Jumat, 08 Maret 2024

Tari Sanghyang Dedari dan Tari Sakral Lainnya

OLEH I Made Bandem




Pendahuluan

Salah satu dari kesenian Bali yang berakar pada kebudayaan Pra-Hindu adalah tari Sanghyang. Tari ini masih hidup sampai sekarang. Kini dapat dijumpai kurang lebih 55  macam tari Sanghyang. Tarian tersebut banyak terdapat di desa-desa pegunungan. Semua jenis tari Sanghyang terdiri atas dua sampai tujuh orang penari, dan biasanya mereka dapat  mencapai kelinggihan atau kerauhan, kemasukan dewa-dewi, roh para leluhur atau roh-roh  lainnya.

Kelinggihan itu dapat dicapai dengan panudusan, menghirup asap kemenyan, menyanyikan lagu sakral dan meditasi dengan rasa kebaktian yang mendalam. Ketika  penari Sanghyang itu kemasukan roh-roh, mereka mengadakan interaksi dengan para  penonton atau dengan penari Sanghyang lainnya. Di beberapa daerah Sanghyang itu  berbicara sebagai “wahyu.”

Sejarah Sastra

Sebagai sebuah tari yang merupakan sisa-sisa dari kebudayaan pra-Hindu, Sanghyang  diklasifikasikan sebagai tari Wali. Tari Wali ialah sebuah bentuk tari yang bersifat sakral, dipentaskan dalam upacara keagamaan dan berlangsung di tempat yang paling sakral  disebut jeroan pura atau utama mandala. Sanghyang dianggap sebagai pelaksana upacara  agama dan tidak memakai lakon. Bersifat komunal dan partisipasi yang tinggi, serta setiap  orang dapat terlibat di dalamnya. Anggota masyarakat yang mengikuti upacara Sanghyang  tiba-tiba ikut trance atau kelinggihan bersama para penari Sanghyang.

Catatan yang paling tua mengenai tarian Bali terdapat dalam sebuah prasasti yang  dinamakan prasasti Bebetin berangka tahun 896 M. Dalam prasasti itu disebut partapukan (tarian topeng), parbwayang (pertunjukan wayang), pabunjing (penari), abanwal (tarian badut). Sampai saat ini belum diketahui secara pasti bagaimana wujud tari-tarian itu, baik  dari segi bentuk maupun penampilannya.

Prasasti itu dibuat pada zaman pemerintahan Kesari Warmadewa, seorang raja keturunan  Raja Sailendra dari Jawa Tengah yang memerintah Bali pada tahun 882-912 Masehi  (Goris, 1954: 55).

Mengenai tari trance terdapat dalam sebuah lontar yang berjudul “Usana Bali dan Usana  Jawa,” sebuah hasil karya sastra yang dikarang oleh Danghyang Dwijendra (Danghyang  Nirarta) tahun 1550 (Abad ke-16) di Gelgel Klungkung. Dalam naskah itu disebutkan bahwa Sang Kulputih, seorang penghulu agama di Pura Besakih mempersembahkan  sebuah tarian sakral untuk sempurnanya sebuah upacara Odalan itu.

Para dewa-dewi  merasuki para penarinya dan menyebabkan penari-penari kelinggihan. Tari itu disebut  Wewalen. Kini karena perkembangan zaman tari Wewalen itu berkembang menjadi tari  Wali, Bebali, dan Balih-balihan (Dinas Pendidikan Kebudayaan Propinsi Bali, 1986: 66).

Tutur Barong Swari

Berkaitan dengan wabah dan penolakannya, lontar “Barong Swari” menyinggung  terjadinya Tari Barong, dimana diceritakan pada waktu Bhatari Uma dikutuk oleh Bhatara  Guru turun ke dunia menjadi Durga-Dewi, maka lalu Bhatari Durga “Melakukan Yoga.” Waktu beliau beryoga menghadap ke utara, maka beliau menciptakan “Gering Lumintu”  (wabah penyakit). Waktu beliau beryoga menghadap ke barat timbul “Gering Hamancuh” Waktu beliau beryoga menghadap ke selatan timbul “Gering Rug Buana” Waktu beliau  beryoga menghadap ke timur terjadilah “Gering Utah Bayar” (muntah-berak). 

Dengan timbulnya bermacam-macam penyakit itu, maka terancamlah dunia dari mara  bahaya, hal ini menimbulkan belas kasihan dari Sang Hyang Tri Murti, lalu ketiganya  turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia dan seisinya dari kehancuran. Bhatara Brahma  turun menjadi Topeng Bang. Bhatara Wisnu turun menjadi Telek. Bhatara Iswara (Siwa)  turun menjadi Barong (Lihat juga Ketut Sudarsana, dkk, 2013: 75).

Pada setiap kesempatan dimana para bhuta kala dan jenis-jenis penyakit itu berkumpul  disanalah beliau menari, yang menyebabkan takut dan larilah semua bhuta kala dan  penyakit itu tunggang langgang. Dengan demikian terhindarlah umat manusia dari bencana  penyakit.

Kisah Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling

Pada suatu hari yang sangat cerah, Bhatara Siwa dan istrinya, Dewi Uma beranjangsana di  Selat Badung, antara Pulau Bali, Pulau Nusa Penida. Beliau berdua menaiki lembu Nandini  yang bisa terbang. Menjelang sampai di atas Pulau Nusa Penida, Bhatara Siwa  berkeinginan keras untuk bersanggama dengan istrinya. Dewi Uma menolak, dan akhirnya  sperma Bhatara Siwa berceceran di tengah laut. Sperma itu menjadi suatu gumpalan dan  berselang beberapa waktu gumpalan darah putih itu lahir menjadi seekor Raksasa yang  hebat dan ganas.

