Sawahlunto—Sawahlunto
International Music Festival (SIMFest) VI diakhiri dengan penampilan jam
session all musician, Minggu (20/9/2015).
Sekitar pukul 22.30 WIB, SIMFest yang digelar sejak 18 September di
Lapangan Segitiga Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, ditutup secara resmi Walikota Sawahlunto Ali Yusuf.
“SIMFest adalah sebuah festival musik
kelas dunia telah kita laksanakan di Kota Sawahlunto enam kali. SIMFEst akan
terus digelar. Tahun depan, 2016, penyelenggaraannya diserahkan pada event organizer (EO) dengan tetap
mempertahan kualitas dan kuratorialnya. Jika EO yang menanganinya, mungkin bisa
libatkan swasta untuk menjadi sponsor,” kata Ali Yusuf, saat beri sambutan
penutupan iven dunia ini, Minggu (20/9/2015).
Sebelum ditutup, panggung SIMFEst menghadirkan seniman tradisi Keluarga
Umar Parmato Intan dari Sawahlunto, dengan menampilkan musik Gondang
(Talempong) Batuang, dan disusul dengan Kelompok Forum Kampoeng dari Tanjung
Pinang, Kepulauan Riau, dan penampilan khsus dari Horjabius, Jakarta.
“Kita tampil malam (Minggu) karena ada
permintaan khusus Pak Walikota. Pak Wali ingin kita nyanyikan “Butet”. Dan kami penuhi,” kata Ratu Selvi Agnesia,
manajer Horjabius.
Penampilan jam session dengan melibatkan
lebih kurang 20 musisi yang ikut dalam SIMFest disiapkan saat general repetisi,
yang memang sudah menjadi “ritual” setiap pegelaran seni pertunjukan
musik.
Pada jam session, musisi bermain dengan improvisasi tanpa
persiapan yang panjang, yang biasanya melahirkan kompisisi musik yang baru.
“Setiap SIMFest penampilan jam session
ini selalu yang saya tunggu. Jam session ini kekuatan musisi itu ditampilkan.
Dan selalu enak dinikmati. Karena mereka mungkin sudah mahir ya,” kata Linda
Rahma, salah seorang warga Sawahlunto, yang mengaku menyaksikan SIMFest sejak
pertama kali digelara pada 2010 lalu.
Menurut Linda, SIMFest ini membuat warga
Sawahlunto bangga dan bisa mempertemukan warga dengan latar belakang budaya
yang dalam satu kegiatan.
“Kami bisa berkumpul dalam SIMFest dan
seni-seni dengan beragam latar budaya, seperti Jawa, Minang, Batak, menyatu di
sini. Dan kota ini pun banyak dikenal orang,” jelas perempuan asal Silungkang
ini.
Sementara itu, Amran Nur, mantan Walikota
Sawahlunto, menilai, SIMFest ini salah iven penting seni pertunjukan yang telah
mengenalkan kota kecil ke dunia internasional.
“Kota Sawahlunto awalnya hanya dikenal
sebagai kota tambang batu bara di Indonesia. Bukan sebagai kota budaya.
Sekarang kita bisa sebut Kota Sawahlunto sebagai kota seni pertunjukan karena
secara teratur kita sudah menggelar SIMFest. Setiap tahun perlu ditingkatkan
pelaksanaannya agar terus tersiar ke dunia luar. Perlu penataan manajemen
pemasaran untuk iven ini,” kata Amran Nur, Minggu malam.
Menurutnya, SIMFest harus dilepas
berlahan-lahan dari pembiayaannya dalam APBD Kota Sawahlunto. Pelaksanaan
SIMFEst harus melibatkan swasta dan menjadi milik publik.
“Saya kira sudah saatnya kita melepaskan
diri dari pembiayaan SIMFest lewat APBD Kota Sawahlunto. Berlahan-lahan.
Selanjutnya, kerja keras kita bersama ke depan, bagaimana SIMFest ini jadi
milik publik dan didanai publik,” katanya.
Edy Utama, kurator SIMFest menilai,
SIMFest yang sidah enam kali digelar,
jika dibandingkan dengan setiap SIMFest itu, dari aspek kualitas musik, setiap
tahunnye memiliki keistimewaan dan kekuatan masing-masing.
“Tapi untuk beberapa hal, SIMFest pada
tahun ini, kita juga mempertimbangkan selera publik. Proses kuratorialnya
mempertimbangkan segi ini, yang pada SIMFest sebelumnya tak tersentuh. Aspek
kemauan penonton itu penting untuk saat kini,” kata Edy Utama.
Menurutnya, pada SIMFest 2015 ini, ia
bersama dengan Hilltrud Cordes, juga kurator pada iven ini, dari aspek ide dan
gagasan musiknya tetap bisa dipertahankan sebagai musik-musik yang bersumber
dari world music atau musik etnik, tetapi digarap juga dalam bentuk yang lebih
cair dan “nyambung” pada telinga masyarakat, terutama Sawahlunto.
Sampai ketemu tahun depan dengan SIMFest
yang dikelola EO. (NA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar