Cinta Musim Panas
Kau boleh mencintaiku dengan rasa jijik
yang terus-menerus naik ke tenggorokanmu.
Aku akan membajak luas sawahmu, menjadi sapi,
atau kerbau untukmu.
Jika bosan kau boleh membuang aku di simpang jalan
entah di mana. Aku bisa pastikan tak ada yang akan
membawaku kembali ke sisimu.
Kau pernah membuang kucing yang suka berak di kasur,
di meja makan, di lemari pakaian,
tapi kembali lagi ke rumahmu, bukan?
Itu tak akan pernah terjadi—aku janji.
Kita akan bahagia disiram cahaya
matahari jam tujuh pagi,
kita akan bahagia memiliki rumah
yang bukan milik pribadi.
Kita hanya perlu numpang di bumi ini
seperti kata orang-orang, dengan lampu 15 watt
yang sering terlambat kita matikan,
sumur yang airnya berminyak,
atau induk semang yang pemberang.
Aku tidak makan terlalu banyak, percayalah,
ibumu tak akan susah memasak.
Aku mau makan apa saja dari periukmu,
bahkan jika kopi pagi kita adalah air dari hitam
kerak nasimu.
Aku akan bangun pagi dan tak akan tidur lagi
setelah sembahyang subuh.
Dan kau boleh anggap aku
mesin tak berguna yang gampang rusak.
Aku akan menghabiskan banyak uang
membeli kebahagiaan di toko pakaian,
gelanggang bergoyang, medan pacu kuda
hanya untukmu.
Aku surukkan nasib burukku dalam
keranjang belanja dan riuh pasar.
Biar saja orang kata: “Jika para pedagang kaki lima
menggelar isi perut mereka di meja parlemen,
menuntut kantor DPR pindah ke rumah bordir,
maka betapa celakanya sajakmu ini, wahai penyair,
yang berbicara jus dan kesepian!”
Aku tiada peduli, aku akan pindah ke rumah lain,
dan sepetak tanah halaman lain, sehabis tahun ini.
Kita akan menanam markisah, bukan?
dan minum jus terung pirus
seperti makan pokok tiga kali sehari.
Anak-anak kita akan menguap bersama udara,
menjadi langit hitam dan hujan yang jatuh ke perut bumi.
Aku akan menulis undangan di pesbuk:
“Aku akan beristri petani seledri
habis hari raya ini. Kami akan harum
sepanjang tahun, kami berbunga
di musim apa pun.
Anak-anak kami dari kulit kayu,
cendawan tak beracun, dan rintik hujan.
Rumah kami cangkang kura-kura,
kepak hulu dan diam muara,
sunyi daratan dan riuh ombak.
Istriku bekerja keras, aku suka api nyala
dari dapur biasa saja,
anakku kelak cinta nasi dan lauk seadanya!”
Hah, aku tak mengejarmu, kau tak perlu lari.
Di tanganku tak ada pedang, aku tak suka perang.
Jariku terkelupas, tapi tak akan serupa monster.
Tapi aku kata: mari, sayang, mari!
Genggam tanganku erat sekali.
Aku anjing tak menyalak,
Aku sunyi dalam sajak.