah nama, Padariamwood (Padariam itu singkatan dari Padang-Pariaman),” kata Emeraldy Chatra.
Ini bukan sekadar luncuran ide iseng. Sejarah film Indonesia, kalau kita mau jujur, tidak bisa dilepaskan dari kehadiran sineas Minang pada awal kemerdekaan. Mereka itu antara lain Usmar Ismail, Haji Djamaluddin Malik, Dr Abu Hanifah, Drs. Asrul Sani, Roestam St. Palindih, Anjar Asmara, Dr Adnan Kapau Gani, Hasmanan, Soekarno M. Noor, dan Rosihan Anwar. Anjar Asmara, Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik dapat dikatakan pionir bagi perkembangan film Indonesia modern.

Amanat Moral dalam Kaba



OLEH Adriyetti Amir
Staf Pengajar FIB Unand
I
Yang menjadi topik pembicaraan ini adalah ajaran atau  pesan moral dalam sastra tradisional Minangkabau. Pembicaran tentang ajaran moral dalam sastra Minangkabau belum banyak dibicarakan. Padahal kaba bagi masyarakat Minangkabau selain sebagai sebuah hiburan, ia juga salah satu sumber pelajaran untuk berkata dan bersikap, dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu kali ini akan dibicarakan ajaran moral dalam sebuah karya sastra Minangkabau, yaitu Kaba Rancak di Labuah.

Kamis, 03 Oktober 2013

POLEMIK SASTRA SUMATERA BARAT: Biarkan Pembaca yang Menjadi “Hakim”



OLEH Muhammad Subhan
Penikmat Sastra, Bergiat di Komunitas Sastra Rumah Kabut Padang Panjang

TULISAN Darman Moenir berjudul “30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra Barat” (Harian Haluan, Minggu, 23 Januari 2011) memicu polemik di koran ini. Respons pertama muncul dari Devy Kurnia Alamsyah yang mengaku bukan sastrawan di dalam tulisannya berjudul “Arogansi Sastra Kanon” (Haluan, Minggu, 30 Januari 2011). Disusul tulisan Sudarmoko pekan lalu berjudul “Sedikit Gambaran Sastra Indonesia di Sumatra Barat, Tanggapan Terhadap Tulisan Darman Moenir dan Devy Kurnia Alamsyah” (Haluan, Minggu, 6 Februari 2011), serta tulisan Elly Delfia, Dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang di hari yang sama berjudul “Bahasa Cermin Kebermutuan Karya Sastra dan Pengarang”.

Selasa, 01 Oktober 2013

Anak Pisang-Induak Bako

OLEH Anas Nafis

Pengantar

Masa ini terutama di perkotaan adat beranak pisang induak bako1 ini boleh dikatakan sudah menghilang. Penyebabnya antara lain ialah tanah tempat menanam bawaan induak bako seperti anak pohon pisang, bibit kelapa atau pun untuk memelihara ayam-itik maupun sapi dan kambing, boleh dikatakan sudah tidak ada lagi. Jamah telah beralih, musim telah berkisar, kata peribahasa.
Namun demikian inti dari adat baranak pisang barinduak bako ini cukup menarik, karena di Minangkabau dahulu setiap kelahiran bayi senantiasa diikuti oleh penambahan bahan makanan yang ujung-ujungnya tabungan bagi sang sang anak.

Ruang Ekspresi Perupa Masih Terbuka


OLEH Ady Rosa
Kurator dan Dosen Seni Rupa Universitas Negeri Padang

Sumatra Imaginable, merupakan sebuah tawaran terbuka kepada para perupa Sumatra untuk “memikirkan (kembali) tentang Sumatra”, yang bisa diwujudkan dalam bahasa rupa.
Ruang rupa dalam jagat raya merupakan ruang yang dapat diinterpretasi perupanya (pelukis), banyak sajian yang tampak secara kasat mata. Bisa persoalan alam, masalah sosial, dan masalah apa saja yang dapat dikembangkan melalui ekspresi objektif kosmik, sebagai bentukan rupa konkret – realis, yang sangat mudah dikenali lewat kasat mata khalayak. Corak ini sampai sekarang masih dianggap “booming”, terutama lukisan-lukisan kontemporer perupa Cina, yang memiliki landasan kuat dalam tradisi melukis realis. Jadi jangan heran apabila Cina dalam kekondisian kini, menjadi kiblat perkembangan seni rupa kontemporer di Asia maupun dunia saat ini.

KABA UMBUIK MUDO: Bapadoman kapado kaba Umbuik Mudo

Disusun dan Ditulih: Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto
bagian 2

Gurindam Legaran 2
Kandak buliah pintak balaku
Sanang rasonyo kiro-kiro
Dapek pangaja dari ayah

Niaik sangajo pai baguru
Lalu bajalan si Umbuik Mudo
Tinggalah mandeh nan di rumah

Nan satibo di rumah guru
Untuang kabaiak ditarimo
Baguru silek jo mangaji

Sampai basuo bahadapan
Bajawek salam maso itu
Sadang ba-andai bapaparan

Hap …Tah …Tih …

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...