Kamis, 07 Maret 2024

Wabah dan Bencana dalam Kisah Wayang Potehi: Studi Kasus Lakon Se Jin Kwi

OLEH Dwi Woro Retno Mastuti (Pengajar Program Studi Jawa FIB-UI dan Pendiri Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang (Depok)


1. Pendahuluan

Saat ini, dunia sedang dilanda pandemi covid-19 yang memaksa warga dunia harus  patuh pada tatanan hidup baru. Warga dunia dihadapkan pada peraturan yang harus ditaati,  yaitu mengenakan masker, cuci tangan, jaga jarak, dan menghindari kerumunan orang atau  tidak berkerumun.

Pada awal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) alias lockdown diberlakukan,  berbagai bidang kehidupan terkena dampaknya. Bidang ekonomi, politik, seni-budaya, dan  ketahanan, cukup terguncang menghadapi musuh yang tak nampak wujudnya ini. Kegiatan  seni-budaya yang sudah terjadwal untuk mengadakan pertunjukan, dengan berat hati  mengambil sikap menunda pergelarannya hingga waktu lebih kondusif. Informasi yang lebih  terkini adalah virus corona yang berkembang di Indonesia bermutasi menjadi virus yang  lebih ganas dan memiliki varian virus corona yang lebih bervariasi. Selain itu, wabah ini  tidak dapat dipastikan kapan akan berakhir. Dia sudah hidup bersama kita.

Kegiatan Borobudur Writers and Culture Festival (BWCF) ke-9 tahun 2020 ini  mengusung tema Bhumisodhana, Ekologi dan Bencana dalam Refleksi Kebudayaan  Nusantara. Mengutip penjelasan yang disampaikan oleh Panitia BWCF dalam TOR untuk  para pemakalah, Bhumisodhana adalah upacara penyucian bumi (tanah) yang dilakukan para  petapa sejak zaman dahulu kala. Upacara untuk menentukan tempat berpijak dan hak bagi  manusia, penyucian bumi dari pengaruh buruk yang telah ditimbulkan oleh manusianya  sendiri. Manusia wajib memuliakan bumi. Sebagai tempat tinggal manusia bersama mahluk  lainnya, bumi wajib memberi apa yang harus diberi dan meminta apa yang harus diminta.

Pengetahuan ekologi yang mempelajari ekosistem makhluk hidup yang bersifat  komprehensif, yang membahas interaksi, ketergantungan, keanekaragaman, keharmonisan  dan keberlangsungan, manusia memiliki peran untuk menjaga keseimbangan dna keselarasan  di tengah tuntutan industri modern yang semakin canggih. Berbagai manuskrip kuno  Nusantara dan cerita rakyat telah mencatat pengetahuan tentang ekologi tersebut. Peringatan menghadapi bencana, obat-obatan herbal untuk menangkal berbagai penyakit, sumber pangan  dari tumbuh-tumbuhan, petunjuk mengolah tanah persawahan dan perkebunan, tertuang  melalui karya sastra klasik maupun berbagai cerita rakyat yang disampaikan melalui tradisi  lisan.

Wayang adalah salah satu karya seni pertunjukan yang memiliki peran dan potensi  merefleksikan kebudayaan Nusantara. Sebagai contoh wayang kulit purwa (Jawa). Seluruh  unsur seni pertunjukan wayang, baik fisik maupun lakonnya, merupakan refleksi alam  semesta dengan segala isinya. Kelir dan gunungan wayang melambangkan alam semesta.  Kelir adalah gambaran alam semesta yang masih kosong. Pada saat Gunungan ditancapkan di  tengah-tengah kelir, maka alam semesta yang kosong tadi pun terisi dengan makhluk hidup  (manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan) yang diukir dalam lembaran Gunungan. Ketika dalang  memulai pergelaran wayang kulit, hadirlah berbagai tokoh dengan berbagai karakter, baik  atau buruk, yang mewarnai kehidupan ini, yang dibingkai dalam satu kisah/lakon. 

Wayang merupakan media atau sarana komunikasi dan informasi berbagai hal terkait  dengan kehidupan manusia. Sebagai sebuah seni pertunjukan, wayang berfungsi sebagai  tontonan/hiburan, tuntunan, dan tatanan. Lakon wayang (epos Ramayana dan Mahabharata) yang disampaikan oleh dalang mengandung berbagai nilai-nilai kehidupan, ajaran moral dan  budi pekerti, yang menjadi pedoman dan tuntunan hidup manusia. Pedoman hidup tersebut  membuat kehidupan manusia lebih tertata dalam menjalani sangkan paraning dumadi. Ada  sekitar 35 jenis wayang (dapat juga lebih dari 35 jenis), terbagi dalam wayang dua dimensi  dan tiga dimensi. Wayang Potehi termasuk wayang tiga dimensi bersama wayang golek  (Sunda, Betawi), boneka si Unyil, wayang gantung (string puppet, marriotnette), wayang  kaet. 

Wayang Potehi adalah salah satu seni pertunjukan yang hadir di Indonesia  memperkaya keragaman budaya Indonesia. Sebagai karya akulturasi budaya Jawa dan  China/Tiongkok, wayang Potehi memiliki peran menjaga keberlangsungan kebhinekaan  Indonesia. Lakon wayang Potehi mengisahkan legenda/mitos Tiongkok klasik. Dalam  perkembangannya, wayang Potehi yang semula menjadi bagian dari ritual umat Konghucu  dan dipergelarkan di kelenteng, di era keterbukaan ini, wayang Potehi dapat disaksikan di  berbagai tempat, seperti sekolah, pusat perbelanjaan, kampus, dan laIn sebagainya.

Mengacu pada tema BWCF ini, bencana atau wabah dalam lakon wayang Potehi  merupakan suatu usaha para dewa atau ksatria untuk memusnahkan atau membinasakan  pihak lain yang tidak berkenan di hati para dewa atau musuh para ksatria. Pembahasan  perihal bencana dan wabah dalam lakon wayang Potehi dibatasi pada kisah Sie Jin Kwi Ceng

Tang dan Sie Jin Kwi Ceng See serta lakon carangan Potehi yang digarap oleh grup Potehi  Rumah Cinta Wayang disingkat Rumah Cinwa (Depok).

2. Mengenal Wayang Potehi

Wayang Potehi adalah wayang kantong termasuk dalam jenis wayang 3 dimensi. Kata  potehi berasal dari kata poo (kain) tay (kantong) hie (wayang) (Bahasa Hokkian) atau budaixi  (Bahasa Mandarin). Sebagai bentuk mini dari opera Beijing, wayang ini berasal dari Provinsi  Fujian (Tiongkok Selatan). Berbagai suku dari Tiongkok Selatan tersebar di berbagai pulau di  Nusantara.

Boneka Potehi terdiri dari kepala (diameter 5 cm), tangan dan kaki/sepatu yang  terbuat dari kayu (kayu pule di Jawa) dan kantong kain. Pada perkembangannya, kepala  boneka potehi tersebut dapat dibuat dari bahan keramik atau raisin/plastik.

Tidak diketahui secara pasti sejak kapan wayang Potehi hadir di Indonesia.  Diperkirakan kehadiran wayang Potehi, khususnya di Jawa bersamaan dengan gelombang  migrasi etnis Tiongkok ke Nusantara di sekitar abad ke-17. Menurut Toni Harsono (Gudo,  Jombang), kakek buyutnya menyimpan boneka Potehi di awal tahun 1900-an bersama  panggung Wayang Potehi. Baik boneka maupun panggung Potehi tersimpan di Museum  Potehi di Gudo (Jombang).1

Wayang China yang berkembang di Indonesia adalah wayang Potehi di Jawa  (khususnya Jawa Timur), wayang gantung di Pontianak, wayang kaet di Bagan Siapi-api2.  Pada saat ini satu-satunya kelenteng yang menggelar wayang Potehi pentas 2 hingga 3 kali  sehari adalah kelenteng Dukuh di Surabaya. Para dalang wayang Potehi pun banyak berasal  dari Jawa Timur (Sidoarjo, Surabaya, Ngoro, Gudo). Kelenteng merupakan tempat  pertunjukan wayang Potehi. Selain sebagai tempat ibadah, kelenteng juga berfungsi sebagai  tempat kegiatan sosial. Oleh karena itu, wayang Potehi disebut juga wayang para Dewa. Bagi  umat Konghucu, wayang Potehi merupakan wayang persembahan kepada para Dewa untuk  mengantar doa-doa yang dipanjatkan untuk mengharapkan berbagai kelancaran dan  kemudahan dalam hidup atau ucapan syukur tatkala harapan tersebut terkabul. Dapat  dikatakan bahwa pergelaran wayang Potehi merupakan bagian dari sebuah ritual di dalam  kehidupan umat Konghucu. Posisi panggung Potehi di kelenteng selalu menghadap ke altar  dewa utama. Setiap kelenteng memiliki dewa utama yang berbeda.

Dalam buku Potehi: Glove Puppet Theatre in Southeast Asia and Taiwan (2016)  dikatakan bahwa wayang Potehi juga terdapat di Taiwan dan Asia Tenggara (Penang – Malaysia, Yangon – Myanmar, Singapura). Potehi di negara-negara tersebut dipengaruhi oleh  sosial-politik, budaya, serta berbagai perubahan yang terjadi di wilayah masing-masing.3 Dengan demikian, pergelaran wayang Potehi di setiap negara tersebut memiliki keunikan  tersendiri. Di Jawa, dalang Potehi menggunakan Bahasa Jawa dalam menyampaikan lakon lakon wayang Potehi. Potehi Singapura musik pengiringnya berdasarkan musik opera gezai  (gesaixi), tidak mengikuti nanyin. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan wayang Potehi  di China dan Taiwan mengalami kemunduran dan nyaris punah.

Pergelaran wayang Potehi dapat berlangsung singkat (1 jam) atau pun berhari-hari  (paling lama 30 hari, pagi & malam dalam satu hari). Pergelaran wayang yang singkat atau  panjang akan mempengaruhi jalannya lakon atau cerita wayang itu sendiri. Pemain wayang  Potehi terdiri dari 1 dalang, 1 asisten dalang, 4 pemusik untuk alat musik erhu, hyena,  dongko, piak ko, siauw bak, toa lo, siauw lo, pan, joe (terompet Cina). Seperti diketahui,  cerita-cerita wayang Potehi mengisahkan dunia para dewa, kaisar, ksatria dari sebuah dinasti  yang dikemas dalam legenda/mitos Tiongkok klasik. Suluk yang diucapkan oleh dalang  adalah suluk dengan Bahasa Hokkian4. Pada awalnya, wayang Potehi menggunakan Bahasa  Hokkian. Saat ini, dalang wayang Potehi menggunakan Bahasa Indonesia, dna sesekali  Bahasa Jawa atau Inggris. Berbagai lakon yang dimainkan, antara lain: Sie Jin Kwi Ceng  Tang dan Sie Jin Kwi Ceng Se, Sam Kok, Sam Pek Eng Tay, Sun Go Kong, Asal-usul 8  Dewa, 18 Jendral Pemberontak. 

Awal Oktober 2020, Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong (Semarang) bekerja sama  dengan Yayasan Fu He An (Jombang) menggelar wayang Potehi dengan tema ‘Wayang  Potehi Tolak Pagebluk’. Kegiatan ini mengiringi Sembahyang Tiong-Jiu-pia tahun 2020,  yaitu ritual doa wayang Potehi yang berjudul “Hou Yi Memanah Matahari” dicuplik dari  legenda 10 Matahari.5 Pergelaran ini akan sarat dengan ritual pembacaan doa-doa untuk  memusnahkan ‘pagebluk’ atau wabah dari bumi.

3. Wayang Potehi Rumah Cinwa (Depok)

Pada saat ini, jumlah grup wayang Potehi terdiri dari Lima Merpati (Surabaya), Fu He  An (Gudo, Jombang), Jensen Project (Mojokerto), Thio Hauw Lie putra Thio Tiong Gie  almarhum (Semarang) dan Rumah Cinwa (Depok, Jawa Barat). Tiga grup wayang Potehi di 

Contoh suluk Potehi: Djiao djiao ha san way/ sian hwa man ti khay/ hok lok tjai tju siu/ hui hapcong sian lay//  Artinya: dengan diam kami turun dari gunung/ bunga nan segar berkembang di bumi/memberikan berkah,  keberuntungan, dan umur panjang/ para dewa datang dan duduk di situ//

5Sumber: Berita online Sumatrapost.co, 28 September 2020. Alkisah pada zaman dahulu kala terdapat 10  Matahari yang menyebabkan penderitaan dan kekeringan di Bumi. Pada akhirnya, muncul seorang ksatria yang  berhasil memanah 9 matahari dan menyisakan 1 matahari untuk menyinari bumi. Karena jasanya, sang Ksatria  mendapatkan hadiah berupa pil ajaib, yang dititipkan kepada sang istri. Demi menjaga pil ajaib tersebut dari  sasaran pencuri, sang istri menelan pil ajaib tersebut. Hal ini mengakibatkan ia melayang tinggi dan makin  tinggi hingga mencapai bulan. Sang Ksatriapun bersedih karena kehilangan istrinya. Untuk mengenang sang  istri, sang Ksatria membuat sebuah kue yang berbentuk bulat seperti bulan. Setiap awal bulan Oktober dikenal  dengan Hari Memperingati Kue Bulan.

Jawa Timur adalah grup wayang Potehi yang anggotanya terdiri dari dalang dan pemusik  senior. Bapak Mujiono, Bapak Subur Suwahyo, Bapak Purwanto (baru saja wafat pada bulan  Agustus 2020), Bapak Keke. Di Depok, Rumah Cinwa untuk sementara ini fokus pada  pelestarian dan menjaga keberlangsungan wayang Potehi yang hampir punah6. Dalang dan  pemusik adalah para mahasiswa dari Universitas Indonesia (usia 20 -22 tahun) yang memiliki  minat dan ketertarikan pada pengembangan wayang Potehi. Rumah Cinwa didirikan pada 23  Nopember 2014 oleh Dwi Woro Retno Mastuti. Seusai menulis buku Wayang Potehi Gudo  (2014), terbersit keingingan untuk mendirikan grup wayang Potehi.

4. Sie Jin Kwi Ceng Tang dan Sie Jin Kwi Ceng See

Sie Jin Kwi (Xue Ren Gui) adalah tokoh ksatria dalam legenda Sie Jin Kwi Ceng  Tang (Berperang ke Timur) dan Sie Jin Kwi Ceng See (Berperang ke Barat). Kisah  kepahlawanan Xue Ren Gui ini ditulis oleh Lo Kuan Chung, seorang penyair yang dikenal di  masa Dinasti Tang (618 – 907 M). Di masa Dinasti Tang, China memulai reformasi politik  dan militer, menghasilkan stabilitas social, ekonomi dan kemakmuran. Xue Ren Gui adalah  seorang jendral yang berjasa di kerajaan Tong Tya (Taizong). Sebagai seorang panglima  perang, ia selalu berhasil dalam mengalahkan musuh-musuhnya. Xue Ren Gui selalu  mengenakan pakaian warna putih dan berasal dari keluarga miskin. Ia dikenal sebagai  pemuda yang haus belajar berbagai ilmu silat dan senjata perang. Selain itu, Sie Jin Kwi  memiliki watak yang rendah hati, setia, loyal, jujur, suka menolong.

Di Indonesia, Xue Ren Gui dikenal dengan nama Sie Jin Kwi (pelafalan Hokkian).  Tokoh Sie Jin Kwi menjadi populer semenjak Otto Swastika (Oey Kim Ting) melukiskan  kepahlawanan Xue Ren Gui untuk mingguan Star Weekly. Selanjutnya, lukisan tersebut  dikumpulkan dan menjadi komik yang diterbitkan oleh Penerbit Keng Po.

Di Jawa, tokoh Sie Jin Kwi dikenal dengan nama Joko Sudiro yang dipopulerkan  melalui lakon kethoprak Joko Sudiro dan Macan Putih dan disiarkan oleh RRI Yogyakarta  tahun 1970-an. Di samping itu, tokoh Sie Jin Kwi ini juga tersurat dalam berbagai naskah  Cina-Jawa yang ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa. Tokoh Sie Jin Kwi tersebut dikenal  dengan nama Sik Jin Kwi. Naskah Sik Jin Kwi kebanyakan anonym dan bersifat codex  unicus (naskah tunggal). Hal ini diperkirakan karena naskah tersebut ditulis untuk keluarga  Tionghoa tertentu dan untuk kepentingan keluarga tersebut. Yaitu agar anak-cucu keluarga  tersebut memahami bahwa leluhur mereka berasal dari tanah Tiongkok.

6Selain mengembangkan wayang Potehi, Rumah Cinwa juga mencoba mengembangkan Wacinwa (Wayang  Kulit Cina-Jawa) yang telah punah. Work in progress!

Kisah Sie Jin Kwi juga dituangkan dalam karya sastra berbahasa Jawa dan Melayu.  Menurut Claudine Salmon dalam bukunya Literary Migrations, ada 7 novel Tiongkok yang  dikenal di Jawa, salah satunya adalah Shih Djien Koei Tjing Tang (Xue Rengui Clears The  East) dan Shih Djien Koei Tjing See (Xue Rengui Clear The West). Novel-novel China yang  diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu Rendah lebih banyak lagi, sekitar 759 terjemahan  (Claudine Salmon, 1987: 395), termasuk Sie Djin Koei Tjeng Tang dan Sie Djin Koei Tjeng  See yang diterbitkan sekitar tahun 1912-an. Kisah Sie Jin Kwi (Xue Rengui Clears The East  dan Xue Rengui Clear The West) termasuk kisah dengan latar belakang sejarah. Sebagai  seorang Jendral Perang di masa Dinasti Tang, Sie Jin Kwi berperang ke Timur menaklukkan  Korea (1987: 228, 380-395).

Di masa Dinasti Tang (618-907), pujangga Li Bai, Du Fu, dan Bai Juyi telah menulis  sekitar 900 puisi

5. Wabah dan Bencana 

Wabah adalah istilah umum untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit pada  daerah yang luas dan pada banyak orang. Studi tentang wabah disebut epidemiologi. Secara  spesifik, wabah yang memiliki arti tersebarnya penyakit dan mengakibatkan kematian banyak  orang, tidak ditemukan dalam kisah Sie Jin Kwi. Wabah dalam kisah Sie Jin Kwi lebih  memiliki makna pada jurus-jurus perang yang menghasilkan sebuah situasi atau benda yang  menjadikan banyak orang atau prajurit mati. Bencana diartikan sebagai situasi buruk yang  mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia, hewan, dan tumbuh tumbuhan yang disebabkan oleh faktor alam atau non-alam, factor manusia, sehingga  menimbulkan korban jiwa dan merusak lingkungan, serta kerugian harta benda. Selain itu,  bencana juga berdampak pada psikologis.7

Berbagai kisah wabah dan bencana dalam kisah Sie Jin Kwi muncul karena peran  para dewa dan ksatria yang memiliki kemampuan sakti dan senjata unggulan yang dapat  menghancurkan lawan, benteng musuh beserta isinya, hutan, gunung, lautan.

5.1 Jurus Kelabang Berbisa vs Jurus Ayam Jago Mas

Perang tanding antara Bwe Goat Eng dan Sie Jin Kwi berlangsung setelah Khai Sou  Bun, suami Bwe Goat Eng, kalah perang dari Sie Jin Kwi. Di saat terdesak, Bwe Goat Eng  mengibarkan bendera kecil hijau yang berubah menjadi kelabang berbisa yang terbang  menyambar dan memagut Sie Jin Kwi dan 8 saudaranya, yang mengakibatkan mereka jatuh  pingsan. Seorang ksatria senantiasa mendapat perlindungan para dewa. Sie Jin Kwi  dilindungi oleh para dewa, khususnya Dewa Li Ceng yang memercikan air suci ke wajah Sie  Jin Kwi yang lalu sadar kembali dan bangkit. Kemudian Dewa Li Ceng memberikan sehelai  bendera Kong Tok Ki untuk melawan senjata wasiat musuh. Berkat air suci tersebut, ke delapan saudara Sie Jin Kwi dan para prajurit sadar dari pingsannya dan kembali bersiap  untuk perang. Keesokan harinya, Sie Jin Kwi dan prajurit kerajaan Tong Tya berhadapan  dengan Bwe Goat Eng dari benteng Hong Hong San. Dengan penuh percaya diri, Bwe Goat  Eng mengeluarkan jurus Kelabang Berbisa yang disambut oleh jurus Ayam Jago Mas milik  Sie Jin Kwi. Seketika itu juga, ribuan ayam jago mematuki kelabang berbisa. 

Kekalahan perang adalah bencana bagi sebuah kerajaan. Benteng Hong Hong San  sebuah kerajaan kecil pun jatuh ke tangan kerajaan Tong Tya. Sie Jin Kwi dan prajurit Tong  Tya dapat mengalahkan musuh berkat pertolongan Dewa Li Ceng. 

5.2 Pembakaran Hutan 

Thio Su Kwi sebagai utusan Kaisar Li Si Bin untuk merekrut para prajurit kerajaan  Tong Tya dan memimpin perjalanan ke Timur, merasa gundah karena kehebatan Sie Jin Kwi  terdengar sampai ke telinga Kaisar Li Si Bin yang selama ini mencari ksatria berbaju putih  yang kelak membuat kejayaan bagi kerajaan Tong Tya. Kelicikan Thio Su Kwi selama ini  adalah menyembunyikan Sie Jin Kwi dan memfitnah Sie Jin Kwi dengan melaporkan kepada

Kaisar Li Si Bin bahwa menantunya, Ho Cong Hyan, berhasil menaklukan musuh. Padahal,  keberhasilan tersebut merupakan keberhasilan Sie Jin Kwi.

Dengan alasan bahwa Sie Jin Kwi adalah orang yang dicari oleh Jendral U Ti Kiong,  Thio Su Kwi meminta Sie Jin Kwi dan rombongannya sembunyi di lembah Thian Sian Kok.  Thio Su Kwi yang jahat memerintahkan pasukannya untuk menutup jalan masuk ke lembah  dengan balok kayu dan batu. Ia juga memerintahkan serdadunya untuk melemparkan api ke  dalam lembah yang lebat dengan pohon-pohon kering itu. Lembah Thian Sian Kok pun  menjadi lautan api. Sie Jin Kwi dan kawan-kawannya baru sadar bahwa mereka ditipu oleh  Thio Su Kwi. Dengan jubah Sui Ho Pau pemberian Dewi Hwan Li Nio Nio, Sie Jin Kwi dan  kawan-kawannya berlindung di bawah jubah tersebut dan mereka pun merasakan hembusan  angin yang kuat hingga mereka serasa terbang di angkasa. Akhirnya, mereka pun selamat.

Situasi kebakaran hutan di lembah Thian Sian Kok merupakan peristiwa bencana  kebakaran hutan yang dibuat dengan sengaja oleh manusia yang memiliki tujuan jahat untuk  memusnahkan orang lain yang menjadi musuhnya yang akan menghalangi jalannya mencapai  kekuasaan atau jabatan tertinggi dalam kerajaan.

5.3 Obat Dewa dari Dewa Li Ceng

Di dalam meditasinya, Dewa Li Ceng melihat Sie Jin Kwi dalam keadaan bahaya  akibat semburan batu Bok Kak Thai Sian guru dari Khai Sou Bun musuh bebuyutan Sie Jin  Kwi. Kerajaan Tong Tya bersedih melihat Sie Jin Kwi pingsan. Tetesan obat Dewa di dahi  Sie Jin Kwi dari Dewa Li Ceng membuat sang ksatria berbaju putih itu sehat kembali.

Pada perang keesokan harinya terjadilah perang antar Dewa Li Ceng melawan Bok  Kak Thai Sian yang tak lain adalah kura-kura besar. Dewa Li Ceng segera menempelkan  sehelai surat penetapan di punggung kura-kura tersebut. Surat tersebut berbunyi bahwa  setelah 5.000 tahun barulah kura-kura dapat berubah menjadi manusia.

Kekuasan para dewa tidak terbatas. Dengan kekuasannya, dewa dapat menetapkan  hidup seseorang untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

5.4 Perjodohan Sie Teng San dan Hwan Le Hwa

Sie Teng San adalah putra Sie Jin Kwi. Hwan Le Hwa adalah putri jendral dari pihak  musuh kerajaan Tong Tya. Sudah menjadi kehendak para dewa, Hwan Le Hwa yang sakti  dan memiliki kemampuan berperang tingkat tinggi, memang jodoh Sie Teng San. Perjodohan  mereka meliwati banyak kesulitan. Penolakan Sie Teng San terhadap Hwan Le Hwa  memaksa Hwan Le Hwa menghukum Sie teng San dengan jurus-jurus sakti yang dimilikinya,  sehingga membuat Sie Teng San akhirnya takluk dan menerima perjodohannya dengan Hwan  Le Hwa.

Sie Teng San menghina Hwan Le Hwa sebagai perempuan biadab, rendah, tak tahu  malu yang membuat Hwan Le Hwa marah dan mengucapkan mantera sehingga membuat  dunia gelap-gulita dan muncullah gunung-gunung yang bergeser dan menggencet Sie Teng  San. Selain itu, pohon-pohon tinggi dan rapat mengepung Sie Teng San yang membuat Sie  Teng San tak menemukan celah untuk menyelamatkan diri. Arogansi Sie Teng San selalu  membuat Hwan Le Hwa marah dan menciptakan bencana untuk Sie Teng San. Setelah  bencana gunung dan pohon tinggi, hukuman yang ketiga adalah membuat Sie Teng San  tenggelam di lautan dengan tangan terikat.

5.5 Dewa dan Siluman

Di akhir kisah Sie Jin Kwi Ceng See, para dewa turut berperan dalam perang melawan para ksatria kerajaan Tong Tya. Hwan Le Hwa, Sie Kim Lian, Sie Teng San  melawan para siluman dan dewa yang berpihak kepada musuh. Ketika pedang Li To Hu  hampir mengenai Hwan Le Hwa, tiba-tiba ada halilintar mematahkan pedang tersebut.  Ternyata, dewi Le San Seng Bou, guru Hwan Le Hwa, melayang turun dari angkasa. Para  dewa dari pihak kerajaan Tong Tya senantiasa mengeluarkan berbagai jurus untuk  melindungi murid-murid mereka yang berperang untuk kejayaan kerajaan Tong Tya.

6. Bencana dalam Kisah Sie Jin Kwie

Seperti telah disampaikan pada paragraf sebelumnya, bencana diartikan sebagai  situasi buruk yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia,  hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang disebabkan oleh faktor alam atau non-alam, faktor  manusia, sehingga menimbulkan korban jiwa dan merusak lingkungan, serta kerugian harta  benda. Selain itu, bencana juga berdampak pada psikologis. Di dalam kisah Sie Jin Kwi ini,  bencana dalam kehidupan manusia muncul karena perang antara kerjaan Tong Tya yang  melakukan ekspansi menaklukan kerajaan-kerajaan kecil untuk meluaskan kekuasaan  wilayahnya.

Bencana kehidupan dan lingkungan nampaknya lebih dominan dalam kisah Sie Jin  Kwi. Contoh-contoh peristiwa bencana kehidupan dan lingkungan yang ditampilkan pada  tulisan ini dianggap mewakili berbagai peristiwa yang tergambar pada Sie Jin Kwi Ceng  Tang (6 episode) dan Sie Jin Kwi Ceng See (9 episode). Bencana kehidupan dan lingkungan tersebut ditimbulkan oleh konflik antar kerajaan yang melibatkan para ksatria dan para dewa  yang berpihak kepada mereka.

Dewa-dewi dikenal sebagai mahluk yang mendiami sebuah tempat yang disebut  suralaya atau kahyangan. Dunia para dewa juga memiliki struktur organisasi atau hirarki  kekuasaan. Pada cerita mitos atau legenda klasik, dewa-dewi memiliki hubungan vertikal  dengan kehidupan manusia. James Dananjaya (1983: 52) menjelaskan mitos sebagai cerita  prosa rakyat yang dianggap suci dan dianggap benar-benar terjadi, dengan tokoh manusia  setengah dewa dan terjadi pada waktu yang sangat lampau; legenda adalah cerita prosa rakyat  yang dianggap benar-benar terjadi, ditokohi oleh manusia, dan terjadi pada waktu yang tidak  terlalu lama.

Bencana selalu membawa korban, baik perorangan maupun kelompok masyarakat. Di  dalam kisah Sie Jin Kwi, bencana terjadi karena banyak unsur atau faktor. Yaitu: 1) Faktor  Pengetahuan (Jurus Sakti); 2) Faktor Lingkungan (Pembakaran Hutan); 3) Faktor Perjodohan  (Hwan Le Hwa dengan Sie Teng San); 4) Faktor Ramuan Dewa; 5) Faktor Dewa/Siluman.

Bencana di dalam kisah Sie Jin Kwi ini lebih banyak dipicu atau didorong oleh unsur perang,  yang memiliki hukum ekspansi wilayah. Di dalam upaya memperluas wilayah kekuasaan,  tidak terlepas dari unsur heroik atau kepahlawanan.8

Tidaklah mengherankan, sebuah kisah legenda klasik didominasi tema ksatria dan  kepahlawanan, yang ditakdirkan untuk memenangkan perang setelah mengalami berbagai  kesulitan. Unsur keterlibatan para penghuni kayangan untuk memenangkan ksatria ‘favorit nya’ cukup dominan. Para dewa atau dewi bebas memilih dalam mendukung ksatria yang  menjadi jagoannya.

Sebagai seorang ksatria, Sie Jin Kwi memiliki watak dan sifat kepahlawanan.  Menurut S. Sasramijaya dalam majalah Narpawandana (1938: 31) dikatakan bahwa satriya adalah seseorang yang mendapat tugas dan tanggung jawab untuk olah kasubratan (olah  spiritual), olah kaprajuritan (olah seni bela-diri), dan welas asih (kasih sayang). Ketiga watak  ksatria tersebut menjadi senjata ampuh untuk menghilangkan ‘bencana’, baik bencana dalam  bentuk lahir maupun batin. Sun Tzu seorang jendral dari Tiongkok, ahli strategi militer dan  filsuf menulis sebuah buku The Art of War yang berisi tentang mengelola konflik dan  mengenal musuh.

8 Di saat pandemic ini, wayang Potehi Rumah Cinwa juga menyajikan lakon terkait pandemic covid-19 menggelar lakon bertema virus corona berjudul: Siluman dari Kerajaan Koe Pid (Pernikahan Hwan Hu Zhi). Lakon plesetan dari virus covid (Koe-Pid) dan Hwan Hu Zhi (Hand Sanitizer). Pergelaran 30 Juni 2020 (Potehi  virtual Rumah Cinwa & Makara Art Centre)

7. Ajaran Konfusius dalam Kisah Sie Jin Kwi

Sub-bab ini akan membicarakan sekilas kisah Sie Jin Kwi yang ceritanya dibangun di  masa Dinasti Tang dan ajaran Konfusius yang berkembang di masa Dinasti Tang. Konfusius  istilah yang lebih dikenal daripada Kong Fuzi yang dilahirkan pada tahun 551 SM dan wafat  tahun 472 SM dalam usia 73 tahun. Ajaran Konfusius mengalami kemerosotan di zaman  Dinasti Zhou (1122-256 SM), zaman yang melahirkan berbagai aliran filsafat.

Pijakan ajaran Konfusius adalah pendidikan moral individu. Seseorang didorong  untuk berbuat baik. Filsafat Konfusius mengenal ren dan li. Ren berarti kebajikan. Kata ren sendiri adalah “kasihanilah sesamamu, jangan lakukan perbuatan terhadap orang lain apabila  engkau tidak suka diperlakukan demikian”. Li artinya ‘berkorban’, yang mendapat perluasan  makna menjadi upacara adat-istiadat perngorbanan pada leluhur, seperti yang dilakukan para  kaisar dan kaum bangsawan. Ren dan li tidak dapat dipisahkan karena keduanya, ren dan li

merupakan hubungan yang amat penting dalam membina kebajikan. Selain ren dan li,  Konfusius juga membicarakan Dao, yaitu ‘jalan’ atau ‘cara’. Dao berisikan hukum  kesusilaan yang hendaknya ditaati serta pola pikir yang dapat mengembangkan kepribadian  setiap orang.

Tokoh Sie Jin Kwi dalam sepak-terjangnya melaksanakan ren dan li. Ia memiliki sifat  welas asih kepada sesama, tanpa membedakan pangkat. Dalam perjalanan pulang ke desanya  karena ia ditolak oleh Thio Su Kwi (pejabat kerajaan yang ditugaskan untuk melakukan  seleksi penerimaan prajurit kerajaan Tong Tya) menjadi prajurit kerajaan Tong Tya, Sie Jin  Kwi menolong bangsawan yang dirampok oleh tiga begal. Ketiga begal tersebut kalah, dan  sang bangsawan memberikan putrinya kepada Sie Jin Kwi untuk diperistri. Sie Jin Kwi  menolak pemberian tersebut, karena ia sudah menikah deng Lyu Kim Hwa. Setelah  penolakan kedua, Sie Jin Kwi yang kecewa, dalam perjalanan pulang menolong Thia Ko  Kim, penasihat Kaisar Li Si Bin, yang diserang harimau. Ketika harimau berhasil dihalau  pergi, Sie Jin Kwi mendapatkan katebelece (catatan dari pejabat) dari Thia Ko Kim untuk  diberikan kepada Thio Su Kwi, yang isinya bahwa Sie Jin Kwi diterima sebagai prajurit  kerajaan atas jasanya menyelamatkan Thia Ko Kim.

Tokoh Sie Jin Kwi selalu mendapatkan fitnah dari Thio Su Kwi yang licik, culas, dan  serakah. Sebagai pejabat, sangatlah mudah baginya untuk membuat laporan palsu kepada  Kaisar Li Si Bin. Banyak benteng atau kerajaan kecil yang berhasil takluk kepada Kerajaan  Tong Tya berkat perjuangan Sie Jin Kwi. Akan tetapi dengan menempatkan Sie Jin Kwi  sebagai tukang masak di dapur dan ancaman bahwa Sie Jin Kwi adalah orang yang dicari

Kaisar Li Si Bin untuk dibunuh, maka setiap memenangkan perang atas berbagai benteng, Sie  Jin Kwi selalu cepat-cepat kembali ke dapur untuk bertugas sebagai juru masak. Sementara  itu, Thio Su Kwi melaporkan kepada Kaisar Li Si Bin, bahwa menantunya Ho Cong Hian  telah berhasil menaklukan musuh. Dengan gembira, Kaisar Li Si Bin memberikan  penghargaan kepada Ho Cong Hyan atas jasa-jasanya. Hingga suatu hari, penipun Thio Su  Kwi terungkap, dan ia pun dihukum dibakar di dalam sebuah lonceng berukuran besar. Sie  Jin Kwi pun berhak atas jabatan Senapati Perang Kerajaan Tong Tya. Setiap individu  memiliki ‘jalan’ dan ’cara’ masing-masing untuk mencapai titik kebajikan.

8. Penutup

Wabah dan bencana yang diangkat sebagai tema dalam BWCF ini bukan sekedar  wabah atau bencana yang membawa korban manusia dan lingkungan. Pengertian dan  pemaknaan istilah wabah dan bencana dalam pembahasan Wayang Potehi ini mendapatkan  perluasan makna. Wabah dan bencana juga membawa akibat untuk kehancuran makro

kosmos dan mikro-kosmos. Alam semesta, bumi, dan manusia tidak lagi mendapatkan  kehidupannya. Sumber wabah dan bencana pun dapat berbentuk serangan penyakit yang  menyerang fisik, penyakit hati atau peristiwa alam yang maha dahsyat di luar prediksi  manusia.

Bencana dalam Wayang Potehi tergambar dalam lakon Sie Jin Kwi, seorang ksatria  kerajaan Tong Tya. Bencana yang dihadapi para tokoh dalam kisah Sie Jin Kwi ini bersifat  bencana kemanusiaan yang terkait dengan nilai-nilai moral dan budi pekerti. Tokoh Sie Jin  Kwi yang jujur, welas asih, memiliki keahlian menggunakan senjata, loyal dan setia, suka  menolong berhadapan dengan tokoh-tokoh yang memiliki watak dan sifat iri, dengki,  serakah, pemarah, yang bertolak belakang dengan sifat Sie Jin Kwi. Hwan Le Hwa yang  diutus gurunya untuk menjalani takdirnya sebagai istri Sie Teng San, mengalami situasi  kejiwaan perempuan tangguh atau kstaria perempuan yang tidak mudah. Sebagai ksatria  perempuan yang berilmu tinggi, dia direndahkan oleh Sie Teng San. Berbagai bencana hati  dialaminya, sampai dia pulang ke rumahnya untuk sekedar diam dan introspeksi diri. Atas  perintah Raja Muda Sie Jin Kwi yang sudah tua, Hwan Le Hwa dijemput untuk kembali ke  kerajaan Tong Tya dengan tugas baru sebagai Panglima Perang. Hwan Le hwa adalah  gambaran seorang Ibu Pertiwi yang berhasil mengusir bencana musuh dan meraih kejayaan  kerajaan Tong Tya.

Bencana yang muncul dalam kisah Sie Jin Kwi merupakan bencana perang konflik  batin. Bencana terbagi dalam 2 bagian. Yakni 1) Bencana lahir/fisik berupa perang adu  senjata atau jurus sakti sehingga menimbulkan korban (perorangan maupun  kelompok/rakyat/prajurit); 2) Bencana batin (konflik batin) yang jika tidak dapat dikelola  dengan baik akan menghasilkan kemenangan atau kehancuran untuk diri pribadi. Setiap  bencana, baik lahir maupun batin, selalu melahirkan sebuah pencerahan atau pembaruan. Pandemi covid-19 melahirkan tatanan kehidupan baru.

Depok, Pertengahan Oktober 2020

DWM

 

 

 

Referensi

Andri Wang. 2011. The Wisdom of Confucius. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. Claudine Salmon. 1987. Literary Migrations: Traditional Chinese Fiction in Asia (17-20th Centuries). Beijing, The Foreign Language.

Dwi Woro Retno Mastuti. 2014. “Wayang Potehi: Chinese Peranakan Performing Arts in  Indonesia” dalam Puppetry for All Times. Ghulam Sarwar Yousof (ed.). Singapore,  Partridge Publishing.

Dwi Woro Retno Mastuti. 2014. Wayang Potehi Gudo: Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa di Indoneisa. Jakarta, Penerbit Sinar Harapan.

Dwi Woro Retno Mastuti. 2017. “Kesatria Sie Jin Kwie dalam Lakon Wayang Potehi” dalam  Bunga Rampai Wayang: Latihan Berbasis Neuroplastisitas dan Revolusi Mental. Dwi Woro RM, Jusuf Sutanto, Darmoko (ed.). Jakarta, Penerbit Universitas  Indonesia. Hlm. 41-60.

Dwi Woro Retno Mastuti. 2017. “The Sublimation Power of Hwan Le Wah: The Study of  Chinese-Javanese Women and Its Relevance in Socio-Environment Harmony” dalam  Journal IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. Vol. 175. 24 Juli  2018.

Dwi Woro Retno Mastuti, Ari Anggari, Afriadi, Yi Ying. 2018. Mozaik Budaya Peranakan Tionghoa di Indonesia. Jakarta, Aspertina.

Edi Sedyawati. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta, Penerbit Sinar Harapan. Hirwan Kuardhani. 2011. Toni Harsono: Maecenas Potehi dari Gudo. Yogyakarta, Isacbook. Ivan Taniputera. 2007. History of China. Yogyakarta, Penerbit A-Ruzz Media. James Dananjaya. 1984. Folklore Indonesia. Jakarta, Grafiti Press.

Julianti Parani. 2011. Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik Budaya. Jakarta, Penerbit  Nalar.

Kaori Fushiki & Robin Ruizendaal (ed.). 2016. Potehi: Glove Puppet Theatre in Southeast  Asia and Taiwan. Taiwan. Taiyuan Publishing.

Lu Hsun. 1959. A Brief History of Chinese Fiction. Peking, Foreign Languages Press. Lono Simatupang. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta,  Jalasutra.

Oto Suastika (Siauw Tik Kwie). 1984. Sie Djin Koei Ceng Tang (9 Jilid) & Sie Djin Koei  Ceng See (6 Jilid). Jakarta, Penerbit Gabungan Tridharma Indonesia.

Umar Kayam. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta, Penerbit Sinar Harapan.

S. Sasramijaya. Narpawandana Surakarta, Jilid 2, Februari 1938. Pangayoman Sahandhap Sampeyan Dalem Ingkang SinuhunIngkang Minulya Saha Wicaksana Kanjeng  Susuhunan. Narpawandana Surakarta, Jilid 2, Februari 1938.

Yanuardi G. Soebiono. 2013. Kumpulan Karya Militer Klasik: Seni Perang China. Jakarta,  PT Elex Media Komputindo.

 

 

1 Hirwan Kwardhani. Toni Harsono: Maecenas Potehi dari Gudo. Yogyakarta, Isacbook. 2011.

2 Diperkirakan wayang kaet berkembang di Bagan Siapi-api. Informasi ini diperoleh dari Bapak Prayitno (alm)  pengelola Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma (Desa Mas, Ubud, Bali) yang memiliki koleksi wayang kaet  dengan keterangan bahwa wayang tersebut berasal dari Bagan Siapi-api. Ketika saya menelusuri keberadaan  wayang kaet di Bagan Siapi-api (2016), tidak diperoleh informasi yang meyakinkan bahwa wayang kaet pernah  ada di Bagan Siapi-api.

3 Potehi: Glove Puppet Theatre in Southeast Asia and Taiwan. Kaori Fushiki and Robin Ruizendaal (ed.).  Taiyuan Publishing, Taiwan, 2016. Hlm. 2.

 

 

Makalah ini disampaikan pada Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ke-9 dengan tema  Bhumisodhana: Ekologi & Bencana dalam Refleksi Kebudayaan Nusantara. Diselenggarakan pada 19-23  November, 2020. Seminar Virtual.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...