Suatu malam Raksasa itu meraung dengan kerasnya dan menanyakan kepada orang-orang  sekitarnya siapa ayah dan ibunya. Tak seorangpun mengenal orang tua Raksasa itu. Karena  raungan keras itu mengganggu orang-orang di malam hari, datanglah Bhatara Brahma dari  selatan dan Bhatara Mahadewa dari barat untuk meminta agar Raksasa itu tidak meraung  keras-keras. Raksasa itu marah dan terus menanyakan ibu dan bapaknya. Brahma dan  Mahadewa sangat marah dan langsung menyerangnya. Tapi serangan itu gagal dan kedua  dewa itu meninggalkan tempatnya. Brahma dan Mahadewa menghadap Bhatara Wisnu  untuk membantunya. Bhatara Wisnu datang dari utara dengan senjata cakranya. Beliau  memanah Raksasa itu dan Raksasa itu makin mengganas dan menyerang Bhatara Wisnu.

Akhirnya Bhatara Wisnu mendatangi Bhatara Siwa untuk meminta bantuan agar Raksasa  itu berhenti meraung dan mengamuk. Bhatara Siwa datang dari stananya dan bertemu  dengan Raksasa ganas itu. Bhatara Siwa menanyakan kenapa dia mengamuk, meraung, dan  mengganggu keamanan para dewa yang sedang bersemadi.

Raksasa itu meminta Bhatara  Siwa untuk menjelaskan siapa ibu dan bapaknya. Bhatara Siwa tahu benar bahwa kesaktian  dari Raksasa itu terletak pada taringnya. Bhatara Siwa meminta agar Raksasa itu bersedia  taringnya dipotong dan Bhatara Siwa akan mengakui dia sebagai putranya. Tidak berfikir  panjang lagi, Raksasa itu mengijinkan Bhatara Siwa untuk memotong taringnya. Bhatara  Siwa juga memberi tahu bahwa ibu dari Raksasa itu adalah Dewi Uma, dan ayahnya  adalah Bhatara Siwa sendiri. 

Raksasa itu sangat senang hatinya. Bhatara Siwa meminta Raksasa untuk berstana di Nusa  Penida, di sebuah Pura bernama Pura Dalem Peed yang berada di dekat Laut, Selat Bali  dan Selat Nusa Penida. Raksasa itu pun diberi nama oleh ayahnya, yaitu Ratu Gede Mas

Mecaling. Ratu Gede Mas Mecaling ditugaskan untuk mengawasi orang Bali agar tetap  melakukan upacara yadnya dan takwa kepada Ida Hyang Widhi. Jika tidak, Ratu Gede Mas Mecaling memiliki kewenangan untuk memangsanya. Ratu Gede Mas Mecaling juga  diberi rakyat atau bregala berupa bhuta-bhuti yang banyak jumlahnya. Bhuta-bhuti itu  memiliki kekuatan untuk menciptakan wabah jika orang Bali tidak taat kepada agamanya. 

Bhatara Siwa mengijinkan Ratu Gede Mas Mecaling dan bregalanya untuk datang ke Bali  setiap sasih ke-5 dan ke-6 yaitu pada bulan November dan Desember. Sebaliknya Bhatara  Siwa juga mengingatkan kepada para Raja dan rakyat Bali bahwa setiap bulan November  dan Desember patut membuat sesajen caru yang diletakkan di depan rumah dalam sebuah  tempat yang dinamakan sanggah cerucuk. Di depan sanggah cerucuk itu juga diletakkan  sebidang daun pandan yang berisi rerajahan tentang Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa agar  masyarakat tidak diganggu oleh para bregala yang menyebarkan wabah penyakit.

Jika  ternyata lupa, Ratu Gede Mas Mecaling dan para bregala itu akan menyebarkan wabah,  berupa kolera, desentri, dan cacar. Untuk mengusir bragala itu masyarakat Bali diminta  untuk mementaskan tari Wali (Upacara) seperti Sanghyang, Baris Gede, Sutri dan Rejang  (Lihat juga Nala, 1996: 175).

Usada Kecacar

Ketika diadakan musyawarah para dewa di Swargaloka, tersebutlah Bhagawan Wraspati  dan Bidadari Nilotama. Pada saat pertemuan itu berlangsung, rupa-rupanya antara  Bhagawan Wraspati dan Bidadari Nilotama terjadi saling mengerling. Hal itu diketahui  oleh Bhatara Siwa yang menganggap perbuatan itu tidak pada tempatnya. Oleh karena itu,  Bhatara Siwa mengusir mereka berdua untuk pergi ke Madyaloka, dengan syarat apabila  mereka nanti sudah mempunyai anak boleh kembali ke Swargaloka.

Di Madyaloka keduanya menjadi suami istri dan mempunyai anak tak terhitung jumlahnya  yang disebut “dakang,” antara lain bernama Luh Lempeni, Bubuk, Beruang, Guling,  Tembaga, Sukun, Kekarangan, Besi dan lain-lainnya.

Setelah kutukan itu berakhir, Bhagawan Wraspati dan Nilotama bermaksud kembali ke  Swargaloka. Mengetahui hal itu para dakang bertanya, jika mereka ditinggal di Madyaloka,  apa yang dimakannya nanti. Akhirnya Bhagawan Wraspati memutuskan bahwa anak-

anaknya boleh menyebarkan wabah cacar dengan jalan menyusupi badan manusia. Tetapi  waktunya terbatas pada sasih ke-lima atau ke enem (bulan November dan Desember),  karena setelah itu mereka akan dikalahkan oleh Sanghyang Dedari. Setelah ditinggalkan  oleh kedua orang tuanya, para dakang itu dipelihara oleh Bhatari Durga. Bila sasih ke lima  dan ke enam itu tiba, mulailah para dakang itu menyebarkan penyakit. Saat itu pulalah  anggota masyarakat mengadakan upacara Sanghyang Dedari, karena tarian itu merupakan  perwujudan para widyadari dan memiliki kekuatan gaib untuk memberantas wabah  penyakit itu (Wawancara I Made Kredek, 1976). 

Pertunjukan tari Sanghyang sangat beraneka ragam wujudnya, masing-masing memiliki  unsur improvisasi sesuai dengan pola budaya yang berkembang di sekitarnya. Tipe  kerauhan itu juga amat berbeda yang satu dengan yang lainnya. Sanghyang itu menari  sesuai dengan gerak-gerak roh yang memasukinya. Roh-roh itu mengendalikan penari  sanghyang tersebut. Keanekaragaman wujud gerak Sanghyang itu tergantung pula dari  jenis dan lokasinya.

Jenis-jenis tari Sanghyang meliputi Sanghyang Dedari (Sanghyang Widyadari), Sanghyang  Jaran (Sanghyang Kuda), Sanghyang Celeng (Sanghyang Babi), Sanghyang Lelipi  (Sanghyang Ular), Sanghyang Bojog (Sanghyang Kera), Sanghyang Penyalin (Sanghyang  Rotan), Sanghyang Deling (Sanghyang Boneka), Sanghyang Kuluk (Sanghyang Anak  Anjing), Sanghyang Sampat (Sanghyang Sapu), Sanghyang Penyu (Sanghyang Kura-kura),  Sanghyang Sembe (Sanghyang Lampu), Sangyang Memedi (Sanghyang Roh Halus),  Sanghyang Deling (Sanhyang Boneka Cili), Sanghyang Bungbung (Sanghyang Tabung  Bambu), Sanghyang Janger (Sanhyang Penari Janger), Sanghyang Cenkrong (Tabung  Bambu Penghembus Api), Sanghyang Penyalin (Sanghyang Rotan), Sanghyang Grodog (Sanghyang Diarak Cikar), Sanghyang Kebo (Sanghyang Kerbau), Sanghyang Busung  (Sanghyang Janur), Sanghyang Jangolan (Sanghyang Perau), Sanghyang Barong (Sanghyang Barong), Sanghyang Dukuh (Sanghyang Penghulu Desa), Sanghyang Bunga

(Sanghyang Bunga), Sanghyang Bangu-bangu (Sanghyang Bunga-bunga), Sanghyang  Tangkluk (Sanghyang Penghalang dari Galah), Sanghyang Kidang (Sanghyang Kijang), Sanghyang Totor (Sanghyang Cabang Kayu), Sanghyang Krekek (Sanghyang Orang  Tertawa), Sanghyang Lingga (Sanghyang Lingga Siwa), Sanghyang Joged (Sanghyang  Tari Joged), Sanghyang Sampi (Sanghyang Sapi), Sanghyang Dukuh Ngaba Cicing

(Sanghyang Kepala Desa Membawa Anjing), Sanghyang Dukuh Masang Bubu (Sanghyang Pembawa Alat Penangkap Ikan), Sanghyang Tiling-tiling (Sanhyang Burung), Sanghyang Enjo-enjo (Sanghyang Menari Naik Turun), Sanghyang Manjangan (Sanghyang Kijang), Sanghyang Tutut (Sanghyang Anak-anak), Sanghyang Kelor (Sanghyang Pohon Kelor), Sanghyang Sumbul (Sanghyang Sumbu), Sanghyang Payung  (Sanghyang Payung). Setiap tari Sanghyang mempunyai unsur pangelukatan, upacara 

pembersihan secara agama Hindu (Jane Belo, 1960: 202 dan Tambahan dari I Made  Bandem, 2020).

Untuk memperoleh dasar yang jelas mengenai tari Sanghyang, akan ditelaah Sanghyang  Dedari sebagai contoh kasus. Sanghyang Dedari merupakan salah satu dari Sanghyang  yang sudah dikenal di Bali dan hampir setiap orang mengenalnya. Walaupun kata  widyadari berasal dari Bahasa Sanskerta, unsur-unsur kebudayaan Hindu hanya sedikit  berpengaruh dalam tarian ini. Sanghyang Dedari merupakan perpaduan utama dari  masyarakat komunal dan memiliki unsur budaya yang sangat unik.

Dipandang dari perspektif etimologi bahwa istilah sanghyang dedari terdiri dari 3 buah  kata yaitu sang, hyang, dan dedari. Kata sang adalah kata sandang dalam Bahasa  Indonesia yang berarti terhormat, sedangkan kata hyang berarti dewa/dewi atau leluhur.  Kata dedari adalah sinonim dari Bahasa Sanskerta widyadari yang berarti bidadari. Sebagai suatu kesatuan kata Sanghyang Dedari berarti sebuah tari sanghyang yang  dituntun oleh bidadari dari kahyangan. Menurut sastra-satra klasik Bali, terdapat 7 orang  bidadari kahyangan yaitu Bidadari Supraba, Nilotama, Ken Sulasih, Gagar Mayang,  Gudita, Tunjung Biru, dan Aminaka.

Tidak berbeda dengan penari Brutuk dari Desa Trunyan, Kabupaten Bangli, penari  Sanghyang Dedari dipilih dari suatu kelompok tertentu dalam masyarakat. Dalam hal ini  penari Sanghyang Dedari dipilih dari anak-anak perempuan berumur antara sembilan dan  dua belas tahun. Empat atau lima diantara mereka bertugas sebagai penari Sanghyang  Dedari pada periode tertentu dan biasanya mereka berasal dari keluarga seorang pemangku  atau pemimpin upacara dalam agama Hindu. Di beberapa tempat telah menjadi kebiasaan  bahwa penari Sanghyang Dedari memilih penggantinya sebelum mereka berhenti menjadi  dari pengabdiannya. Penari Sanghyang Dedari bukan seniman yang memperoleh latihan sebelumnya, meskipoun secara tradisional, sebelum menjadi Sanghyang Dedari, mereka  tanggap dengan dengan tari-tarian sekelilingnya (I Made Bandem and Fredrik deBoer,  1995: 10).

Sudah menjadi kebiasaan bahwa Sanghyang Dedari merupakan milik sebuah pura atau  tempat persembahyangan dan penari-penari itu amat taat terhadap kewajiban mereka  sebagai abdi dari pura tersebut. Wanita-wanita itu dilarang melontarkan caci maki,  melakukan pekerjaan yang bersifat provan, dan tidak diperkenankan untuk berjalan di  bawah tali jemuran. Penari-penari Sanghyang Dedari itu bertugas untuk membersihkan  halaman pura, membantu pemangku untuk merpersiapkan sesajen, mempelajari lagu-lagu  vokal sakral, seperti gending-gending Sanghyang dan Kidung. 

Berbeda dengan tari lainnya di Bali, tari Sanghyang Dedari dipentaskan pada saat tertentu  dan tidak berhubungan dengan upacara keagamaan. Tari Sanghyang Dedari dipentaskan  jika diperlukan, khususnya pada saat berjangkitnya wabah penyakit. Jika sedang ada  wabah menjalar di suatu daerah di Bali, biasanya tari Sanghyang Dedari dipergelarkan  selama satu bulan sampai wabah penyakit itu lenyap. Setelah wabah penyakit itu terbasmi,  Sanghyang Dedari tidak dipertunjukkan sampai setahun kemudian. Musim dan geografi Pulau Bali menyebabkan alam ini mudah menjadi mangsa epidemi, dan hal ini sudah  diwariskan sejak dahulu kala.

Tari Sanghyang Dedari biasanya dipertunjukkan pada malam hari dan upacara dimulai dari  jeroan pura atau utama mandala, tempat paling sakral dari sebuah tempat  persembahyangan. Seluruh masyarakat pendukungnya menyaksikan pementasan itu,  bahkan mereka terlibat di dalamnya. Pada permulaan upacara Sanghyang Dedari, para  penonton duduk dengan tenang di halaman pura di muka sebuah pelinggih utama.  Pemangku, penyanyi wanita sekelompok penari upacara lainnya ditempatkan di depan

pelinggih, termasuk mereka yang telah dipingit menjadi penari Sanghyang Dedari.

Struktur Pertunjukan

Upacara Penudusan

Bagian pertama pertunjukan ini disebut panudusan. Selama periode panudusan para leluhur  diundang untuk turun ke bumi, sementara para penari Sanghyang Dedari menghirup bau wangi-wangian dari pasepan kemenyan. Di samping kemenyan bahan-bahan panudusan itu  terdiri dari kayu majagau, cendana, dan nagasari. Semua pohon ini dianggap pohon-pohon  suci oleh masyarakat Bali. Bahan-bahan dari pohon suci ini jika dibakar menimbulkan bau  yang sangat harum, bisa menyebabkan para penari Sanghyang Dedari itu mabuk dan  mempercepat proses kelinggihan

Mereka duduk bersimpuh di hadapan seorang pemangku yang sedang mempersembahkan  sesajen kepada para leluhur yang diundang turun. Pemangku tadi juga mengawasi pasepan  api unggun yang telah disediakan sebelumnya. Penyanyi wanita (Juru Kidung)  menyanyikan lagu-lagu Sanghyang Dedari dengan ikhmad sehingga mengembangkan  suasana yang mendorong turunnya para leluhur. Lagu-lagu yang digunakan unuk  mengiringi proses panudusan ini disebut lagu Kembang Jenar. Tari Sanghyang Dedari  biasanya menggunakan 5 stanza nyanyian kembang jenar yang umumnya mengisahkan  berbagai jenis bunga sebagai sesaji untuk mengundang para bidadari yang diinginkan.  Deskripsi berikutnya ialah mengutarakan kehadiran bidadari di bumi dengan busana yang  serba indah, memakai gelang dan kelad bau dari emas, dan kain prada berwarna kuning  keemasan. Berikut ini 2 bait dari lagu kembang jenar yang digunakan pada saat panudusan.

Gending Kembang Jenar, Laras Slendro.

Kembang Jenar 

Mangundang-ngundang dedari agung

Dane becik-becik undang

Sang supraba tunjung biru.

Bunga kuning

Mengudang bidadari agung

Yang baik-baik diundang

Sang supraba dan Sang Tunjung Biru

Tunjung biru

Mangrangsuk-ngrangsuk simping emas

Mesat miber magegana

Panganggone baju simping emas

Mesat miber magegana

Sang Tunjung Biru

Menggunakan kelad bahu dari emas

Cepat terbang ber-putar putar

Busananya baju berkelad bahu emas

Cepat terbang ber-putar-putar

Tari Sanghyang Dedari sejenis yang dipertunjukkan di Kintamani, diragakan dengan  sebuah pratima (boneka) yang digantung di hadapan dua orang penari wanita. Sanghyang  itu menari karena getaran dari boneka tersebut selama upacara panudusan. Tari Sanghyang  itu disebut Sanghyang Deling.

Jika para bidadari atau leluhur berkenan turun, setelah setengah jam atau lebih, penari  Sanghyang Dedari akan jatuh di lantai dalam suatu keadaan yang disebut kelinggihan atau  kerauhan. Dengan mata tertutup mereka bergerak ke samping dan ke belakang, dibantu  oleh penari wanita lebih tua yang bersama-sama mengikuti upacara tersebut. Pemangku  membersihkan muka penari itu dengan kain putih oleh karena keringat mereka yang sangat  deras. Mereka percaya bahwa leluhur itu telah turun ke bumi dan memasuki badan penari  Sanghyang Dedari. Kemudian, pemangku atau pemimpin upacara meminta mereka  berbicara. Dengan nada yang tinggi, suara ketat dan nervous, serta berbeda dengan pola  suara biasa, para leluhur mulai berbicara pada pengikutnya. Jangan takut, pengiringku,  kami telah tiba sekarang dan pengobatan penyakit sudah di tangan kita. 

Mereka menguraikan preskripsi obat-obatan untuk mengusir wabah penyakit. Bahan obat obatannya terdiri atas daun-daunan, akar-akaran, kulit kayu, beras, rumput, tumbuh tumbuhan semak yang sejenis. Penari Sanghyang Dedari itu membagi gelang tangan  khusus untuk masyarakat pengikutnya dan harus dipakai selama berjangkitnya wabah  penyakit. Gelang tesebut dibuat dari benang dan uang kepeng, disebut tri datu. Air suci

juga disediakan oleh pemimpin upacara untuk dibagi-bagikan kepada seluruh masyarakat.

Saat kelinggihan (kemasukan roh) digunakan gending Ngalilir. 

Jika Sanghyang itu mulai kerauhan, penyanyi wanita yang sedang menyanyi gending gending Sanghyang Dedari yang disebut gending Ngalilir dan gending Marabangun, mulai  kerasukan dan mulai akan menari. Lagu-lagu itu menguraikan para bidadari mulai menari,  melakukan gerakan improvisasi sederhana, mengikuti alunan lagu, serta  menginterpretasikan lirik dari lagu itu untuk gerak tarinya. Sesudah berapa lama menari,  para penyanyi wanita berhenti dari tugasnya dan mereka diganti oleh penyanyi pria yang  disebut Cak. 

Gending Ngalilir. Laras Slendro. Digunakan saat kelinggihan.

Ngalilir dewa ngalilir

Yan tidong bangun mangigel.

Bangun dewa bangun

Ya silahkan bangun dan menari

Gending Mara Bangun, Laras Pelog. Digunakan saat baru bangun untuk menari. Mara-mara bangun maonced-oncedan

Mara-mara bangun maonced-oncedan. 

Sati satindak manolih angadengel

Sati satindak manolih angadengel.

Baru bangun terhuyung-uyung

Baru bangun terhuyung-uyung

Setiap tindakan terlihat cantik

Setiap tindakan terlihat cantik

Eda kema jani mani puan kema

Eda kema jani mani puan kema

Pangda pangda pindo tingne dibi sanja

Pangda pangda pindo tingne dibi sanja.

Jangan pergi sekarang lain kali ke sana

Jangan pergi sekarang lain kali ke sana

Supaya tidak dua kali suaranya seperti tadi malam

Supaya tidak dua kali suaranya seperti tadi malam

Penari Cak yang terdiri atas para penyungsung pura tersebut menyanyikan cak, cak, ecak, ecak dengan patron perkusif yang amat unik. Api telah tersedia di muka penari Sanghyang  Dedari untuk memberi cobaan terhadap kesungguhan Sanghyang Dedari itu. Penari itu  kemudian meloncat ke atas bara api dengan kaki tanpa alas kaki apa pun. Jika sungguh  dalam keadaan kerauhan, mereka tidak akan terbakar dan tidak akan merasa sakit. Marilah,  marilah, pengikutku, kenapa engkau tidak bersama aku untuk menghalau wabah. Penari  Sanghyang itu meminta dengan amat sangat agar diperkenankan menari, menunjukkan  keluwesan para leluhur yang turun ke bumi. Mereka akhirnya menari dengan gerak lemah  gemulai dan penuh improvisasi. 

Seperangkat gamelan Semarpagulingan telah siap memainkan lagu-lagu klasik untuk  mengikuti tari Sanghyang Dedari tersebut. Gamelan itu biasanya terdapat di jaba pura,  halaman luar tempat persembahyangan, tempat penari Sanghyang Dedari itu segera  diusung. Tariannya merupakan sebuah tarian improvisasi, dipentaskan oleh para leluhur  melalui badan penari wanita tadi.

Mereka diangkat ke atas pundak para penyongsongnya.  Menjadi penyongsong penari Sanghyang Dedari merupakan suatu kehormatan bagi para  taruna di dalam masyarakat. Mereka memiliki status yang lebih tinggi dari teman-temannya sekampung. Penari Sanghyang Dedari menggunakan pakaian putih dengan  hiasan kepala seperti penari Legong Kraton. Mereka bergerak dengan sangat cekatan  melakukan gerak sayar soyor yang lemah gemulai di tengah sekelompok pengikutnya  yang segera membentuk lingkaran sebagai ciri khas tarian keagamaan.

Gerak-gerak yang dilakukan oleh Sanghyang Dedari di atas pundak penyongsongnya  merupakan gerak improvisasi yang dilakukan dengan tidak sadar dan berdasarkan gerak gerak alam. Contohnya ialah gerakan sayar soyor, wujud gerak yang menirukan gerak  pohon yang sedang ditiup angin kencang; ngelayak, gerakan melengkung sebagai peniruan  pohon bunga yang berkembang lebat; capung mandus, gerak-gerak seekor capung yang  sedang mandi di kolam; dan kidang rebut muring, peniruan gerak kijang yang sedang

diganggu serangga.

Wujud-wujud gerak tersebut sangat tua umurnya, meskipun gerak gerak ini dipakai dalam tarian masa kini, seperti Gambuh, Arja, dan Legong Kraton. Tari  Sanghyang Dedari telah dipengaruhi oleh tarian yang sedang berkembang dewasa ini. Tari  kerauhan yang terdapat dalam tari Sanghyang akhirnya telah menerima unsur-unsur  Legong Kraton.

Dipimpin oleh seorang pemangku, para penyungsung Sanghyang Dedari itu meninggalkan  halaman pura, dan pawai Sanghyang ini berpindah ke jalan raya. Iringan kidung dimulai  lagi. Lagu yang dinyanyikan adalah gending Mara Bangun (baru bangun). Para penari  Sanghyang Dedari itu diusung ke sudut-sudut kampung, ke persimpangan jalan, dan ke  tempat-tempat lain yang dianggap penting untuk dikunjungi. Selama mengadakan  perjalanan, penari Sanghyang Dedari melakukan gerak-gerak menghalau wabah penyakit.  Masyarakat menduga bahwa penyebab penyakit itu adalah bhuta kala yang mendiami  penjuru kampung. Sementara upacara ini tengah berlangsung, pemangku memercikkan air  suci di tempat-tempat yang dianggapnya sebagai penghubung bhuta kala. Dengan cara itu,  mereka telah membersihkan desa secara ritual. Setelah beberapa lama, penari Sanghyang  dibawa kembali ke tempat gamelan yang telah tersedia sebelumnya.

Saat menari digunakan gending Sekar Emas. 

Di Desa Cemenggawon, Sukawati, penari Sanghyang Dedari itu diletakkan pada sebuah  tempat pementasan. Mereka mulai menari dengan keterampilan yang tinggi, jauh berbeda  dengan tarian yang dilakukan ketika mereka diusung ke sudut kampung. Kini tartian  mereka sangat halus, luwes, dan gerak-geraknya mempunyai hubungan yang erat dengan  musik pengiringnya. Tarian yang bagus bentuknya itu hampir tak dapat mereka lakukan  selama mereka diusung di atas pundak. Selain gamelan Semarpagulingan dinyanyikan pula  lagu-lagu yang disebut Sekar Emas. Tariannya juga menirukan lirik dari lagu itu sendiri.

Gending Sekar Emas, Laras Pelog.

Tanjung gambir gadung melati

Sandingin cempaka menuh daksina kabecik pisan

Medampyak tumbuh di gunung 

Tetanduran widyadari.

Bunga tanjung gambir dan gadung melati

Disandingi cempaka, menuh, daksina yang baik sekali Berderet tumbuh di gunung

Ditanam oleh para bidadari

Tempuh anin mangayorin

Dedarine ampuang aus mangiber mangalap sekar Sekarang magulu-angsul

Swaca idewa nggeain gending.

Diembus angin meliuk liuk

Bidadarinya diembus angin berebut memetik bunga Sekarang menggerakkan lehernya kiri dan kanan Berbaik hati dewa memberikan nyanyian

Pangecet

Gending guntang gula miik

Gending guntang gula miik

Tetabuhan madu rempuh

Pepanggelan pepangelan

Madu pasir

Rebab sulinge kanyunnyun

Gagupekan gagupekan

Guricike ngarempyang

Lagu gamelan guntang manis seperti gula

Lagu gamelan guntang manis seperti gula

Lagu-lagu penuh madu

Ritme ritme yang indah

Seperti madu pasir

Rebab dan suling saling bersahutan

Bunyi kendang bunyi kendang

Rinciknya suaranya gemerincing

Igel igel ida cara garuda matangkis

Igel igel ida cara garuda matangkis

Kecas kecos ilag ileg ngilu bahu

Kecas kecos ilag ileg ngilu bahu.

Tariannya seperti gerak gerik burung garuda

Tariannya seperti gerak gerik burung garuda

Meloncat-loncat, gerak leher kiri dan kanan di atas bahu

Meloncat-locat, gerak leher kiri dan kanan di atas bahu.

Yen sawangan gumine di kembang kuning

Yen sanwangan gumine di kembang kuning

Sungengene nyebeng manyangra bulan

Sungengene nyebeng manyangra bulan.

Jika diumpamakan dunia ini seperti bunga kuning

Jika diumpamakan dunia ini seperti bunga kuning

Bunga matahari berkerut menjnggu bulan

Bunga matahari berkerut menunggu bulan

Saat Ngelebar atau Nyineb (menyimpan) digunakan gending Sekar Jepun.

Di tempat lain, seperti di Desa Bona, penari Sanghyang Dedari itu dibawa kembali ke  halaman pura. Di sana mereka melakukan upacara ngelebar (nyineb) mengembalikan  penari itu ke alam sadar. Upacara itu dilakukan dengan berjenis-jenis sesajen yang  kemudian diiringi persembahyangan bersama oleh anggota masyarakat. Mereka memberi  upah kepada roh-roh suci yang memasuki badan penari Sanghyang Dedari. Upacara itu  dipimpin oleh seorang pemangku, diikuti oleh Juru Kidung dengan sangat khidmat. Lagu lagu yang dinyanyikan adalah gending Sekar Jepun. Kemudian penari-penari Sanghyang  tersebut perlahan-lahan mulai sadar. Kini banyak penari menyukai pengalaman sebagai  penari sakral dan kemudian meneruskan karier mereka sebagai penari profesional setelah  beberapa tahun menjadi abdi sebuah pura.

Gending Tanjung Gambir, Laras Pelog. 

Tanjung gambir gadung melati

Sandingin cempaka menuh daksina kabecik pisan Medampyak tumbuh di gunung 

Tetanduran widyadari.

Bunga tanjung gambir dan gadung melati

Disandingi cempaka, menuh, daksina yang baik sekali Berderet tumbuh di gunung

Ditanam oleh para bidadari.

Tempuh anin mangayorin

Dedarine ampuang aus mangiber mangalap sekar Sekarang magulu-angsul

Swaca idewa nggeain gending.

Diembus angin meliuk liuk

Bidadarinya diembus angin berebut memetik bunga Sekarang menggerakkan lehernya kiri dan kanan Berbaik hati dewa memberikan nyanyian.

Pangecet

Gending guntang gula miik

Gending guntang gula miik

Tetabuhan madu rempuh

Pepanggelan pepangelan

Madu pasir

Rebab sulinge kanyunnyun

Gagupekan gagupekan

Guricike ngarempyang

Lagu gamelan guntang manis seperti gula

Lagu gamelan guntang manis seperti gula

Lagu-lagu penuh madu

Ritme ritme yang indah

Seperti madu pasir

Rebab dan suling saling bersahutan

Bunyi kendang bunyi kendang

Rinciknya suaranya gemerincing

Igel igel ida cara garuda matangkis

Igel igel ida cara garuda matangkis

Kecas kecos ilag ileg ngilu bahu

Kecas kecos ilag ileg ngilu bahu.

Tariannya seperti gerak gerik burung garuda

Tariannya seperti gerak gerik burung garuda

Meloncat-loncat, gerak leher kiri dan kanan di atas bahu

Meloncat-locat, gerak leher kiri dan kanan di atas bahu.

Yen sawangan gumine di kembang kuning

Yen sanwangan gumine di kembang kuning

Sungengene nyebeng manyangra bulan

Sungengene nyebeng manyangra bulan.

Jika diumpamakan dunia ini seperti bunga kuning

Jika diumpamakan dunia ini seperti bunga kuning

Bunga matahari berkerut menjnggu bulan

Bunga matahari berkerut menunggu bulan.

Subyek upacara kelinggihan “kemasukan roh” ini sudah lama menarik perhatian banyak  orang asing, meskipun sampai saat ini belum ditemukan pengertian tentang aspek  psikologis sistem kerauhan ini. Memang amat sukar membuktikan suatu pengertian tentang  kerauhan karena menyangkut masalah kepribadian dan konteksnya dengan kebudayaan.  Dalam kondisi yang normal, seorang akan menemukan kesukaran untuk mengukur  kerauhan itu secara ilmiah tanpa mengganggu budayanya. Banyak sarjana yang memberi

komentar bahwa kerauhan itu sama dengan hipnosis yang tinggi nilainya. Dalam tarian  Sanghyang Dedari tampak ada cobaan penting, yaitu pada waktu mereka diminta untuk  melangkah dan menari di atas api unggun. Itu bertujuan untuk membuktikan kepada  pemangku dan anggota masyarakat bahwa kerauhan itu memang sunguh terjadi. Jenis  kerauhan yang dimanifetasikan oleh penari Sanghyang Dedari itu jauh lebih tinggi nilainya  dibandingkan dengan kerauhan yang terdapat dalam tari Keris yang biasanya disebut  Onying atau Pangurekan.

Perlu dijelaskan tidak semua tari Bali memiliki unsur kelinggihan. Unsur kelinggihan juga  ada dalam tari Bali yang bersifat sekuler yang dilatih secara teknis dan serius, namun  secara konseptual keadaan semacam itu disebut ketakson. Beberapa tari yang bersifat  kelinggihan berbeda bentuknya dengan tarian yang bersifat sekuler. Setiap tarian tersebut  memiliki tuntutan yang berbeda pula. Untuk tari-tarian kelinggihan atau sakral para penari  dituntut untuk dapat nadi, sedangkan kemampuan untuk menari adalah soal belakang.  Untuk tari-tarian profesional persyaratan ini menjadi terbalik. Kondisi semacam ini dapat  membingungkan dalam tarian Bali, seperti terlihat dalam tarian sekuler yang ditambahi  adegan kelinggihan begitu saja untuk menarik wisatawan asing. Di sini sifat-sifat  kelinggihan itu secara mudah dapat disebut metode berakting. 

Apa yang telah disediakan oleh kelinggihan kepada penari-penari Sanghyang Dedari ialah  suatu rangkaian suara yang khas dan improvisasi yang tinggi. Yang paling menarik dalam  Sanghyang Dedari adalah pemberian obat-obatan oleh para leluhur kepada anggota  masyarakat yang percaya dapat menghilangkan wabah penyakit dari muka bumi ini. Di  dalam semua bentuk Sanghyang nampak para leluhur atau roh-roh suci memberi layanan  pada masyarakat. Roh para leluhur ini siap dipanggil untuk memberi perlindungan kepada  masyarakat pendukungnya. Kendati tarian ini tidak memakai cerita kelihatan ada suatu  dramatisasi yang tinggi tanpa stock scene character seperti yang terlihat dalam Gambuh. 

Di dalam tari-tarian Sanghyang yang lain, seperti Sanghyang Celeng, tampak penari  Sanghyang itu, mengadakan pembersihan secara simbolis dengan memakan segala kotoran  yang ada di masyarakat. Sanghyang semacam ini dikatakan memiliki tingkatan yang lebih  rendah dibandingkan dengan Sanghyang Dedari karena mereka lebih mengutamakan  gerak-gerak kasar dan sering-sering juga menggelikan. Menurut laporan Jane Belo, dalam

bukunya yang berjudul Trance in Bali dikatakan bahwa Sanghyang Celeng itu  memghabiskan kotoran kulit pisang dan lain-lainnya yang terdapat di jalanan. Cara yang  demikian berarti penyebab epidemi telah dimakan oleh Sanghyamg Celeng tersebut. 

Makna

Tari Sanghyang Dedari dan tari-tari sakral lainnya di Bali seperti tari Baris Gede, Rejang  Dewa, Sutri, Abuang, ialah sarana ruwatan bumi. Sebuah upacara untuk membersihkan  dunia ini dari segala mala petaka yang disebabkan oleh bhuta kala. Pementasan tari-tari  sakral ini membuat keseimbangan, keharmonisan baik dan buruk dalam jagat semesta.  Tari-tari ini berkaitan dengan upacara pembersihan secara spiritual yang disebut Jagat  Kerthi, Danu Kerthi, Segara Kerthi, Wana Kerthi, Atma Kerthi, Bhuwana Kerthi.

Mengusir bhuta kala, dengan berbagai upacara keagamaan disebut juga nyomia bhuta kala,  mengembalikan elemen-elemen Panca Mahabhuta ke tempatnya. Pementasan tari sakral  dalam upacara keagamaan merupakan realissi dari kearifan lokal (local wisdom) yang  disebut Tri Hita Karana. Tri Hita Karana, ialah tiga sebab yang menyebabkan  keseimbangan atau kebahagiaan yaitu keseimbangan antara Tuhan dan manusia, Manusia  dan manusia, dan Manusia dengan alam semesta (Panca Mahabhuta). 

Tari Sanghyang Dedari dan tari sakral lainnya, turun ke bumi untuk memberi wahyu dan petunjuk kepada masyarakat tentang pengobatan secara herbal (kini disebut Ayurvedic)  sesuai Usada Gede, Usada Rare dan lontar-lontar usada lainnya. Tuntunan itu  mengingatkan kepada masyarakat Bali bahwa mereka memiliki cara pengobatan  tradisional yang bersumber pada Veda, kitab suci. Sistem pengobatan itu dinamakan  Ayurveda.

Pengobatan Ayurveda ialah salah satu sistem pengobatan holistik (seluruh tubuh) yang  tertua di dunia. Sistem pengobatan itu dikembangkan lebih dari 3000 tahun yang lalu di  India. Dipercaya bahwa sistem ini tergantung pada keseimbangan yang rumit antara  fikiran, tubuh, dan spirit. Dalam Ayurveda biasanya ada tiga elemen utama dalam tubuh  manusia yang sering tidak seimbang yaitu tri dosha yang terdiri dari vayu (angin), pitta (cairan empedu), dan kapha (lendir).

Langkah-langkah lain yang dilakukan selama pandemi. 

Dipimpin oleh Ida Pedanda Putra Tembau, seorang pendeta yang menjadi pemimpin setiap  upacara besar di Pura Besakih (Eka Dasa Rudra, Panca Wali Krama, dan Bhatara Turun  Kabeh) yang berasal dari Klungkung melaksanakan Upacara Ruatan Bumi di Pura Besakih  dan Pura Sad Kahyangan lainnya (Pura Batur, Pura Uluwatu, Pura Batuklotok, Batukaru)  yang dipimpin oleh Ida Pedanda pada bulan Juli 2020. Upacara itu dihadiri oleh Wakil  Gubernur, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati dan beberapa pejabat pemerintahan  lainnya. 

Doa bersama oleh Pasek Sapta Rsi bersama ITB STIKOM Bali yang dinamakan Shanti  Puja Samgraha dengan melibatkan 1118 orang pendeta di seluruh Indonesia. Upacara itu  dilakukan secara live-streaming dan diikuti oleh ribuan umat Hindu seluruh Indonesia.  Tuntunan upacara dan veda dilaksanakan oleh seorang Ida Mpu dari Warga Pasek, di  Kampus ITB STIKOM Bali didampingi Prof. Dr. Wayan Wita dan Prof. Dr. I Made  Bandem.

Dalam rangka Covid-19, banyak desa-desa di Bali mementaskan berbagai tari Sanghyang,  misalnya di Desa Pancasari, Bedugul Buleleng, masyarakat mementaskan tari Sanghyang  Penyalin (Sanghyang Rotan), tari-tarian Baris Gede di Desa Pengotan, Bangli, tari Sutri di Desa Batuan, Gianyar, Rejang Dewa di berbagai Pura di Denpasar. Selama musim wabah,  masyarakat Bali tetap melaksanakan upacara di pura-pura mereka dan selalu mementaskan  tari-tari sakral, termasuk drama tari Calonarang yang diaggapnya drama peruwatan ritual.  Dalam pementasan-pementasan itu mereka tetap menerapkan protokol kesehatan yang  ditetapkan Pemerintah, dalam kelompok kecil, memakai masker, menjaga jarak, dan desa  menyiapkan sanitizer dan air bersih.

 

Denpasar, 5 November 2020

I Made Bandem

 

 

Dafta Pustaka

Ambara, Gede Ngurah. Ayurveda. Surabaya: Penerbit Paramita Surabaya, 2006. Bandem, I Made and Fredrik deBoer. Balinese Dance in Transition: Kaja and Kelod.  Singapore: Oxford University Press, 1995.

Belo, Jane. Trance in Bali. New York: Columbia University Press, 1960. Carpenter, Bruce W. WOJ Niewenkamp: First European Artist in Bali. Singapore: Periplus  Edditions, 1997.

Danajaya, James. Pantomim Suci Betara Berutuk Dari Trunyan Bali. Jakarta: PN Balai  Pustaka, 1985.

deZote, Beryl and Walter Spies. Dance and Drama in Bali. New York: Thoman Yoseloff,  1958. 

Dibia and Rucina Ballinger. Balinese Dance, Drama and Music. Singapore: Perilus  Editions, 2004.

Dinas pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali. Usana Bali-Usana Jawa. Denpasar:  Dinas P dan K Prpinsi Bali, 1986.

Dinas Kebudayaan Badung (Tim Penyusun Ketut Darsana, dkk.). “Tutur Barong Swari,”  halaman 75-128, tahun 2013.

Ginarsa, Jero Mangku. Intisari Kanda Pat Dewa dan Kanda Pat Sari. Denpasar: CV Kayu  Mas Agung 2010.

Goris, Roelof. Prasasti Bali I dan II. Bandung: NV Masa Baru, 1954. Holt, Claire. Art in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1967. Nala, I Gusti Ngurah Nala. Usada Bali. Denpasar: PT Penerbit Upada Sastra, 1996. Pemerintah Kabupaten Buleleng. Usada Bali. Singaraja: Gedong Kirtya, 2006. Sedyawati, Edi, dkk. Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Suasthi Widjaja Bandem, NLN. Barong Kuntisraya: Ikon Seni Pertunjukan Bali  Kontemporer. Denpasar: BP STIKOM Bali, 2014.

 

 

1 Makalah disampaikan dalam Simposium Sesi 2 “Seni Pertunjukan, Seni Sakral Nusantara dan Relasinya  dengan Wabah” pada 20 November 2020. Simposium ini merupakan salah satu agenda dari Borobudur  Writers and Cultural Festival (BWCF) yang bertemakan Bhumisodhana: Ekologi & Bencana dalam Refleksi  Kebudayaan Nusantara. Festival budaya ini berlangsung dari 19 s/d 23 November 2020 dan dilaksanakan  secara daring (Virtual Festival).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...