Jumat, 15 Maret 2024

Tradisi Memaafkan

 

Sumber: Tabloid NOVA
Rekan lama Uwan, mantan menteri di era Orde Baru, menghadapi problem sosial yang tidak mudah di pasca reformasi. Dalam kehadirannya di berbagai forum, termasuk sekadar silaturahmi di helat perkawinan handaitaulan, ia merasa mendapat tatapan sinis dan sindirian-sindiran menyakitkan dari khalayak. Ada perasaan dirinya lebih hina dari hadirin karena melekat cap sebagai bagian dari rezim Orde Baru di keningnya. Rezim Orde Baru diposisikan sebagai wahana yang telah menyengsarakan rakyat Indonesia, membawa bangsa kepada keterpurukan ekonomi dan kehancuran budaya.

Di tengah pemahaman jati diri sebagai sebuah entitas yang merdeka dan memiliki sumber daya alam melimpah ruah, tak masuk akal rasanya bila mesti menerima azab sebagai negara pengutang terbesar di dunia dan begitu pedih dicemooh sebagai negara megakorupsi. Publik awam memandang seluruh kesalahan harus ditimpakan kepada mereka, para pejabat di masa Orde Baru. Kalau perlu harus dipertanggungjawabkan sampai ke tingkat anak cucunya.

Namun rekan Uwan yang kesehariannya bersahaja ini tetap tegar dan selalu tegak kepala. Satu hal yang membanggakan Uwan, bahwa selama ia menjabat gaya hidupnya tak mencirikan pejabat yang korupsi. Menjadi menteri beberapa kali tidak membuat ia menjual integritas moralnya untuk sekadar menumpuk harta kekayaan. Buktinya, waktu pensiun ia malah tak memiliki rumah pribadi barang sebuah pun. Kehidupannya dalam dunia pergerakan sejak mahasiswa eksponen Angkatan ‘66, membuatnya seakan melupakan apa saja bentuk kepemilikan pribadi.

Ia tabah dengan predikat mantan pejabat Orde Baru dan bangga dengan keyakinannya bahwa setelah meletusnya G 30 S PKI tak ada orang yang bukan Orde Baru. Karena logikanya, kalau ada orang yang bukan Orde Baru, maka pasti ia PKI atau berbau komunis. Jadi pada fase setelah ditumpasnya gerakan pemberontakan tahun 1965 itu, harusnya semua orang ada di pihak Orde Baru. Lagi pula, karena merasa tidak melakukan kesalahan individual, tidak merasa ikut menyengsarakan siapa saja, kenapa ia harus takut dan terhina karena cap Orde Baru.

Dengan logika itu, ia selalu memaafkan siapa saja yang melecehkan dirinya sekeluarga di mana pun. Ia tetap merasa tenteram karena menurutnya apa yang dialami itu masih belum apa-apa dibandingkan dengan mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela.

Suatu hari ia berkunjung ke penjara di Robben Island, pulau terpencil tempat Nelson Mandela  pernah mendekam selama 27 tahun. Hari-hari rutin yang harus dilalui Mandela berupa pembenaman dirinya ke dalam pasir sampai batas kepala saja yang tinggal di permukaan. Rutin pula kepala penjara berkulit putih mengencingi kepala Mandela, bahkan sampai beberapa kali sehari.

Kelak waktu akan dilantik menjadi presiden, Mandela meminta panitia untuk mengundang sang kepala penjara yang kebetulan masih hidup dan sudah pensiun. Sudah tampak tua dan sakit-sakitan, tapi dapat dihadirkan dan didudukkan di jajaran tamu kehormatan. Mandela memperlakukan bekas kepala penjaranya sebagai orang terhormat serta melupakan dendam masa lalu.

Tak ada sakit hati, tak ada yang perlu dibalas impas. Mandela malah menawarkan rekonsilasi sebagai pengganti pembalasan dendam. Tampaknya permintaan maaf dan penegasan maaf justru memperjelas bahwa memang ada dosa, ada kekejaman dan ada nista kemanusiaan. Maaf sendiri bukan penghapusan dosa masa lalu, ia adalah penegasan bahwa dosa itu jelas ada dan dilakukan.

Tapi, hidup memang harus berangkat dari waktu ke waktu. Apapun kondisinya, luka yang dalam dan begitu perih, trauma berkepanjangan, rasa kehilangan dan terebutnya kebahagiaan adalah dinamika yang harus diterima. Namun hidup harus berlangsung.

Tapi selain itu, juga ada harapan. Melalui harapan yang makin membesar itulah masa depan harus dijelang. Masa lalu akan sirna seiring berjalannya kehidupan.

Pintu maaf yang terbuka, seperti dicerminkan oleh Mandela sangat menginspirasi rekan Uwan dalam menjalani masa pensiunnya di Jakarta. Kini dan tentu hari-hari mendatang. Uwan sangat respek dengan cara pandang itu sehingga kalau sedang ke Jakarta Uwan berusaha mampir bersilaturahmi ke rumahnya. Kami berdiskusi tentang masa depan seharusnya dari republik ini serta skenario optimis apa yang bisa diketengahkan untuk menjadi langkah-langkah aksi konstruktif. Sungguh, melepaskan dahaga di tengah kelesuan dan kekacauan tata pikir mayoritas anak bangsa.

Dalam wacana publik yang mencuat beberapa bulan lalu tentang pemberian abolisi kepada mantan Presiden Orde Baru Suharto, terlihat ada pro dan kontra. Ini wajar saja di negara demokrasi. Namun dalam silatrurahmi Uwan Sabtu kemarin, mantan menteri teman baik itu memposisikan dirinya sebagai pihak yang mendukung kebijakan abolisi. Abolisi menurutnya manusiawi untuk Suharto, yang telah berjasa menumpas gerakan komunis Indonesia.

Kebijakan abolisi itu perlu didukung mengingat umur Suharto sudah 80 tahun lebih, mengalami sakit permanen sehingga perlu dimaafkan. Namun kroninya, yang rakus menikmati buah perjuangan Orde Baru secara tidak masuk akal, perlu digasak sampai maksimal. Kalau perlu tuntas setuntas-tuntasnya.

Tradisi memaafkan perlu dibangun sebagai bagian dari nation and character building bangsa kita, karena kita tak mungkin berputar-putar terus di masalah ini berlama-lama. Memaafkan akan membuat kita segera bisa menyatupadukan seluruh komponen bangsa untuk mengakhiri berbagai krisis. Melihat kaca spion tetap perlu, tapi memasukkan persneiling, menekan gas dan menatap ke depan jauh lebih penting.

Bila demikian, kita bisa mulai melangkah maju membangun bangsa menuju tujuan luhur sebagaimana diamanahkan oleh konstitusi. Rasa optimis akan memaknai setiap tindakan karena tidak lagi dibebani oleh pikiran bertrauma masa lalu. Hal itu akan membuat kita bersemangat meningkatkan kualitas produk-produk bangsa untuk segera mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain.

Masa lalu tetap penting untuk diambil hikmahnya, tapi menyusun skenario masa datang tanpa ada beban psikologis tentulah tentu akan lebih mangkus-produktif, dan jelas bergizi. Uwan tetap yakin, bangsa ini punya banyak kesempatan untuk segera memulai kiprahnya dalam membangun dari sisa sisa kesalahan masa lalu. Seberapa buruk pun masa lalu itu, ia hanyalah kenangan yang lambat laun akan hilang dari ingatan. Berjalannya waktu akan memupus sirna semua kepedihan yang pahit itu.  Anak bangsa, segeralah memaafkan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...