Saut bersama sahabat lainnya di rumahnya |
Belasan
warga sastra dan kebudayaan Yogyakarta berkumpul di Jalan Parangtritis kota
Jogja, persisnya di rumah Saut Situmorang. Mereka memberikan dukungan moral
pada sastrawan yang dijemput paksa 3 polisi dari Polres Jakarta Timur pada
Kamis (26/3/2015).
Penjemputan
tersebut didasarkan surat pemanggilan sebagai saksi berkenaan kasus pencemaran
nama baik Fatin Hamama. Pada pukul 08 pagi tiga polisi Polres Jakarta Timur
mendatangi rumah Saut untuk langsung berangkat ke Jakarta. Saut menolak dan
menghubungi pengacara serta teman-temannya yang berada di Jogja.
Hasan
Basri, Ketua Lesbumi Yogyakarta yang hadir di lokasi menjelaskan beberapa
kejanggalan dalam penjemputan paksa sastrawan Saut Situmorang oleh 3 polisi
dari Polres Jakarta Timur tersebut. Kejanggalan pertama adalah penjemputan
dilakukan tanpa memberitahu pengacara. Kedua, jeda dari pemanggilan terakhir
terhitung lama, sejak September 2014 lalu. “Ditakutkan ada politisasi dalam
kasus ini. Seperti ada yang tidak sesuai prosedur. Biasanya, yang terjadi pada
beberapa teman, ada permainan percepatan status. Dari saksi tiba-tiba jadi
tersangka,” tuturnya.
Kasus
penjemputan paksa Penyair Saut Situmorang ini berawal dari polemik sastra atas
ditulisnya buku ‘33 tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh’ oleh tim delapan
yang mencantumkan nama Denny JA. Publik sastra Indonesia bereaksi mengecam
kehadiran buku itu karena dianggap menciptakan penipuan sejarah sastra
Indonesia. Namun dalam perkembangannya, polemik tersebut berkembang ke
persoalan pribadi dengan menyeret Penulis buku “Otobiografi” dan “Politik Sastra”
ke ranah hukum dengan tuntutan pencemaran nama baik terhadap Iwan Sukri atas
Fatin Hamama.
Sastrawan
pemenang Lomba Novel DKJ 2014, Mahfud Ikhwan, menyayangkan kehadiran polisi
dalam pertentangan sastra ini. Menurutnya, jika polisi telah berurusan dengan
sastra selalu berakibat buruk bagi sastra, kebudayaan, maupun segenap warga
sastra dan kebudayaan. “Seharusnya polisi jauh-jauhlah dari sastra, karena
orang yang memakai polisi atau hukum dalam urusan sastra tidak pantas menjadi
bagian darinya,” terangnya.
Pada
pukul 13.45, Saut Situmorang beranjak dari rumah memenuhi panggilan bersama
pengacara. Para pengunjung berdiri, Puthut Ea memberi orasi ringkas mengenai
penjemputan Saut dan memimpin doa.
Puthut
EA menyatakan, pasal karet dalam UU ITE seperti pasal 27 ayat 3 lebih sering
digunakan dalam penyelidikan ini. Menurutnya perlawanan terhadap penjemputan
paksa ini demi kebebasan berekspresi, hak asasi manusia, dan untuk sastra
maupun kebudayaan Indonesia. “Semoga ini menjadi momen yang tepat bagi semua
yang memperjuangkan hal itu,” jelasnya.
Mahfud
menambahkan, kasus seperti ini menjadi dakwaan serius pada awalnya, namun juga
menjadi pencerahan dan penyadaran bahwa politik bermain dalam sastra.
Menurutnya, dalam konflik sastra yang didominasi seseorang, terlebih dengan
backing finansial kuat, harus selalu dilakukan peninjauan.
Sedangkan
Saut menyatakan, Denny JA sedang menggali kuburan sendiri. “Saya akan melawan
dia. Saya siap melawan!” jelasnya. (Ajik
Permana. Foto: Nanda Aria)
Sumber: www.literasi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar