OLEH Dwi Woro
Retno Mastuti (Pengajar Program Studi Jawa FIB-UI dan Pendiri Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang (Depok)
1. Pendahuluan
Saat ini, dunia sedang dilanda pandemi covid-19 yang memaksa warga dunia harus patuh pada tatanan hidup baru. Warga dunia dihadapkan pada peraturan yang harus ditaati, yaitu mengenakan masker, cuci tangan, jaga jarak, dan menghindari kerumunan orang atau tidak berkerumun.
Pada awal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) alias lockdown diberlakukan, berbagai bidang kehidupan terkena dampaknya. Bidang ekonomi, politik, seni-budaya, dan ketahanan, cukup terguncang menghadapi musuh yang tak nampak wujudnya ini. Kegiatan seni-budaya yang sudah terjadwal untuk mengadakan pertunjukan, dengan berat hati mengambil sikap menunda pergelarannya hingga waktu lebih kondusif. Informasi yang lebih terkini adalah virus corona yang berkembang di Indonesia bermutasi menjadi virus yang lebih ganas dan memiliki varian virus corona yang lebih bervariasi. Selain itu, wabah ini tidak dapat dipastikan kapan akan berakhir. Dia sudah hidup bersama kita.
Kegiatan Borobudur Writers and Culture Festival (BWCF) ke-9 tahun 2020
ini mengusung tema Bhumisodhana, Ekologi
dan Bencana dalam Refleksi Kebudayaan
Nusantara. Mengutip penjelasan yang disampaikan oleh Panitia BWCF dalam
TOR untuk para pemakalah, Bhumisodhana
adalah upacara penyucian bumi (tanah) yang dilakukan para petapa sejak zaman dahulu kala. Upacara untuk
menentukan tempat berpijak dan hak bagi
manusia, penyucian bumi dari pengaruh buruk yang telah ditimbulkan oleh
manusianya sendiri. Manusia wajib
memuliakan bumi. Sebagai tempat tinggal manusia bersama mahluk lainnya, bumi wajib memberi apa yang harus
diberi dan meminta apa yang harus diminta.
Pengetahuan ekologi yang mempelajari ekosistem makhluk hidup yang
bersifat komprehensif, yang membahas
interaksi, ketergantungan, keanekaragaman, keharmonisan dan keberlangsungan, manusia memiliki peran
untuk menjaga keseimbangan dna keselarasan
di tengah tuntutan industri modern yang semakin canggih. Berbagai
manuskrip kuno Nusantara dan cerita rakyat
telah mencatat pengetahuan tentang ekologi tersebut. Peringatan menghadapi
bencana, obat-obatan herbal untuk menangkal berbagai penyakit, sumber
pangan dari tumbuh-tumbuhan, petunjuk
mengolah tanah persawahan dan perkebunan, tertuang melalui karya sastra klasik maupun berbagai cerita
rakyat yang disampaikan melalui tradisi
lisan.
Wayang adalah salah satu karya seni pertunjukan yang memiliki peran dan
potensi merefleksikan kebudayaan
Nusantara. Sebagai contoh wayang kulit purwa (Jawa). Seluruh unsur seni pertunjukan wayang, baik fisik
maupun lakonnya, merupakan refleksi alam
semesta dengan segala isinya. Kelir dan gunungan wayang melambangkan
alam semesta. Kelir adalah gambaran alam
semesta yang masih kosong. Pada saat Gunungan ditancapkan di tengah-tengah kelir, maka alam semesta yang
kosong tadi pun terisi dengan makhluk hidup
(manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan) yang diukir dalam lembaran Gunungan.
Ketika dalang memulai pergelaran wayang
kulit, hadirlah berbagai tokoh dengan berbagai karakter, baik atau buruk, yang mewarnai kehidupan ini, yang
dibingkai dalam satu kisah/lakon.
Wayang merupakan media atau sarana komunikasi dan informasi berbagai hal
terkait dengan kehidupan manusia.
Sebagai sebuah seni pertunjukan, wayang berfungsi sebagai tontonan/hiburan, tuntunan, dan tatanan.
Lakon wayang (epos Ramayana dan Mahabharata) yang disampaikan oleh dalang
mengandung berbagai nilai-nilai kehidupan, ajaran moral dan budi pekerti, yang menjadi pedoman dan
tuntunan hidup manusia. Pedoman hidup tersebut
membuat kehidupan manusia lebih tertata dalam menjalani sangkan
paraning dumadi. Ada sekitar 35
jenis wayang (dapat juga lebih dari 35 jenis), terbagi dalam wayang dua
dimensi dan tiga dimensi. Wayang Potehi
termasuk wayang tiga dimensi bersama wayang golek (Sunda, Betawi), boneka si Unyil, wayang
gantung (string puppet, marriotnette), wayang kaet.
Wayang Potehi adalah salah satu seni pertunjukan yang hadir di
Indonesia memperkaya keragaman budaya
Indonesia. Sebagai karya akulturasi budaya Jawa dan China/Tiongkok, wayang Potehi memiliki peran
menjaga keberlangsungan kebhinekaan
Indonesia. Lakon wayang Potehi mengisahkan legenda/mitos Tiongkok
klasik. Dalam perkembangannya, wayang
Potehi yang semula menjadi bagian dari ritual umat Konghucu dan dipergelarkan di kelenteng, di era
keterbukaan ini, wayang Potehi dapat disaksikan di berbagai tempat, seperti sekolah, pusat
perbelanjaan, kampus, dan laIn sebagainya.
Mengacu pada tema BWCF ini, bencana atau wabah dalam lakon wayang
Potehi merupakan suatu usaha para dewa
atau ksatria untuk memusnahkan atau membinasakan pihak lain yang tidak berkenan di hati para
dewa atau musuh para ksatria. Pembahasan
perihal bencana dan wabah dalam lakon wayang Potehi dibatasi pada kisah
Sie Jin Kwi Ceng
Tang dan Sie Jin Kwi Ceng See serta lakon carangan Potehi yang digarap
oleh grup Potehi Rumah Cinta Wayang
disingkat Rumah Cinwa (Depok).
2.
Mengenal Wayang Potehi
Wayang Potehi adalah wayang kantong termasuk dalam jenis wayang 3
dimensi. Kata potehi berasal dari kata poo
(kain) tay (kantong) hie (wayang) (Bahasa Hokkian) atau
budaixi (Bahasa Mandarin). Sebagai
bentuk mini dari opera Beijing, wayang ini berasal dari Provinsi Fujian (Tiongkok Selatan). Berbagai suku dari
Tiongkok Selatan tersebar di berbagai pulau di
Nusantara.
Boneka Potehi terdiri dari kepala (diameter 5 cm), tangan dan kaki/sepatu
yang terbuat dari kayu (kayu pule di
Jawa) dan kantong kain. Pada perkembangannya, kepala boneka potehi tersebut dapat dibuat dari
bahan keramik atau raisin/plastik.
Tidak diketahui secara pasti sejak kapan wayang Potehi hadir di Indonesia. Diperkirakan kehadiran wayang Potehi, khususnya di Jawa bersamaan dengan gelombang migrasi etnis Tiongkok ke Nusantara di sekitar abad ke-17. Menurut Toni Harsono (Gudo, Jombang), kakek buyutnya menyimpan boneka Potehi di awal tahun 1900-an bersama panggung Wayang Potehi. Baik boneka maupun panggung Potehi tersimpan di Museum Potehi di Gudo (Jombang).1
Wayang China yang berkembang di Indonesia adalah wayang Potehi di
Jawa (khususnya Jawa Timur), wayang
gantung di Pontianak, wayang kaet di Bagan Siapi-api2. Pada saat ini satu-satunya kelenteng yang
menggelar wayang Potehi pentas 2 hingga 3 kali
sehari adalah kelenteng Dukuh di Surabaya. Para dalang wayang Potehi pun
banyak berasal dari Jawa Timur
(Sidoarjo, Surabaya, Ngoro, Gudo). Kelenteng merupakan tempat pertunjukan wayang Potehi. Selain sebagai
tempat ibadah, kelenteng juga berfungsi sebagai
tempat kegiatan sosial. Oleh karena itu, wayang Potehi disebut juga
wayang para Dewa. Bagi umat Konghucu,
wayang Potehi merupakan wayang persembahan kepada para Dewa untuk mengantar doa-doa yang dipanjatkan untuk
mengharapkan berbagai kelancaran dan
kemudahan dalam hidup atau ucapan syukur tatkala harapan tersebut
terkabul. Dapat dikatakan bahwa pergelaran
wayang Potehi merupakan bagian dari sebuah ritual di dalam kehidupan umat Konghucu. Posisi panggung
Potehi di kelenteng selalu menghadap ke altar
dewa utama. Setiap kelenteng memiliki dewa utama yang berbeda.
Dalam buku Potehi: Glove Puppet Theatre in Southeast Asia and Taiwan (2016) dikatakan bahwa wayang Potehi juga terdapat
di Taiwan dan Asia Tenggara (Penang – Malaysia, Yangon – Myanmar, Singapura).
Potehi di negara-negara tersebut dipengaruhi oleh sosial-politik, budaya, serta berbagai
perubahan yang terjadi di wilayah masing-masing.3 Dengan demikian,
pergelaran wayang Potehi di setiap negara tersebut memiliki keunikan tersendiri. Di Jawa, dalang Potehi
menggunakan Bahasa Jawa dalam menyampaikan lakon lakon wayang Potehi. Potehi
Singapura musik pengiringnya berdasarkan musik opera gezai (gesaixi), tidak mengikuti nanyin. Tidak
dapat dipungkiri bahwa keberadaan wayang Potehi
di China dan Taiwan mengalami kemunduran dan nyaris punah.
Pergelaran wayang Potehi dapat berlangsung singkat (1 jam) atau pun
berhari-hari (paling lama 30 hari, pagi
& malam dalam satu hari). Pergelaran wayang yang singkat atau panjang akan mempengaruhi jalannya lakon atau
cerita wayang itu sendiri. Pemain wayang
Potehi terdiri dari 1 dalang, 1 asisten dalang, 4 pemusik untuk alat
musik erhu, hyena, dongko, piak ko,
siauw bak, toa lo, siauw lo, pan, joe (terompet Cina). Seperti diketahui, cerita-cerita wayang Potehi mengisahkan dunia
para dewa, kaisar, ksatria dari sebuah dinasti
yang dikemas dalam legenda/mitos Tiongkok klasik. Suluk yang diucapkan
oleh dalang adalah suluk dengan Bahasa
Hokkian4. Pada awalnya, wayang Potehi menggunakan Bahasa Hokkian. Saat ini, dalang wayang Potehi
menggunakan Bahasa Indonesia, dna sesekali
Bahasa Jawa atau Inggris. Berbagai lakon yang dimainkan, antara lain:
Sie Jin Kwi Ceng Tang dan Sie Jin Kwi
Ceng Se, Sam Kok, Sam Pek Eng Tay, Sun Go Kong, Asal-usul 8 Dewa, 18 Jendral Pemberontak.
Awal Oktober 2020, Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong (Semarang) bekerja
sama dengan Yayasan Fu He An (Jombang)
menggelar wayang Potehi dengan tema ‘Wayang
Potehi Tolak Pagebluk’. Kegiatan ini mengiringi Sembahyang Tiong-Jiu-pia
tahun 2020, yaitu ritual doa wayang
Potehi yang berjudul “Hou Yi Memanah Matahari” dicuplik dari legenda 10 Matahari.5 Pergelaran
ini akan sarat dengan ritual pembacaan doa-doa untuk memusnahkan ‘pagebluk’ atau wabah dari bumi.
3. Wayang Potehi Rumah Cinwa (Depok)
Pada saat ini, jumlah grup wayang Potehi terdiri dari Lima Merpati
(Surabaya), Fu He An (Gudo, Jombang),
Jensen Project (Mojokerto), Thio Hauw Lie putra Thio Tiong Gie almarhum (Semarang) dan Rumah Cinwa (Depok,
Jawa Barat). Tiga grup wayang Potehi di
Contoh suluk Potehi: Djiao djiao ha san way/ sian hwa man ti khay/
hok lok tjai tju siu/ hui hapcong sian lay// Artinya: dengan diam kami turun dari gunung/
bunga nan segar berkembang di bumi/memberikan berkah, keberuntungan, dan umur panjang/ para dewa
datang dan duduk di situ//
5Sumber: Berita online Sumatrapost.co, 28 September 2020. Alkisah pada
zaman dahulu kala terdapat 10 Matahari
yang menyebabkan penderitaan dan kekeringan di Bumi. Pada akhirnya, muncul
seorang ksatria yang berhasil memanah 9
matahari dan menyisakan 1 matahari untuk menyinari bumi. Karena jasanya, sang
Ksatria mendapatkan hadiah berupa pil
ajaib, yang dititipkan kepada sang istri. Demi menjaga pil ajaib tersebut
dari sasaran pencuri, sang istri menelan
pil ajaib tersebut. Hal ini mengakibatkan ia melayang tinggi dan makin tinggi hingga mencapai bulan. Sang Ksatriapun
bersedih karena kehilangan istrinya. Untuk mengenang sang istri, sang Ksatria membuat sebuah kue yang
berbentuk bulat seperti bulan. Setiap awal bulan Oktober dikenal dengan Hari Memperingati Kue Bulan.
Jawa Timur adalah grup wayang Potehi yang anggotanya terdiri dari dalang
dan pemusik senior. Bapak Mujiono, Bapak
Subur Suwahyo, Bapak Purwanto (baru saja wafat pada bulan Agustus 2020), Bapak Keke. Di Depok, Rumah
Cinwa untuk sementara ini fokus pada
pelestarian dan menjaga keberlangsungan wayang Potehi yang hampir punah6.
Dalang dan pemusik adalah para mahasiswa
dari Universitas Indonesia (usia 20 -22 tahun) yang memiliki minat dan ketertarikan pada pengembangan
wayang Potehi. Rumah Cinwa didirikan pada 23
Nopember 2014 oleh Dwi Woro Retno Mastuti. Seusai menulis buku Wayang
Potehi Gudo (2014), terbersit
keingingan untuk mendirikan grup wayang Potehi.
4. Sie
Jin Kwi Ceng Tang dan Sie Jin Kwi Ceng See
Sie Jin Kwi (Xue Ren Gui) adalah tokoh ksatria dalam legenda Sie Jin Kwi
Ceng Tang (Berperang ke Timur) dan Sie
Jin Kwi Ceng See (Berperang ke Barat). Kisah
kepahlawanan Xue Ren Gui ini ditulis oleh Lo Kuan Chung, seorang penyair
yang dikenal di masa Dinasti Tang (618 –
907 M). Di masa Dinasti Tang, China memulai reformasi politik dan militer, menghasilkan stabilitas social,
ekonomi dan kemakmuran. Xue Ren Gui adalah
seorang jendral yang berjasa di kerajaan Tong Tya (Taizong). Sebagai
seorang panglima perang, ia selalu
berhasil dalam mengalahkan musuh-musuhnya. Xue Ren Gui selalu mengenakan pakaian warna putih dan berasal
dari keluarga miskin. Ia dikenal sebagai
pemuda yang haus belajar berbagai ilmu silat dan senjata perang. Selain
itu, Sie Jin Kwi memiliki watak yang
rendah hati, setia, loyal, jujur, suka menolong.
Di Indonesia, Xue Ren Gui dikenal dengan nama Sie Jin Kwi (pelafalan
Hokkian). Tokoh Sie Jin Kwi menjadi
populer semenjak Otto Swastika (Oey Kim Ting) melukiskan kepahlawanan Xue Ren Gui untuk mingguan Star
Weekly. Selanjutnya, lukisan tersebut
dikumpulkan dan menjadi komik yang diterbitkan oleh Penerbit Keng Po.
Di Jawa, tokoh Sie Jin Kwi dikenal dengan nama Joko Sudiro yang
dipopulerkan melalui lakon kethoprak
Joko Sudiro dan Macan Putih dan disiarkan oleh RRI Yogyakarta tahun 1970-an. Di samping itu, tokoh Sie Jin
Kwi ini juga tersurat dalam berbagai naskah
Cina-Jawa yang ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa. Tokoh Sie Jin Kwi
tersebut dikenal dengan nama Sik Jin
Kwi. Naskah Sik Jin Kwi kebanyakan anonym dan bersifat codex unicus (naskah tunggal). Hal ini diperkirakan
karena naskah tersebut ditulis untuk keluarga
Tionghoa tertentu dan untuk kepentingan keluarga tersebut. Yaitu agar
anak-cucu keluarga tersebut memahami
bahwa leluhur mereka berasal dari tanah Tiongkok.
6Selain mengembangkan wayang Potehi, Rumah Cinwa juga mencoba
mengembangkan Wacinwa (Wayang Kulit
Cina-Jawa) yang telah punah. Work in progress!
Kisah Sie Jin Kwi juga dituangkan dalam karya sastra berbahasa Jawa dan
Melayu. Menurut Claudine Salmon dalam
bukunya Literary Migrations, ada 7 novel Tiongkok yang dikenal di Jawa, salah satunya adalah Shih
Djien Koei Tjing Tang (Xue Rengui Clears The
East) dan Shih Djien Koei Tjing See (Xue Rengui Clear The West).
Novel-novel China yang diterjemahkan ke
dalam Bahasa Melayu Rendah lebih banyak lagi, sekitar 759 terjemahan (Claudine Salmon, 1987: 395), termasuk Sie Djin
Koei Tjeng Tang dan Sie Djin Koei Tjeng
See yang diterbitkan sekitar tahun 1912-an. Kisah Sie Jin Kwi (Xue
Rengui Clears The East dan Xue Rengui
Clear The West) termasuk kisah dengan latar belakang sejarah. Sebagai seorang Jendral Perang di masa Dinasti Tang,
Sie Jin Kwi berperang ke Timur menaklukkan
Korea (1987: 228, 380-395).
Di masa Dinasti Tang (618-907), pujangga Li Bai, Du Fu, dan Bai Juyi
telah menulis sekitar 900 puisi
5. Wabah
dan Bencana
Wabah adalah istilah umum untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit
pada daerah yang luas dan pada banyak
orang. Studi tentang wabah disebut epidemiologi. Secara spesifik, wabah yang memiliki arti
tersebarnya penyakit dan mengakibatkan kematian banyak orang, tidak ditemukan dalam kisah Sie Jin
Kwi. Wabah dalam kisah Sie Jin Kwi lebih
memiliki makna pada jurus-jurus perang yang menghasilkan sebuah situasi
atau benda yang menjadikan banyak orang
atau prajurit mati. Bencana diartikan sebagai situasi buruk yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan manusia, hewan, dan tumbuh tumbuhan yang disebabkan oleh faktor
alam atau non-alam, factor manusia, sehingga
menimbulkan korban jiwa dan merusak lingkungan, serta kerugian harta
benda. Selain itu, bencana juga
berdampak pada psikologis.7
Berbagai kisah wabah dan bencana dalam kisah Sie Jin Kwi muncul karena
peran para dewa dan ksatria yang
memiliki kemampuan sakti dan senjata unggulan yang dapat menghancurkan lawan, benteng musuh beserta
isinya, hutan, gunung, lautan.
5.1 Jurus Kelabang Berbisa vs Jurus Ayam Jago Mas
Perang tanding antara Bwe Goat Eng dan Sie Jin Kwi berlangsung setelah
Khai Sou Bun, suami Bwe Goat Eng, kalah
perang dari Sie Jin Kwi. Di saat terdesak, Bwe Goat Eng mengibarkan bendera kecil hijau yang berubah
menjadi kelabang berbisa yang terbang
menyambar dan memagut Sie Jin Kwi dan 8 saudaranya, yang mengakibatkan
mereka jatuh pingsan. Seorang ksatria
senantiasa mendapat perlindungan para dewa. Sie Jin Kwi dilindungi oleh para dewa, khususnya Dewa Li
Ceng yang memercikan air suci ke wajah Sie
Jin Kwi yang lalu sadar kembali dan bangkit. Kemudian Dewa Li Ceng
memberikan sehelai bendera Kong Tok Ki
untuk melawan senjata wasiat musuh. Berkat air suci tersebut, ke delapan
saudara Sie Jin Kwi dan para prajurit sadar dari pingsannya dan kembali
bersiap untuk perang. Keesokan harinya,
Sie Jin Kwi dan prajurit kerajaan Tong Tya berhadapan dengan Bwe Goat Eng dari benteng Hong Hong
San. Dengan penuh percaya diri, Bwe Goat
Eng mengeluarkan jurus Kelabang Berbisa yang disambut oleh jurus Ayam
Jago Mas milik Sie Jin Kwi. Seketika itu
juga, ribuan ayam jago mematuki kelabang berbisa.
Kekalahan perang adalah bencana bagi sebuah kerajaan. Benteng Hong Hong
San sebuah kerajaan kecil pun jatuh ke
tangan kerajaan Tong Tya. Sie Jin Kwi dan prajurit Tong Tya dapat mengalahkan musuh berkat
pertolongan Dewa Li Ceng.
5.2
Pembakaran Hutan
Thio Su Kwi sebagai utusan Kaisar Li Si Bin untuk merekrut para prajurit
kerajaan Tong Tya dan memimpin
perjalanan ke Timur, merasa gundah karena kehebatan Sie Jin Kwi terdengar sampai ke telinga Kaisar Li Si Bin
yang selama ini mencari ksatria berbaju putih
yang kelak membuat kejayaan bagi kerajaan Tong Tya. Kelicikan Thio Su
Kwi selama ini adalah menyembunyikan Sie
Jin Kwi dan memfitnah Sie Jin Kwi dengan melaporkan kepada
Kaisar Li Si Bin bahwa menantunya, Ho Cong Hyan, berhasil menaklukan
musuh. Padahal, keberhasilan tersebut
merupakan keberhasilan Sie Jin Kwi.
Dengan alasan bahwa Sie Jin Kwi adalah orang yang dicari oleh Jendral U
Ti Kiong, Thio Su Kwi meminta Sie Jin
Kwi dan rombongannya sembunyi di lembah Thian Sian Kok. Thio Su Kwi yang jahat memerintahkan
pasukannya untuk menutup jalan masuk ke lembah
dengan balok kayu dan batu. Ia juga memerintahkan serdadunya untuk
melemparkan api ke dalam lembah yang
lebat dengan pohon-pohon kering itu. Lembah Thian Sian Kok pun menjadi lautan api. Sie Jin Kwi dan kawan-kawannya
baru sadar bahwa mereka ditipu oleh Thio
Su Kwi. Dengan jubah Sui Ho Pau pemberian Dewi Hwan Li Nio Nio, Sie Jin Kwi
dan kawan-kawannya berlindung di bawah
jubah tersebut dan mereka pun merasakan hembusan angin yang kuat hingga mereka serasa terbang
di angkasa. Akhirnya, mereka pun selamat.
Situasi kebakaran hutan di lembah Thian Sian Kok merupakan peristiwa
bencana kebakaran hutan yang dibuat
dengan sengaja oleh manusia yang memiliki tujuan jahat untuk memusnahkan orang lain yang menjadi musuhnya
yang akan menghalangi jalannya mencapai
kekuasaan atau jabatan tertinggi dalam kerajaan.
5.3 Obat
Dewa dari Dewa Li Ceng
Di dalam meditasinya, Dewa Li Ceng melihat Sie Jin Kwi dalam keadaan
bahaya akibat semburan batu Bok Kak Thai
Sian guru dari Khai Sou Bun musuh bebuyutan Sie Jin Kwi. Kerajaan Tong Tya bersedih melihat Sie
Jin Kwi pingsan. Tetesan obat Dewa di dahi
Sie Jin Kwi dari Dewa Li Ceng membuat sang ksatria berbaju putih itu
sehat kembali.
Pada perang keesokan harinya terjadilah perang antar Dewa Li Ceng
melawan Bok Kak Thai Sian yang tak lain
adalah kura-kura besar. Dewa Li Ceng segera menempelkan sehelai surat penetapan di punggung kura-kura
tersebut. Surat tersebut berbunyi bahwa
setelah 5.000 tahun barulah kura-kura dapat berubah menjadi manusia.
Kekuasan para dewa tidak terbatas. Dengan kekuasannya, dewa dapat
menetapkan hidup seseorang untuk jangka
pendek maupun jangka panjang.
5.4 Perjodohan Sie Teng San dan Hwan Le Hwa
Sie Teng San adalah putra Sie Jin Kwi. Hwan Le Hwa adalah putri jendral
dari pihak musuh kerajaan Tong Tya.
Sudah menjadi kehendak para dewa, Hwan Le Hwa yang sakti dan memiliki kemampuan berperang tingkat
tinggi, memang jodoh Sie Teng San. Perjodohan
mereka meliwati banyak kesulitan. Penolakan Sie Teng San terhadap Hwan
Le Hwa memaksa Hwan Le Hwa menghukum Sie
teng San dengan jurus-jurus sakti yang dimilikinya, sehingga membuat Sie Teng San akhirnya takluk
dan menerima perjodohannya dengan Hwan
Le Hwa.
Sie Teng San menghina Hwan Le Hwa sebagai perempuan biadab, rendah, tak
tahu malu yang membuat Hwan Le Hwa marah
dan mengucapkan mantera sehingga membuat
dunia gelap-gulita dan muncullah gunung-gunung yang bergeser dan
menggencet Sie Teng San. Selain itu,
pohon-pohon tinggi dan rapat mengepung Sie Teng San yang membuat Sie Teng San tak menemukan celah untuk
menyelamatkan diri. Arogansi Sie Teng San selalu membuat Hwan Le Hwa marah dan menciptakan
bencana untuk Sie Teng San. Setelah
bencana gunung dan pohon tinggi, hukuman yang ketiga adalah membuat Sie
Teng San tenggelam di lautan dengan
tangan terikat.
5.5 Dewa dan Siluman
Di akhir kisah Sie Jin Kwi Ceng See, para dewa turut berperan dalam
perang melawan para ksatria kerajaan Tong Tya. Hwan Le Hwa, Sie Kim Lian, Sie
Teng San melawan para siluman dan dewa
yang berpihak kepada musuh. Ketika pedang Li To Hu hampir mengenai Hwan Le Hwa, tiba-tiba ada
halilintar mematahkan pedang tersebut.
Ternyata, dewi Le San Seng Bou, guru Hwan Le Hwa, melayang turun dari
angkasa. Para dewa dari pihak kerajaan
Tong Tya senantiasa mengeluarkan berbagai jurus untuk melindungi murid-murid mereka yang berperang
untuk kejayaan kerajaan Tong Tya.
6.
Bencana dalam Kisah Sie Jin Kwie
Seperti telah disampaikan pada paragraf sebelumnya, bencana diartikan
sebagai situasi buruk yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia,
hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang disebabkan oleh faktor alam atau
non-alam, faktor manusia, sehingga
menimbulkan korban jiwa dan merusak lingkungan, serta kerugian harta benda. Selain itu, bencana juga berdampak
pada psikologis. Di dalam kisah Sie Jin Kwi ini, bencana dalam kehidupan manusia muncul karena
perang antara kerjaan Tong Tya yang
melakukan ekspansi menaklukan kerajaan-kerajaan kecil untuk meluaskan
kekuasaan wilayahnya.
Bencana kehidupan dan lingkungan nampaknya lebih dominan dalam kisah Sie
Jin Kwi. Contoh-contoh peristiwa bencana
kehidupan dan lingkungan yang ditampilkan pada
tulisan ini dianggap mewakili berbagai peristiwa yang tergambar pada Sie
Jin Kwi Ceng Tang (6 episode) dan Sie
Jin Kwi Ceng See (9 episode). Bencana kehidupan dan lingkungan tersebut
ditimbulkan oleh konflik antar kerajaan yang melibatkan para ksatria dan para
dewa yang berpihak kepada mereka.
Dewa-dewi dikenal sebagai mahluk yang mendiami sebuah tempat yang
disebut suralaya atau kahyangan. Dunia
para dewa juga memiliki struktur organisasi atau hirarki kekuasaan. Pada cerita mitos atau legenda
klasik, dewa-dewi memiliki hubungan vertikal
dengan kehidupan manusia. James Dananjaya (1983: 52) menjelaskan mitos
sebagai cerita prosa rakyat yang
dianggap suci dan dianggap benar-benar terjadi, dengan tokoh manusia setengah dewa dan terjadi pada waktu yang
sangat lampau; legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi, ditokohi
oleh manusia, dan terjadi pada waktu yang tidak
terlalu lama.
Bencana selalu membawa korban, baik perorangan maupun kelompok
masyarakat. Di dalam kisah Sie Jin Kwi,
bencana terjadi karena banyak unsur atau faktor. Yaitu: 1) Faktor Pengetahuan (Jurus Sakti); 2) Faktor
Lingkungan (Pembakaran Hutan); 3) Faktor Perjodohan (Hwan Le Hwa dengan Sie Teng San); 4) Faktor
Ramuan Dewa; 5) Faktor Dewa/Siluman.
Bencana di dalam kisah Sie Jin Kwi ini lebih banyak dipicu atau didorong
oleh unsur perang, yang memiliki hukum
ekspansi wilayah. Di dalam upaya memperluas wilayah kekuasaan, tidak terlepas dari unsur heroik atau
kepahlawanan.8
Tidaklah mengherankan, sebuah kisah legenda klasik didominasi tema
ksatria dan kepahlawanan, yang
ditakdirkan untuk memenangkan perang setelah mengalami berbagai kesulitan. Unsur keterlibatan para penghuni
kayangan untuk memenangkan ksatria ‘favorit nya’ cukup dominan. Para dewa atau
dewi bebas memilih dalam mendukung ksatria yang
menjadi jagoannya.
Sebagai seorang ksatria, Sie Jin Kwi memiliki watak dan sifat
kepahlawanan. Menurut S. Sasramijaya
dalam majalah Narpawandana (1938: 31) dikatakan bahwa satriya adalah
seseorang yang mendapat tugas dan tanggung jawab untuk olah kasubratan (olah spiritual), olah kaprajuritan (olah
seni bela-diri), dan welas asih (kasih sayang). Ketiga watak ksatria tersebut menjadi senjata ampuh untuk
menghilangkan ‘bencana’, baik bencana dalam
bentuk lahir maupun batin. Sun Tzu seorang jendral dari Tiongkok, ahli
strategi militer dan filsuf menulis
sebuah buku The Art of War yang berisi tentang mengelola konflik
dan mengenal musuh.
8
Di
saat pandemic ini, wayang Potehi Rumah Cinwa juga menyajikan lakon terkait
pandemic covid-19 menggelar lakon bertema virus corona berjudul: Siluman
dari Kerajaan Koe Pid (Pernikahan Hwan Hu Zhi). Lakon plesetan dari virus
covid (Koe-Pid) dan Hwan Hu Zhi (Hand Sanitizer). Pergelaran 30 Juni 2020
(Potehi virtual Rumah Cinwa & Makara
Art Centre)
7. Ajaran
Konfusius dalam Kisah Sie Jin Kwi
Sub-bab ini akan membicarakan sekilas kisah Sie Jin Kwi yang ceritanya
dibangun di masa Dinasti Tang dan ajaran
Konfusius yang berkembang di masa Dinasti Tang. Konfusius istilah yang lebih dikenal daripada Kong Fuzi
yang dilahirkan pada tahun 551 SM dan wafat
tahun 472 SM dalam usia 73 tahun. Ajaran Konfusius mengalami kemerosotan
di zaman Dinasti Zhou (1122-256 SM),
zaman yang melahirkan berbagai aliran filsafat.
Pijakan ajaran Konfusius adalah pendidikan moral individu. Seseorang
didorong untuk berbuat baik. Filsafat
Konfusius mengenal ren dan li. Ren berarti kebajikan. Kata ren
sendiri adalah “kasihanilah sesamamu, jangan lakukan perbuatan terhadap
orang lain apabila engkau tidak suka
diperlakukan demikian”. Li artinya ‘berkorban’, yang mendapat
perluasan makna menjadi upacara
adat-istiadat perngorbanan pada leluhur, seperti yang dilakukan para kaisar dan kaum bangsawan. Ren dan li
tidak dapat dipisahkan karena keduanya, ren dan li
merupakan hubungan yang amat penting dalam membina kebajikan. Selain ren
dan li, Konfusius juga
membicarakan Dao, yaitu ‘jalan’ atau ‘cara’. Dao berisikan
hukum kesusilaan yang hendaknya ditaati
serta pola pikir yang dapat mengembangkan kepribadian setiap orang.
Tokoh Sie Jin Kwi dalam sepak-terjangnya melaksanakan ren dan li.
Ia memiliki sifat welas asih kepada
sesama, tanpa membedakan pangkat. Dalam perjalanan pulang ke desanya karena ia ditolak oleh Thio Su Kwi (pejabat
kerajaan yang ditugaskan untuk melakukan
seleksi penerimaan prajurit kerajaan Tong Tya) menjadi prajurit kerajaan
Tong Tya, Sie Jin Kwi menolong bangsawan
yang dirampok oleh tiga begal. Ketiga begal tersebut kalah, dan sang bangsawan memberikan putrinya kepada Sie
Jin Kwi untuk diperistri. Sie Jin Kwi
menolak pemberian tersebut, karena ia sudah menikah deng Lyu Kim Hwa.
Setelah penolakan kedua, Sie Jin Kwi
yang kecewa, dalam perjalanan pulang menolong Thia Ko Kim, penasihat Kaisar Li Si Bin, yang
diserang harimau. Ketika harimau berhasil dihalau pergi, Sie Jin Kwi mendapatkan katebelece (catatan
dari pejabat) dari Thia Ko Kim untuk
diberikan kepada Thio Su Kwi, yang isinya bahwa Sie Jin Kwi diterima
sebagai prajurit kerajaan atas jasanya
menyelamatkan Thia Ko Kim.
Tokoh Sie Jin Kwi selalu mendapatkan fitnah dari Thio Su Kwi yang licik,
culas, dan serakah. Sebagai pejabat,
sangatlah mudah baginya untuk membuat laporan palsu kepada Kaisar Li Si Bin. Banyak benteng atau
kerajaan kecil yang berhasil takluk kepada Kerajaan Tong Tya berkat perjuangan Sie Jin Kwi. Akan
tetapi dengan menempatkan Sie Jin Kwi
sebagai tukang masak di dapur dan ancaman bahwa Sie Jin Kwi adalah orang
yang dicari
Kaisar Li Si Bin untuk dibunuh, maka setiap memenangkan perang atas
berbagai benteng, Sie Jin Kwi selalu
cepat-cepat kembali ke dapur untuk bertugas sebagai juru masak. Sementara itu, Thio Su Kwi melaporkan kepada Kaisar Li
Si Bin, bahwa menantunya Ho Cong Hian
telah berhasil menaklukan musuh. Dengan gembira, Kaisar Li Si Bin
memberikan penghargaan kepada Ho Cong
Hyan atas jasa-jasanya. Hingga suatu hari, penipun Thio Su Kwi terungkap, dan ia pun dihukum dibakar di
dalam sebuah lonceng berukuran besar. Sie
Jin Kwi pun berhak atas jabatan Senapati Perang Kerajaan Tong Tya. Setiap
individu memiliki ‘jalan’ dan ’cara’
masing-masing untuk mencapai titik kebajikan.
8.
Penutup
Wabah dan bencana yang diangkat sebagai tema dalam BWCF ini bukan
sekedar wabah atau bencana yang membawa
korban manusia dan lingkungan. Pengertian dan
pemaknaan istilah wabah dan bencana dalam pembahasan Wayang Potehi ini
mendapatkan perluasan makna. Wabah dan
bencana juga membawa akibat untuk kehancuran makro
kosmos dan mikro-kosmos. Alam semesta, bumi, dan manusia tidak lagi
mendapatkan kehidupannya. Sumber wabah
dan bencana pun dapat berbentuk serangan penyakit yang menyerang fisik, penyakit hati atau peristiwa
alam yang maha dahsyat di luar prediksi
manusia.
Bencana dalam Wayang Potehi tergambar dalam lakon Sie Jin Kwi, seorang
ksatria kerajaan Tong Tya. Bencana yang
dihadapi para tokoh dalam kisah Sie Jin Kwi ini bersifat bencana kemanusiaan yang terkait dengan
nilai-nilai moral dan budi pekerti. Tokoh Sie Jin Kwi yang jujur, welas asih, memiliki keahlian
menggunakan senjata, loyal dan setia, suka
menolong berhadapan dengan tokoh-tokoh yang memiliki watak dan sifat
iri, dengki, serakah, pemarah, yang
bertolak belakang dengan sifat Sie Jin Kwi. Hwan Le Hwa yang diutus gurunya untuk menjalani takdirnya
sebagai istri Sie Teng San, mengalami situasi
kejiwaan perempuan tangguh atau kstaria perempuan yang tidak mudah.
Sebagai ksatria perempuan yang berilmu
tinggi, dia direndahkan oleh Sie Teng San. Berbagai bencana hati dialaminya, sampai dia pulang ke rumahnya
untuk sekedar diam dan introspeksi diri. Atas
perintah Raja Muda Sie Jin Kwi yang sudah tua, Hwan Le Hwa dijemput
untuk kembali ke kerajaan Tong Tya
dengan tugas baru sebagai Panglima Perang. Hwan Le hwa adalah gambaran seorang Ibu Pertiwi yang berhasil
mengusir bencana musuh dan meraih kejayaan
kerajaan Tong Tya.
Bencana yang muncul dalam kisah Sie Jin Kwi merupakan bencana perang
konflik batin. Bencana terbagi dalam 2
bagian. Yakni 1) Bencana lahir/fisik berupa perang adu senjata atau jurus sakti sehingga menimbulkan
korban (perorangan maupun
kelompok/rakyat/prajurit); 2) Bencana batin (konflik batin) yang jika
tidak dapat dikelola dengan baik akan
menghasilkan kemenangan atau kehancuran untuk diri pribadi. Setiap bencana, baik lahir maupun batin, selalu
melahirkan sebuah pencerahan atau pembaruan. Pandemi covid-19 melahirkan
tatanan kehidupan baru.
Depok,
Pertengahan Oktober 2020
DWM
Referensi
Andri Wang.
2011. The Wisdom of Confucius. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Claudine Salmon. 1987. Literary Migrations: Traditional Chinese Fiction in
Asia (17-20th Centuries). Beijing, The Foreign Language.
Dwi Woro Retno
Mastuti. 2014. “Wayang Potehi: Chinese Peranakan Performing Arts in Indonesia” dalam Puppetry for All Times.
Ghulam Sarwar Yousof (ed.). Singapore,
Partridge Publishing.
Dwi Woro Retno
Mastuti. 2014. Wayang Potehi Gudo: Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa di
Indoneisa. Jakarta, Penerbit Sinar Harapan.
Dwi Woro Retno
Mastuti. 2017. “Kesatria Sie Jin Kwie dalam Lakon Wayang Potehi” dalam Bunga Rampai Wayang: Latihan Berbasis
Neuroplastisitas dan Revolusi Mental. Dwi Woro RM, Jusuf Sutanto, Darmoko
(ed.). Jakarta, Penerbit Universitas
Indonesia. Hlm. 41-60.
Dwi Woro Retno
Mastuti. 2017. “The Sublimation Power of Hwan Le Wah: The Study of Chinese-Javanese Women and Its Relevance in
Socio-Environment Harmony” dalam Journal
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. Vol. 175. 24
Juli 2018.
Dwi Woro Retno
Mastuti, Ari Anggari, Afriadi, Yi Ying. 2018. Mozaik Budaya Peranakan
Tionghoa di Indonesia. Jakarta, Aspertina.
Edi Sedyawati.
1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta, Penerbit Sinar Harapan.
Hirwan Kuardhani. 2011. Toni Harsono: Maecenas Potehi dari Gudo.
Yogyakarta, Isacbook. Ivan Taniputera. 2007. History of China.
Yogyakarta, Penerbit A-Ruzz Media. James Dananjaya. 1984. Folklore Indonesia.
Jakarta, Grafiti Press.
Julianti
Parani. 2011. Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik Budaya. Jakarta,
Penerbit Nalar.
Kaori Fushiki
& Robin Ruizendaal (ed.). 2016. Potehi: Glove Puppet Theatre in
Southeast Asia and Taiwan. Taiwan.
Taiyuan Publishing.
Lu Hsun. 1959. A
Brief History of Chinese Fiction. Peking, Foreign Languages Press. Lono
Simatupang. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta, Jalasutra.
Oto Suastika
(Siauw Tik Kwie). 1984. Sie Djin Koei Ceng Tang (9 Jilid) & Sie Djin
Koei Ceng See (6 Jilid). Jakarta,
Penerbit Gabungan Tridharma Indonesia.
Umar Kayam. 1981. Seni,
Tradisi, Masyarakat. Jakarta, Penerbit Sinar Harapan.
S. Sasramijaya.
Narpawandana Surakarta, Jilid 2, Februari 1938. Pangayoman Sahandhap
Sampeyan Dalem Ingkang SinuhunIngkang Minulya Saha Wicaksana Kanjeng Susuhunan. Narpawandana Surakarta, Jilid 2,
Februari 1938.
Yanuardi G.
Soebiono. 2013. Kumpulan Karya Militer Klasik: Seni Perang China. Jakarta, PT Elex Media Komputindo.
1 Hirwan
Kwardhani. Toni Harsono: Maecenas Potehi dari Gudo. Yogyakarta,
Isacbook. 2011.
2 Diperkirakan wayang kaet berkembang di Bagan
Siapi-api. Informasi ini diperoleh dari Bapak Prayitno (alm) pengelola Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma
(Desa Mas, Ubud, Bali) yang memiliki koleksi wayang kaet dengan keterangan bahwa wayang tersebut
berasal dari Bagan Siapi-api. Ketika saya menelusuri keberadaan wayang kaet di Bagan Siapi-api (2016), tidak
diperoleh informasi yang meyakinkan bahwa wayang kaet pernah ada di Bagan Siapi-api.
3 Potehi: Glove Puppet Theatre in Southeast Asia and
Taiwan. Kaori Fushiki and Robin Ruizendaal (ed.). Taiyuan Publishing, Taiwan, 2016. Hlm. 2.
Makalah ini disampaikan pada Borobudur Writers and Cultural Festival
(BWCF) ke-9 dengan tema Bhumisodhana:
Ekologi & Bencana dalam Refleksi Kebudayaan Nusantara. Diselenggarakan
pada 19-23 November, 2020. Seminar
Virtual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar