Rekan lama Uwan, mantan menteri di era Orde
Baru, menghadapi problem sosial yang tidak mudah di pasca reformasi. Dalam
kehadirannya di berbagai forum, termasuk sekadar silaturahmi di helat
perkawinan handaitaulan, ia merasa mendapat tatapan sinis dan sindirian-sindiran
menyakitkan dari khalayak. Ada perasaan dirinya lebih hina dari hadirin karena
melekat cap sebagai bagian dari rezim Orde Baru di keningnya. Rezim Orde Baru
diposisikan sebagai wahana yang telah menyengsarakan rakyat Indonesia, membawa
bangsa kepada keterpurukan ekonomi dan kehancuran budaya.Sumber: Tabloid NOVA
Di tengah pemahaman jati diri sebagai sebuah entitas yang
merdeka dan memiliki sumber daya alam melimpah ruah, tak masuk akal rasanya
bila mesti menerima azab sebagai negara pengutang terbesar di dunia dan begitu
pedih dicemooh sebagai negara megakorupsi. Publik awam memandang seluruh
kesalahan harus ditimpakan kepada mereka, para pejabat di masa Orde Baru. Kalau
perlu harus dipertanggungjawabkan sampai ke tingkat anak cucunya.
Namun rekan Uwan yang kesehariannya bersahaja ini tetap
tegar dan selalu tegak kepala. Satu hal yang membanggakan Uwan, bahwa selama ia
menjabat gaya hidupnya tak mencirikan pejabat yang korupsi. Menjadi menteri
beberapa kali tidak membuat ia menjual integritas moralnya untuk sekadar
menumpuk harta kekayaan. Buktinya, waktu pensiun ia malah tak memiliki rumah
pribadi barang sebuah pun. Kehidupannya dalam dunia pergerakan sejak mahasiswa
eksponen Angkatan ‘66, membuatnya seakan melupakan apa saja bentuk kepemilikan
pribadi.
Ia tabah dengan predikat mantan pejabat Orde Baru dan
bangga dengan keyakinannya bahwa setelah meletusnya G 30 S PKI tak ada orang
yang bukan Orde Baru. Karena logikanya, kalau ada orang yang bukan Orde Baru,
maka pasti ia PKI atau berbau komunis. Jadi pada fase setelah ditumpasnya
gerakan pemberontakan tahun 1965 itu, harusnya semua orang ada di pihak Orde
Baru. Lagi pula, karena merasa tidak melakukan kesalahan individual, tidak
merasa ikut menyengsarakan siapa saja, kenapa ia harus takut dan terhina karena
cap Orde Baru.
Dengan logika itu, ia selalu memaafkan siapa saja yang
melecehkan dirinya sekeluarga di mana pun. Ia tetap merasa tenteram karena
menurutnya apa yang dialami itu masih belum apa-apa dibandingkan dengan mantan
Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela.
Suatu hari ia berkunjung ke penjara di Robben Island,
pulau terpencil tempat Nelson Mandela
pernah mendekam selama 27 tahun. Hari-hari rutin yang harus dilalui
Mandela berupa pembenaman dirinya ke dalam pasir sampai batas kepala saja yang
tinggal di permukaan. Rutin pula kepala penjara berkulit putih mengencingi
kepala Mandela, bahkan sampai beberapa kali sehari.
Kelak waktu akan dilantik menjadi presiden, Mandela
meminta panitia untuk mengundang sang kepala penjara yang kebetulan masih hidup
dan sudah pensiun. Sudah tampak tua dan sakit-sakitan, tapi dapat dihadirkan
dan didudukkan di jajaran tamu kehormatan. Mandela memperlakukan bekas kepala
penjaranya sebagai orang terhormat serta melupakan dendam masa lalu.
Tak ada sakit hati, tak ada yang perlu dibalas impas.
Mandela malah menawarkan rekonsilasi sebagai pengganti pembalasan dendam.
Tampaknya permintaan maaf dan penegasan maaf justru memperjelas bahwa memang
ada dosa, ada kekejaman dan ada nista kemanusiaan. Maaf sendiri bukan
penghapusan dosa masa lalu, ia adalah penegasan bahwa dosa itu jelas ada dan
dilakukan.
Tapi, hidup memang harus berangkat dari waktu ke waktu.
Apapun kondisinya, luka yang dalam dan begitu perih, trauma berkepanjangan,
rasa kehilangan dan terebutnya kebahagiaan adalah dinamika yang harus diterima.
Namun hidup harus berlangsung.
Tapi selain itu, juga ada harapan. Melalui harapan yang
makin membesar itulah masa depan harus dijelang. Masa lalu akan sirna seiring
berjalannya kehidupan.
Pintu maaf yang terbuka, seperti dicerminkan oleh Mandela
sangat menginspirasi rekan Uwan dalam menjalani masa pensiunnya di Jakarta.
Kini dan tentu hari-hari mendatang. Uwan sangat respek dengan cara pandang itu
sehingga kalau sedang ke Jakarta Uwan berusaha mampir bersilaturahmi ke
rumahnya. Kami berdiskusi tentang masa depan seharusnya dari republik ini serta
skenario optimis apa yang bisa diketengahkan untuk menjadi langkah-langkah aksi
konstruktif. Sungguh, melepaskan dahaga di tengah kelesuan dan kekacauan tata
pikir mayoritas anak bangsa.
Dalam wacana publik yang mencuat beberapa bulan lalu
tentang pemberian abolisi kepada mantan Presiden Orde Baru Suharto, terlihat
ada pro dan kontra. Ini wajar saja di negara demokrasi. Namun dalam
silatrurahmi Uwan Sabtu kemarin, mantan menteri teman baik itu memposisikan
dirinya sebagai pihak yang mendukung kebijakan abolisi. Abolisi menurutnya
manusiawi untuk Suharto, yang telah berjasa menumpas gerakan komunis Indonesia.
Kebijakan abolisi itu perlu didukung mengingat umur
Suharto sudah 80 tahun lebih, mengalami sakit permanen sehingga perlu
dimaafkan. Namun kroninya, yang rakus menikmati buah perjuangan Orde Baru
secara tidak masuk akal, perlu digasak sampai maksimal. Kalau perlu tuntas
setuntas-tuntasnya.
Tradisi memaafkan perlu dibangun sebagai bagian dari nation
and character building bangsa kita, karena kita tak mungkin berputar-putar
terus di masalah ini berlama-lama. Memaafkan akan membuat kita segera bisa
menyatupadukan seluruh komponen bangsa untuk mengakhiri berbagai krisis.
Melihat kaca spion tetap perlu, tapi memasukkan persneiling,
menekan gas dan menatap ke depan jauh lebih penting.
Bila demikian, kita bisa mulai melangkah maju membangun
bangsa menuju tujuan luhur sebagaimana diamanahkan oleh konstitusi. Rasa
optimis akan memaknai setiap tindakan karena tidak lagi dibebani oleh pikiran
bertrauma masa lalu. Hal itu akan membuat kita bersemangat meningkatkan
kualitas produk-produk bangsa untuk segera mengejar ketertinggalan dari
bangsa-bangsa lain.
Masa lalu tetap penting untuk diambil hikmahnya, tapi
menyusun skenario masa datang tanpa ada beban psikologis tentulah tentu akan
lebih mangkus-produktif, dan jelas bergizi. Uwan tetap yakin, bangsa ini punya
banyak kesempatan untuk segera memulai kiprahnya dalam membangun dari sisa sisa
kesalahan masa lalu. Seberapa buruk pun masa lalu itu, ia hanyalah kenangan
yang lambat laun akan hilang dari ingatan. Berjalannya waktu akan memupus sirna
semua kepedihan yang pahit itu. Anak
bangsa, segeralah memaafkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar