Selasa, 17 September 2013

Wawancara Free Hearty


Jangan Menutup Mata Terhadap Realitas
Free Hearty
Terjaringnya perempuan yang melakukan porno aksi sebagai penari striptis di depan sekelompok lelaki memang sangat mengejutkan dan menampar wajah Minangkabau. Karena selama ini, Walikota Padang Fauzi Bahar dengan gencarnya menyosialisasikan berpakaian muslim dan Asmaul Husna.
“Yang mengejutkan tentu bukan kebijakan yang diterapkan itu, tetapi bagaimana pemaknaan dan implementasi dari semua kebijakan itu. Apakah hanya sampai pada tataran seremonial saja, hanya dipermukaan saja dan tidak menyentuh yang esensi dari kebjakan tersebut. Sehingga Asmaul Husna hanya sebagai hafalan saja, dan jilbab hanya menjadi “fashion” saja. Ironis kan?
Sebaiknya mulai dipikirkan ajaran dan pendidikan yang mampu memasuki pemikiran, perasaan dalam pemahaman spiritual masyarakat dengan  baik,” kata Dr Free Hearty, yang kini mengajar di Al Azhar Jakarta dan baru saja menyelesaikan buku “Keadilan Gender, Perspektif Feminis Muslim” ini. Berikut petikan wawancara dengan Nasrul Azwar dengan mantan dosen di UBH ini.

Wawancara Saafroedin Bahar Soetan Madjolelo



Menjadi Tanggung Jawab Pemimpin Masyarakat

Saafroedin Bahar Soetan Madjolelo


Hampir tidak ada perempuan yang terperosok ke dalam dunia hitam tersebut yang melakukannya secara suka rela. Bermacam-macam faktor yang bisa menjadi penyebab, seperti dicerai suami, ditinggalkan pacar, atau tidak adanya keterampilan untuk berusaha sendiri.
“Kenyataan bahwa kedua penari telanjang yang tertangkap tersebut menutup mukanya menunjukkan bahwa mereka masih mempunyai rasa malu,” kata Saafroedin Bahar, Ketua Dewan Pakar di Sekretariat Nasional Masyarakat-Hukum Adat ini.
Ia sendiri mengaku kurang tahu apakah para tokoh-tokoh kepemimpinan masyarakat Sumatera Barat–bersama pemerintah daerah dan kalangan cendekiawan–pernah, bisa, atau mau, duduk bersama untuk membahas masalah perubahan sosial ini secara mendasar, untuk kemudian merumuskan langkah kebijakan bersama yang akan dianut dan dilaksanakan.  Oleh karena gejala ini bukan merupakan gejala sesaat, akan lebih baik lagi kalau kegiatan ‘duduk bersama’ tersebut  dilakukan secara berkala dan berkesinambungan. Berikut petikan wawancara dengan Nasrul Azwar. 

Sabtu, 14 September 2013

Makam Datuak Parpatiah Nan Sabatang


OLEH Anas Nafis
(http://penuliscemen.com/socialmediasumbar/)
Makam Datuak Parpatiah Nan Sabatang
SUATU hari pada tahun 1959, saya bersepeda ke Lubuk Basung bersama Wahdi Halim. Setelah melewati Desa Gasan Kaciak, tampak di sebelah kanan jalan sebuah pondok. Pondok itu lebarnya tidak lebih dari tiga setengah meter, beratap rumbia, dinding tadia (anyaman bambu) berlantai pelupuh. Di lantai dari bahan bambu ini duduk seorang wanita tua bersama seorang gadis kecil.
“Itu Siti Manggopoh” ujar Wahdi. Saya mengangguk-angguk sembari mengayuh sepeda melanjutkan perjalanan.
Kembali dari Lubuk Basung saya singgah di pondok tersebut bersama Sersan Mayor Mukhtar BODM Pakandangan. Sedangkan Wahdi telah lebih dulu kembali ke Gasan Gadang. Ketika itu kami berbicara keras-keras dengan Ibu Siti, karena pendengaran beliau sudah mundur. Itu cerita tahun 1959.

Jumat, 13 September 2013

POLEMIK SASTRA: Arogansi Sastra Kanon


OLEH Devy Kurnia Alamsyah
Bukan Sastrawan

Devy Kurnia Alamsyah
APA jadinya jika Dewan Juri memilih memenangkan Hendri Teja ketimbang Wisran Hadi? Sudah tentu ia akan bereaksi akan itu. Novel Hendri Teja yang berjudul “Memoar Alang-alang” ini diilhami oleh tokoh faktual Tan Malaka dengan latar belakang pergerakan nasionalisme di era pemerintahan kolonial Belanda.
Tumbuh kembangnya dunia kesusastraan di Indonesia tak bisa lepas dari institusi-institusi yang menaungi dunia kesustraan itu sendiri. Bahkan, ketika Indonesia belum berdiri, di era Hindia Belanda peran Balai Pustaka sangat mengambil peran—terutama dalam menentukan karya sastra. Kenapa ini menarik, karya-karya di luar Balai Pustaka dinilai sebagai karya liar dan ketika karya itu diterima oleh khalayak luas maka akan muncul cap roman picisan terhadap karya liar tersebut.
 Ini menjadi tonggak dasar labelisasi karya sastra bermutu dan tidak. Salah satu karya yang disebut roman picisan itu adalah Pacar Merah Indonesia yang ditulis oleh Matu Mona (nama samaran Hasbullah Parindurie).

Tentang Anas Nafis

Redaksi: Ruang ini sebagai ruang yang didedikasikan untuk budayawan Anas Nafis. Tulisannya ini akan diturunkan secara berkala di sini. Salam
Anas Nafis lahir di Padang Panjang, 9 Januari 1932, meninggal dunia di Padang, 18 April 2007 pada umur 75 tahun. Anas Nafis adalah seorang peneliti, akademisi, seniman, budayawan dan tokoh Sumatera Barat. Anas Nafis sendiri adalah adik dari sastrawan Ali Akbar Navis (AA Navis). Bapaknya bernama Navis gelar Sutan Marajo, seorang pegawai Staatsspoorwegen (jawatan kereta api zaman Belanda), dan ibunya bernama Sawiyah. 

Tentang Anas Nafis, bisa juga dibaca di Anas Nafis Referensi Berjalan

Kamis, 12 September 2013

30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatera Barat


Novel Persiden Membawa Warna Baru
OLEH Darman Moenir
Sastrawan
DARMAN MOENIR DAN ISTRI
Tidak ada pemenang utama Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010. Novel Persiden karya Wisran Hadi dari Padang, Sumatera Barat, menjadi salah satu novel unggulan sayembara itu. Tiga novel unggulan lain adalah Lampuki, Jatisaba, Memoar Alang-alang yang ditulis oleh Ramalda Akmal, Hendri Teja, dan Arafat Nur.
Masing-masing novelis unggulan menerima hadiah 7,5 juta rupiah, dan hadiah 20 juta rupiah yang semestinya diberikan kepada pemenang pertama tak jalan. Pegumuman disampaikan Komite Sastra DKJ selaku panitia pelaksana di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat, (14/1/2011). Dan otoritas penjurian diserahkan sepenuhnya kepada Anton Kurnia, A.S. Laksana, dan Sapardi Djoko Damono.

Senin, 09 September 2013

Oedipus Kompleks, Dampak Psikologis Sistem Matrilineal



OLEH Yusriwal
Minangkabau merupakan suku bangsa yang unik karena sampai saat ini masyarakatnya masih menganut sistem kekerabatan matrilineal. Di Nusantara ini, Minangkabau memang bukan satu-satunya suku bangsa yang menganut sistem ini, namun yang membedakan dengan suku bangsa yang menganut sistem matrilineal lainnya adalah pada kekhasan sistemnya: keseimbangan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...