OLEH I Made Bandem
Pendahuluan
Salah satu dari kesenian Bali yang berakar pada kebudayaan Pra-Hindu adalah tari Sanghyang. Tari ini masih hidup sampai sekarang. Kini dapat dijumpai kurang lebih 55 macam tari Sanghyang. Tarian tersebut banyak terdapat di desa-desa pegunungan. Semua jenis tari Sanghyang terdiri atas dua sampai tujuh orang penari, dan biasanya mereka dapat mencapai kelinggihan atau kerauhan, kemasukan dewa-dewi, roh para leluhur atau roh-roh lainnya.
Kelinggihan
itu dapat dicapai dengan panudusan,
menghirup asap kemenyan, menyanyikan lagu sakral dan meditasi dengan rasa
kebaktian yang mendalam. Ketika penari
Sanghyang itu kemasukan roh-roh, mereka mengadakan interaksi dengan para penonton atau dengan penari Sanghyang
lainnya. Di beberapa daerah Sanghyang itu
berbicara sebagai “wahyu.”
Sejarah Sastra
Sebagai sebuah tari yang
merupakan sisa-sisa dari kebudayaan pra-Hindu, Sanghyang diklasifikasikan sebagai tari Wali. Tari Wali
ialah sebuah bentuk tari yang bersifat sakral, dipentaskan dalam upacara
keagamaan dan berlangsung di tempat yang paling sakral disebut jeroan pura atau utama
mandala. Sanghyang dianggap sebagai pelaksana upacara agama dan tidak memakai lakon. Bersifat
komunal dan partisipasi yang tinggi, serta setiap orang dapat terlibat di dalamnya. Anggota
masyarakat yang mengikuti upacara Sanghyang
tiba-tiba ikut trance atau kelinggihan bersama para penari
Sanghyang.
Catatan yang paling tua
mengenai tarian Bali terdapat dalam sebuah prasasti yang dinamakan prasasti Bebetin berangka tahun 896
M. Dalam prasasti itu disebut partapukan (tarian topeng), parbwayang (pertunjukan
wayang), pabunjing (penari), abanwal (tarian badut). Sampai saat
ini belum diketahui secara pasti bagaimana wujud tari-tarian itu, baik dari segi bentuk maupun penampilannya.
Prasasti itu dibuat pada zaman pemerintahan Kesari Warmadewa, seorang
raja keturunan Raja Sailendra dari Jawa
Tengah yang memerintah Bali pada tahun 882-912 Masehi (Goris, 1954: 55).
Mengenai tari trance terdapat
dalam sebuah lontar yang berjudul “Usana Bali dan Usana Jawa,” sebuah hasil karya sastra yang
dikarang oleh Danghyang Dwijendra (Danghyang
Nirarta) tahun 1550 (Abad ke-16) di Gelgel Klungkung. Dalam naskah itu
disebutkan bahwa Sang Kulputih, seorang penghulu agama di Pura Besakih
mempersembahkan sebuah tarian sakral
untuk sempurnanya sebuah upacara Odalan itu.
Para dewa-dewi merasuki para penarinya dan menyebabkan
penari-penari kelinggihan. Tari itu disebut Wewalen. Kini karena perkembangan zaman tari
Wewalen itu berkembang menjadi tari
Wali, Bebali, dan Balih-balihan (Dinas Pendidikan Kebudayaan Propinsi
Bali, 1986: 66).
Tutur Barong Swari
Berkaitan dengan wabah dan
penolakannya, lontar “Barong Swari” menyinggung
terjadinya Tari Barong, dimana diceritakan pada waktu Bhatari Uma
dikutuk oleh Bhatara Guru turun ke dunia
menjadi Durga-Dewi, maka lalu Bhatari Durga “Melakukan Yoga.” Waktu beliau
beryoga menghadap ke utara, maka beliau menciptakan “Gering Lumintu” (wabah penyakit). Waktu beliau beryoga
menghadap ke barat timbul “Gering Hamancuh” Waktu beliau beryoga menghadap ke
selatan timbul “Gering Rug Buana” Waktu beliau
beryoga menghadap ke timur terjadilah “Gering Utah Bayar”
(muntah-berak).
Dengan timbulnya
bermacam-macam penyakit itu, maka terancamlah dunia dari mara bahaya, hal ini menimbulkan belas kasihan
dari Sang Hyang Tri Murti, lalu ketiganya
turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia dan seisinya dari kehancuran.
Bhatara Brahma turun menjadi Topeng
Bang. Bhatara Wisnu turun menjadi Telek. Bhatara Iswara (Siwa) turun menjadi Barong (Lihat juga Ketut
Sudarsana, dkk, 2013: 75).
Pada setiap kesempatan
dimana para bhuta kala dan jenis-jenis penyakit itu berkumpul disanalah beliau menari, yang menyebabkan
takut dan larilah semua bhuta kala dan
penyakit itu tunggang langgang. Dengan demikian terhindarlah umat
manusia dari bencana penyakit.
Kisah Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling
Pada suatu hari yang sangat
cerah, Bhatara Siwa dan istrinya, Dewi Uma beranjangsana di Selat Badung, antara Pulau Bali, Pulau Nusa
Penida. Beliau berdua menaiki lembu Nandini
yang bisa terbang. Menjelang sampai di atas Pulau Nusa Penida, Bhatara
Siwa berkeinginan keras untuk
bersanggama dengan istrinya. Dewi Uma menolak, dan akhirnya sperma Bhatara Siwa berceceran di tengah
laut. Sperma itu menjadi suatu gumpalan dan
berselang beberapa waktu gumpalan darah putih itu lahir menjadi seekor
Raksasa yang hebat dan ganas.
Suatu malam Raksasa itu meraung dengan kerasnya dan menanyakan kepada
orang-orang sekitarnya siapa ayah dan
ibunya. Tak seorangpun mengenal orang tua Raksasa itu. Karena raungan keras itu mengganggu orang-orang di
malam hari, datanglah Bhatara Brahma dari
selatan dan Bhatara Mahadewa dari barat untuk meminta agar Raksasa itu
tidak meraung keras-keras. Raksasa itu
marah dan terus menanyakan ibu dan bapaknya. Brahma dan Mahadewa sangat marah dan langsung
menyerangnya. Tapi serangan itu gagal dan kedua
dewa itu meninggalkan tempatnya. Brahma dan Mahadewa menghadap Bhatara
Wisnu untuk membantunya. Bhatara Wisnu
datang dari utara dengan senjata cakranya. Beliau memanah Raksasa itu dan Raksasa itu makin
mengganas dan menyerang Bhatara Wisnu.
Akhirnya Bhatara Wisnu mendatangi Bhatara Siwa untuk meminta bantuan
agar Raksasa itu berhenti meraung dan
mengamuk. Bhatara Siwa datang dari stananya dan bertemu dengan Raksasa ganas itu. Bhatara Siwa
menanyakan kenapa dia mengamuk, meraung, dan
mengganggu keamanan para dewa yang sedang bersemadi.
Raksasa itu meminta Bhatara Siwa
untuk menjelaskan siapa ibu dan bapaknya. Bhatara Siwa tahu benar bahwa
kesaktian dari Raksasa itu terletak pada
taringnya. Bhatara Siwa meminta agar Raksasa itu bersedia taringnya dipotong dan Bhatara Siwa akan
mengakui dia sebagai putranya. Tidak berfikir
panjang lagi, Raksasa itu mengijinkan Bhatara Siwa untuk memotong
taringnya. Bhatara Siwa juga memberi
tahu bahwa ibu dari Raksasa itu adalah Dewi Uma, dan ayahnya adalah Bhatara Siwa sendiri.
Raksasa itu sangat senang hatinya. Bhatara Siwa meminta Raksasa untuk
berstana di Nusa Penida, di sebuah Pura
bernama Pura Dalem Peed yang berada di dekat Laut, Selat Bali dan Selat Nusa Penida. Raksasa itu pun diberi
nama oleh ayahnya, yaitu Ratu Gede Mas
Mecaling. Ratu Gede Mas
Mecaling ditugaskan untuk mengawasi orang Bali agar tetap melakukan upacara yadnya dan takwa kepada Ida
Hyang Widhi. Jika tidak, Ratu Gede Mas Mecaling memiliki kewenangan untuk
memangsanya. Ratu Gede Mas Mecaling juga
diberi rakyat atau bregala berupa bhuta-bhuti yang banyak
jumlahnya. Bhuta-bhuti itu
memiliki kekuatan untuk menciptakan wabah jika orang Bali tidak taat
kepada agamanya.
Bhatara Siwa mengijinkan Ratu Gede Mas Mecaling dan bregalanya untuk
datang ke Bali setiap sasih ke-5 dan
ke-6 yaitu pada bulan November dan Desember. Sebaliknya Bhatara Siwa juga mengingatkan kepada para Raja dan
rakyat Bali bahwa setiap bulan November
dan Desember patut membuat sesajen caru yang diletakkan di depan rumah
dalam sebuah tempat yang dinamakan
sanggah cerucuk. Di depan sanggah cerucuk itu juga diletakkan sebidang daun pandan yang berisi rerajahan
tentang Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa agar
masyarakat tidak diganggu oleh para bregala yang menyebarkan wabah
penyakit.
Jika ternyata lupa, Ratu Gede Mas
Mecaling dan para bregala itu akan menyebarkan wabah, berupa kolera, desentri, dan cacar. Untuk
mengusir bragala itu masyarakat Bali diminta
untuk mementaskan tari Wali (Upacara) seperti Sanghyang, Baris Gede,
Sutri dan Rejang (Lihat juga Nala, 1996:
175).
Usada Kecacar
Ketika diadakan musyawarah para dewa di Swargaloka, tersebutlah Bhagawan
Wraspati dan Bidadari Nilotama. Pada
saat pertemuan itu berlangsung, rupa-rupanya antara Bhagawan Wraspati dan Bidadari Nilotama
terjadi saling mengerling. Hal itu diketahui
oleh Bhatara Siwa yang menganggap perbuatan itu tidak pada tempatnya.
Oleh karena itu, Bhatara Siwa mengusir
mereka berdua untuk pergi ke Madyaloka, dengan syarat apabila mereka nanti sudah mempunyai anak boleh
kembali ke Swargaloka.
Di Madyaloka keduanya
menjadi suami istri dan mempunyai anak tak terhitung jumlahnya yang disebut “dakang,” antara lain bernama
Luh Lempeni, Bubuk, Beruang, Guling,
Tembaga, Sukun, Kekarangan, Besi dan lain-lainnya.
Setelah kutukan itu
berakhir, Bhagawan Wraspati dan Nilotama bermaksud kembali ke Swargaloka. Mengetahui hal itu para dakang
bertanya, jika mereka ditinggal di Madyaloka,
apa yang dimakannya nanti. Akhirnya Bhagawan Wraspati memutuskan bahwa
anak-
anaknya boleh menyebarkan
wabah cacar dengan jalan menyusupi badan manusia. Tetapi waktunya terbatas pada sasih ke-lima atau ke
enem (bulan November dan Desember),
karena setelah itu mereka akan dikalahkan oleh Sanghyang Dedari. Setelah
ditinggalkan oleh kedua orang tuanya,
para dakang itu dipelihara oleh Bhatari Durga. Bila sasih ke lima dan ke enam itu tiba, mulailah para dakang
itu menyebarkan penyakit. Saat itu pulalah
anggota masyarakat mengadakan upacara Sanghyang Dedari, karena tarian
itu merupakan perwujudan para widyadari
dan memiliki kekuatan gaib untuk memberantas wabah penyakit itu (Wawancara I Made Kredek,
1976).
Pertunjukan tari Sanghyang
sangat beraneka ragam wujudnya, masing-masing memiliki unsur improvisasi sesuai dengan pola budaya
yang berkembang di sekitarnya. Tipe
kerauhan itu juga amat berbeda yang satu dengan yang lainnya. Sanghyang
itu menari sesuai dengan gerak-gerak roh
yang memasukinya. Roh-roh itu mengendalikan penari sanghyang tersebut. Keanekaragaman wujud
gerak Sanghyang itu tergantung pula dari
jenis dan lokasinya.
Jenis-jenis tari Sanghyang
meliputi Sanghyang Dedari (Sanghyang Widyadari), Sanghyang Jaran (Sanghyang Kuda), Sanghyang Celeng
(Sanghyang Babi), Sanghyang Lelipi
(Sanghyang Ular), Sanghyang Bojog (Sanghyang Kera), Sanghyang Penyalin
(Sanghyang Rotan), Sanghyang Deling
(Sanghyang Boneka), Sanghyang Kuluk (Sanghyang Anak Anjing), Sanghyang Sampat (Sanghyang Sapu),
Sanghyang Penyu (Sanghyang Kura-kura),
Sanghyang Sembe (Sanghyang Lampu), Sangyang Memedi (Sanghyang Roh
Halus), Sanghyang Deling (Sanhyang Boneka
Cili), Sanghyang Bungbung (Sanghyang Tabung
Bambu), Sanghyang Janger (Sanhyang Penari Janger), Sanghyang Cenkrong
(Tabung Bambu Penghembus Api), Sanghyang
Penyalin (Sanghyang Rotan), Sanghyang Grodog (Sanghyang Diarak Cikar),
Sanghyang Kebo (Sanghyang Kerbau), Sanghyang Busung (Sanghyang Janur), Sanghyang Jangolan
(Sanghyang Perau), Sanghyang Barong (Sanghyang Barong), Sanghyang Dukuh
(Sanghyang Penghulu Desa), Sanghyang Bunga
(Sanghyang Bunga),
Sanghyang Bangu-bangu (Sanghyang Bunga-bunga), Sanghyang Tangkluk (Sanghyang Penghalang dari Galah),
Sanghyang Kidang (Sanghyang Kijang), Sanghyang Totor (Sanghyang Cabang Kayu),
Sanghyang Krekek (Sanghyang Orang
Tertawa), Sanghyang Lingga (Sanghyang Lingga Siwa), Sanghyang Joged
(Sanghyang Tari Joged), Sanghyang Sampi
(Sanghyang Sapi), Sanghyang Dukuh Ngaba Cicing
(Sanghyang Kepala Desa
Membawa Anjing), Sanghyang Dukuh Masang Bubu (Sanghyang Pembawa Alat Penangkap
Ikan), Sanghyang Tiling-tiling (Sanhyang Burung), Sanghyang Enjo-enjo
(Sanghyang Menari Naik Turun), Sanghyang Manjangan (Sanghyang Kijang),
Sanghyang Tutut (Sanghyang Anak-anak), Sanghyang Kelor (Sanghyang Pohon Kelor),
Sanghyang Sumbul (Sanghyang Sumbu), Sanghyang Payung (Sanghyang Payung). Setiap tari Sanghyang
mempunyai unsur pangelukatan, upacara
pembersihan secara agama
Hindu (Jane Belo, 1960: 202 dan Tambahan dari I Made Bandem, 2020).
Untuk memperoleh dasar yang
jelas mengenai tari Sanghyang, akan ditelaah Sanghyang Dedari sebagai contoh kasus. Sanghyang Dedari
merupakan salah satu dari Sanghyang yang
sudah dikenal di Bali dan hampir setiap orang mengenalnya. Walaupun kata widyadari berasal dari Bahasa
Sanskerta, unsur-unsur kebudayaan Hindu hanya sedikit berpengaruh dalam tarian ini. Sanghyang
Dedari merupakan perpaduan utama dari
masyarakat komunal dan memiliki unsur budaya yang sangat unik.
Dipandang dari perspektif etimologi bahwa istilah sanghyang dedari terdiri
dari 3 buah kata yaitu sang, hyang, dan
dedari. Kata sang adalah kata sandang dalam Bahasa Indonesia yang berarti terhormat, sedangkan
kata hyang berarti dewa/dewi atau leluhur. Kata dedari adalah sinonim dari Bahasa
Sanskerta widyadari yang berarti bidadari. Sebagai suatu kesatuan kata Sanghyang
Dedari berarti sebuah tari sanghyang yang
dituntun oleh bidadari dari kahyangan. Menurut sastra-satra klasik Bali,
terdapat 7 orang bidadari kahyangan
yaitu Bidadari Supraba, Nilotama, Ken Sulasih, Gagar Mayang, Gudita, Tunjung Biru, dan Aminaka.
Tidak berbeda dengan penari
Brutuk dari Desa Trunyan, Kabupaten Bangli, penari Sanghyang Dedari dipilih dari suatu kelompok
tertentu dalam masyarakat. Dalam hal ini
penari Sanghyang Dedari dipilih dari anak-anak perempuan berumur antara
sembilan dan dua belas tahun. Empat atau
lima diantara mereka bertugas sebagai penari Sanghyang Dedari pada periode tertentu dan biasanya
mereka berasal dari keluarga seorang pemangku
atau pemimpin upacara dalam agama Hindu. Di beberapa tempat telah
menjadi kebiasaan bahwa penari Sanghyang
Dedari memilih penggantinya sebelum mereka berhenti menjadi dari pengabdiannya. Penari Sanghyang Dedari
bukan seniman yang memperoleh latihan sebelumnya, meskipoun secara tradisional,
sebelum menjadi Sanghyang Dedari, mereka
tanggap dengan dengan tari-tarian sekelilingnya (I Made Bandem and
Fredrik deBoer, 1995: 10).
Sudah menjadi kebiasaan
bahwa Sanghyang Dedari merupakan milik sebuah pura atau tempat persembahyangan dan penari-penari itu
amat taat terhadap kewajiban mereka
sebagai abdi dari pura tersebut. Wanita-wanita itu dilarang melontarkan
caci maki, melakukan pekerjaan yang
bersifat provan, dan tidak diperkenankan untuk berjalan di bawah tali jemuran. Penari-penari Sanghyang
Dedari itu bertugas untuk membersihkan
halaman pura, membantu pemangku untuk merpersiapkan sesajen, mempelajari
lagu-lagu vokal sakral, seperti
gending-gending Sanghyang dan Kidung.
Berbeda dengan tari lainnya
di Bali, tari Sanghyang Dedari dipentaskan pada saat tertentu dan tidak berhubungan dengan upacara
keagamaan. Tari Sanghyang Dedari dipentaskan
jika diperlukan, khususnya pada saat berjangkitnya wabah penyakit. Jika
sedang ada wabah menjalar di suatu
daerah di Bali, biasanya tari Sanghyang Dedari dipergelarkan selama satu bulan sampai wabah penyakit itu
lenyap. Setelah wabah penyakit itu terbasmi,
Sanghyang Dedari tidak dipertunjukkan sampai setahun kemudian. Musim dan
geografi Pulau Bali menyebabkan alam ini mudah menjadi mangsa epidemi, dan hal
ini sudah diwariskan sejak dahulu kala.
Tari Sanghyang Dedari biasanya dipertunjukkan pada malam hari dan
upacara dimulai dari jeroan pura atau
utama mandala, tempat paling sakral dari sebuah tempat persembahyangan. Seluruh masyarakat
pendukungnya menyaksikan pementasan itu,
bahkan mereka terlibat di dalamnya. Pada permulaan upacara Sanghyang
Dedari, para penonton duduk dengan
tenang di halaman pura di muka sebuah pelinggih utama. Pemangku, penyanyi wanita sekelompok penari
upacara lainnya ditempatkan di depan
pelinggih, termasuk mereka yang
telah dipingit menjadi penari Sanghyang Dedari.
Struktur Pertunjukan
Upacara Penudusan
Bagian pertama pertunjukan
ini disebut panudusan. Selama periode panudusan para leluhur diundang untuk turun ke bumi, sementara para
penari Sanghyang Dedari menghirup bau wangi-wangian dari pasepan kemenyan. Di
samping kemenyan bahan-bahan panudusan itu
terdiri dari kayu majagau, cendana, dan nagasari. Semua pohon ini
dianggap pohon-pohon suci oleh
masyarakat Bali. Bahan-bahan dari pohon suci ini jika dibakar menimbulkan
bau yang sangat harum, bisa menyebabkan
para penari Sanghyang Dedari itu mabuk dan mempercepat proses kelinggihan.
Mereka duduk bersimpuh di
hadapan seorang pemangku yang sedang mempersembahkan sesajen kepada para leluhur yang diundang
turun. Pemangku tadi juga mengawasi pasepan
api unggun yang telah disediakan sebelumnya. Penyanyi wanita (Juru
Kidung) menyanyikan lagu-lagu Sanghyang
Dedari dengan ikhmad sehingga mengembangkan
suasana yang mendorong turunnya para leluhur. Lagu-lagu yang digunakan
unuk mengiringi proses panudusan ini
disebut lagu Kembang Jenar. Tari Sanghyang Dedari biasanya menggunakan 5 stanza nyanyian
kembang jenar yang umumnya mengisahkan
berbagai jenis bunga sebagai sesaji untuk mengundang para bidadari yang
diinginkan. Deskripsi berikutnya ialah
mengutarakan kehadiran bidadari di bumi dengan busana yang serba indah, memakai gelang dan kelad bau
dari emas, dan kain prada berwarna kuning
keemasan. Berikut ini 2 bait dari lagu kembang jenar yang digunakan pada
saat panudusan.
Gending Kembang Jenar, Laras Slendro.
Kembang Jenar
Mangundang-ngundang dedari agung
Dane becik-becik undang
Sang supraba tunjung biru.
Bunga kuning
Mengudang bidadari agung
Yang baik-baik diundang
Sang supraba dan Sang Tunjung Biru
Tunjung biru
Mangrangsuk-ngrangsuk simping emas
Mesat miber magegana
Panganggone baju simping emas
Mesat miber magegana
Sang Tunjung Biru
Menggunakan kelad bahu dari emas
Cepat terbang ber-putar putar
Busananya baju berkelad bahu emas
Cepat terbang ber-putar-putar
Tari Sanghyang Dedari sejenis yang dipertunjukkan di Kintamani,
diragakan dengan sebuah pratima (boneka)
yang digantung di hadapan dua orang penari wanita. Sanghyang itu menari karena getaran dari boneka
tersebut selama upacara panudusan. Tari Sanghyang itu disebut Sanghyang Deling.
Jika para bidadari atau
leluhur berkenan turun, setelah setengah jam atau lebih, penari Sanghyang Dedari akan jatuh di lantai dalam
suatu keadaan yang disebut kelinggihan atau kerauhan. Dengan mata tertutup mereka
bergerak ke samping dan ke belakang, dibantu
oleh penari wanita lebih tua yang bersama-sama mengikuti upacara
tersebut. Pemangku membersihkan muka
penari itu dengan kain putih oleh karena keringat mereka yang sangat deras. Mereka percaya bahwa leluhur itu telah
turun ke bumi dan memasuki badan penari
Sanghyang Dedari. Kemudian, pemangku atau pemimpin upacara meminta
mereka berbicara. Dengan nada yang
tinggi, suara ketat dan nervous, serta berbeda dengan pola suara biasa, para leluhur mulai berbicara
pada pengikutnya. Jangan takut, pengiringku,
kami telah tiba sekarang dan pengobatan penyakit sudah di tangan kita.
Mereka menguraikan preskripsi obat-obatan untuk mengusir wabah penyakit.
Bahan obat obatannya terdiri atas daun-daunan, akar-akaran, kulit kayu, beras,
rumput, tumbuh tumbuhan semak yang sejenis. Penari Sanghyang Dedari itu membagi
gelang tangan khusus untuk masyarakat
pengikutnya dan harus dipakai selama berjangkitnya wabah penyakit. Gelang tesebut dibuat dari benang
dan uang kepeng, disebut tri datu. Air suci
juga disediakan oleh pemimpin upacara untuk dibagi-bagikan kepada
seluruh masyarakat.
Saat kelinggihan (kemasukan roh) digunakan gending Ngalilir.
Jika Sanghyang itu mulai kerauhan, penyanyi wanita yang sedang menyanyi
gending gending Sanghyang Dedari yang disebut gending Ngalilir dan gending
Marabangun, mulai kerasukan dan mulai
akan menari. Lagu-lagu itu menguraikan para bidadari mulai menari, melakukan gerakan improvisasi sederhana,
mengikuti alunan lagu, serta
menginterpretasikan lirik dari lagu itu untuk gerak tarinya. Sesudah berapa
lama menari, para penyanyi wanita
berhenti dari tugasnya dan mereka diganti oleh penyanyi pria yang disebut Cak.
Gending Ngalilir. Laras Slendro. Digunakan saat kelinggihan.
Ngalilir dewa ngalilir
Yan tidong bangun mangigel.
Bangun dewa bangun
Ya silahkan bangun dan menari
Gending Mara Bangun, Laras Pelog. Digunakan saat baru bangun untuk
menari. Mara-mara
bangun maonced-oncedan
Mara-mara bangun maonced-oncedan.
Sati satindak manolih angadengel
Sati satindak manolih angadengel.
Baru bangun terhuyung-uyung
Baru bangun terhuyung-uyung
Setiap tindakan terlihat cantik
Setiap tindakan terlihat cantik
Eda kema jani mani puan kema
Eda kema jani mani puan kema
Pangda pangda pindo tingne dibi sanja
Pangda pangda pindo tingne dibi sanja.
Jangan pergi sekarang lain kali ke sana
Jangan pergi sekarang lain kali ke sana
Supaya tidak dua kali suaranya seperti tadi malam
Supaya tidak dua kali suaranya seperti tadi malam
Penari Cak yang terdiri
atas para penyungsung pura tersebut menyanyikan cak, cak, ecak, ecak dengan
patron perkusif yang amat unik. Api telah tersedia di muka penari
Sanghyang Dedari untuk memberi cobaan
terhadap kesungguhan Sanghyang Dedari itu. Penari itu kemudian meloncat ke atas bara api dengan
kaki tanpa alas kaki apa pun. Jika sungguh
dalam keadaan kerauhan, mereka tidak akan terbakar dan tidak akan merasa
sakit. Marilah, marilah, pengikutku,
kenapa engkau tidak bersama aku untuk menghalau wabah. Penari Sanghyang itu meminta dengan amat sangat agar
diperkenankan menari, menunjukkan
keluwesan para leluhur yang turun ke bumi. Mereka akhirnya menari dengan
gerak lemah gemulai dan penuh
improvisasi.
Seperangkat gamelan
Semarpagulingan telah siap memainkan lagu-lagu klasik untuk mengikuti tari Sanghyang Dedari tersebut.
Gamelan itu biasanya terdapat di jaba pura, halaman luar tempat persembahyangan, tempat
penari Sanghyang Dedari itu segera
diusung. Tariannya merupakan sebuah tarian improvisasi, dipentaskan oleh
para leluhur melalui badan penari wanita
tadi.
Mereka diangkat ke atas
pundak para penyongsongnya. Menjadi
penyongsong penari Sanghyang Dedari merupakan suatu kehormatan bagi para taruna di dalam masyarakat. Mereka memiliki
status yang lebih tinggi dari teman-temannya sekampung. Penari Sanghyang Dedari
menggunakan pakaian putih dengan hiasan
kepala seperti penari Legong Kraton. Mereka bergerak dengan sangat cekatan melakukan gerak sayar soyor yang lemah
gemulai di tengah sekelompok pengikutnya
yang segera membentuk lingkaran sebagai ciri khas tarian keagamaan.
Gerak-gerak yang dilakukan
oleh Sanghyang Dedari di atas pundak penyongsongnya merupakan gerak improvisasi yang dilakukan
dengan tidak sadar dan berdasarkan gerak gerak alam. Contohnya ialah gerakan sayar
soyor, wujud gerak yang menirukan gerak
pohon yang sedang ditiup angin kencang; ngelayak, gerakan
melengkung sebagai peniruan pohon bunga
yang berkembang lebat; capung mandus, gerak-gerak seekor capung
yang sedang mandi di kolam; dan kidang
rebut muring, peniruan gerak kijang yang sedang
diganggu serangga.
Wujud-wujud gerak tersebut
sangat tua umurnya, meskipun gerak gerak ini dipakai dalam tarian masa kini,
seperti Gambuh, Arja, dan Legong Kraton. Tari
Sanghyang Dedari telah dipengaruhi oleh tarian yang sedang berkembang
dewasa ini. Tari kerauhan yang terdapat
dalam tari Sanghyang akhirnya telah menerima unsur-unsur Legong Kraton.
Dipimpin oleh seorang
pemangku, para penyungsung Sanghyang Dedari itu meninggalkan halaman pura, dan pawai Sanghyang ini
berpindah ke jalan raya. Iringan kidung dimulai
lagi. Lagu yang dinyanyikan adalah gending Mara Bangun (baru bangun).
Para penari Sanghyang Dedari itu diusung
ke sudut-sudut kampung, ke persimpangan jalan, dan ke tempat-tempat lain yang dianggap penting
untuk dikunjungi. Selama mengadakan
perjalanan, penari Sanghyang Dedari melakukan gerak-gerak menghalau
wabah penyakit. Masyarakat menduga bahwa
penyebab penyakit itu adalah bhuta kala yang mendiami penjuru kampung. Sementara upacara ini tengah
berlangsung, pemangku memercikkan air
suci di tempat-tempat yang dianggapnya sebagai penghubung bhuta kala.
Dengan cara itu, mereka telah
membersihkan desa secara ritual. Setelah beberapa lama, penari Sanghyang dibawa kembali ke tempat gamelan yang telah
tersedia sebelumnya.
Saat menari digunakan gending Sekar Emas.
Di Desa Cemenggawon,
Sukawati, penari Sanghyang Dedari itu diletakkan pada sebuah tempat pementasan. Mereka mulai menari dengan
keterampilan yang tinggi, jauh berbeda dengan
tarian yang dilakukan ketika mereka diusung ke sudut kampung. Kini tartian mereka sangat halus, luwes, dan
gerak-geraknya mempunyai hubungan yang erat dengan musik pengiringnya. Tarian yang bagus
bentuknya itu hampir tak dapat mereka lakukan
selama mereka diusung di atas pundak. Selain gamelan Semarpagulingan
dinyanyikan pula lagu-lagu yang disebut
Sekar Emas. Tariannya juga menirukan lirik dari lagu itu sendiri.
Gending Sekar Emas, Laras Pelog.
Tanjung gambir gadung melati
Sandingin cempaka menuh daksina kabecik pisan
Medampyak tumbuh di gunung
Tetanduran widyadari.
Bunga tanjung gambir dan gadung melati
Disandingi cempaka, menuh, daksina yang baik sekali Berderet tumbuh di
gunung
Ditanam oleh para bidadari
Tempuh anin mangayorin
Dedarine ampuang aus mangiber mangalap sekar Sekarang magulu-angsul
Swaca idewa nggeain gending.
Diembus angin meliuk liuk
Bidadarinya diembus angin berebut memetik bunga Sekarang menggerakkan
lehernya kiri dan kanan Berbaik hati dewa memberikan nyanyian
Pangecet
Gending guntang gula miik
Gending guntang gula miik
Tetabuhan madu rempuh
Pepanggelan pepangelan
Madu pasir
Rebab sulinge kanyunnyun
Gagupekan gagupekan
Guricike ngarempyang
Lagu gamelan guntang manis seperti gula
Lagu gamelan guntang manis seperti gula
Lagu-lagu penuh madu
Ritme ritme yang indah
Seperti madu pasir
Rebab dan suling saling bersahutan
Bunyi kendang bunyi kendang
Rinciknya suaranya gemerincing
Igel igel ida cara garuda matangkis
Igel igel ida cara garuda matangkis
Kecas kecos ilag ileg ngilu bahu
Kecas kecos ilag ileg ngilu bahu.
Tariannya seperti gerak gerik burung garuda
Tariannya seperti gerak gerik burung garuda
Meloncat-loncat, gerak leher kiri dan kanan di atas bahu
Meloncat-locat, gerak leher kiri dan kanan di atas bahu.
Yen sawangan gumine di kembang kuning
Yen sanwangan gumine di kembang kuning
Sungengene nyebeng manyangra bulan
Sungengene nyebeng manyangra bulan.
Jika diumpamakan dunia ini seperti bunga kuning
Jika diumpamakan dunia ini seperti bunga kuning
Bunga matahari berkerut menjnggu bulan
Bunga matahari berkerut menunggu bulan
Saat Ngelebar atau Nyineb (menyimpan) digunakan gending Sekar Jepun.
Di tempat lain, seperti di Desa Bona, penari Sanghyang Dedari itu dibawa
kembali ke halaman pura. Di sana mereka
melakukan upacara ngelebar (nyineb) mengembalikan penari itu ke alam sadar. Upacara itu
dilakukan dengan berjenis-jenis sesajen yang
kemudian diiringi persembahyangan bersama oleh anggota masyarakat.
Mereka memberi upah kepada roh-roh suci
yang memasuki badan penari Sanghyang Dedari. Upacara itu dipimpin oleh seorang pemangku, diikuti oleh
Juru Kidung dengan sangat khidmat. Lagu lagu yang dinyanyikan adalah gending
Sekar Jepun. Kemudian penari-penari Sanghyang
tersebut perlahan-lahan mulai sadar. Kini banyak penari menyukai
pengalaman sebagai penari sakral dan kemudian
meneruskan karier mereka sebagai penari profesional setelah beberapa tahun menjadi abdi sebuah pura.
Gending Tanjung Gambir, Laras Pelog.
Tanjung gambir gadung melati
Sandingin cempaka menuh daksina kabecik pisan Medampyak tumbuh di
gunung
Tetanduran widyadari.
Bunga tanjung gambir dan gadung melati
Disandingi cempaka, menuh, daksina yang baik sekali Berderet tumbuh di gunung
Ditanam oleh para bidadari.
Tempuh anin mangayorin
Dedarine ampuang aus mangiber mangalap sekar Sekarang magulu-angsul
Swaca idewa nggeain gending.
Diembus angin meliuk liuk
Bidadarinya diembus angin berebut memetik bunga Sekarang menggerakkan
lehernya kiri dan kanan Berbaik hati dewa memberikan nyanyian.
Pangecet
Gending guntang gula miik
Gending guntang gula miik
Tetabuhan madu rempuh
Pepanggelan pepangelan
Madu pasir
Rebab sulinge kanyunnyun
Gagupekan gagupekan
Guricike ngarempyang
Lagu gamelan guntang manis seperti gula
Lagu gamelan guntang manis seperti gula
Lagu-lagu penuh madu
Ritme ritme yang indah
Seperti madu pasir
Rebab dan suling saling bersahutan
Bunyi kendang bunyi kendang
Rinciknya suaranya gemerincing
Igel igel ida cara garuda matangkis
Igel igel ida cara garuda matangkis
Kecas kecos ilag ileg ngilu bahu
Kecas kecos ilag ileg ngilu bahu.
Tariannya seperti gerak gerik burung garuda
Tariannya seperti gerak gerik burung garuda
Meloncat-loncat, gerak leher kiri dan kanan di atas bahu
Meloncat-locat, gerak leher kiri dan kanan di atas bahu.
Yen sawangan gumine di kembang kuning
Yen sanwangan gumine di kembang kuning
Sungengene nyebeng manyangra bulan
Sungengene nyebeng manyangra bulan.
Jika diumpamakan dunia ini seperti bunga kuning
Jika diumpamakan dunia ini seperti bunga kuning
Bunga matahari berkerut menjnggu bulan
Bunga matahari berkerut menunggu bulan.
Subyek upacara kelinggihan
“kemasukan roh” ini sudah lama menarik perhatian banyak orang asing, meskipun sampai saat ini belum
ditemukan pengertian tentang aspek
psikologis sistem kerauhan ini. Memang amat sukar membuktikan suatu
pengertian tentang kerauhan karena
menyangkut masalah kepribadian dan konteksnya dengan kebudayaan. Dalam kondisi yang normal, seorang akan
menemukan kesukaran untuk mengukur
kerauhan itu secara ilmiah tanpa mengganggu budayanya. Banyak sarjana
yang memberi
komentar bahwa kerauhan itu
sama dengan hipnosis yang tinggi nilainya. Dalam tarian Sanghyang Dedari tampak ada cobaan penting,
yaitu pada waktu mereka diminta untuk
melangkah dan menari di atas api unggun. Itu bertujuan untuk membuktikan
kepada pemangku dan anggota masyarakat
bahwa kerauhan itu memang sunguh terjadi. Jenis
kerauhan yang dimanifetasikan oleh penari Sanghyang Dedari itu jauh
lebih tinggi nilainya dibandingkan
dengan kerauhan yang terdapat dalam tari Keris yang biasanya disebut Onying atau Pangurekan.
Perlu dijelaskan tidak
semua tari Bali memiliki unsur kelinggihan. Unsur kelinggihan juga ada dalam tari Bali yang bersifat sekuler
yang dilatih secara teknis dan serius, namun
secara konseptual keadaan semacam itu disebut ketakson. Beberapa
tari yang bersifat kelinggihan berbeda
bentuknya dengan tarian yang bersifat sekuler. Setiap tarian tersebut memiliki tuntutan yang berbeda pula. Untuk
tari-tarian kelinggihan atau sakral para penari dituntut untuk dapat nadi, sedangkan
kemampuan untuk menari adalah soal belakang.
Untuk tari-tarian profesional persyaratan ini menjadi terbalik. Kondisi
semacam ini dapat membingungkan dalam
tarian Bali, seperti terlihat dalam tarian sekuler yang ditambahi adegan kelinggihan begitu saja untuk
menarik wisatawan asing. Di sini sifat-sifat
kelinggihan itu secara mudah dapat disebut metode berakting.
Apa yang telah disediakan
oleh kelinggihan kepada penari-penari Sanghyang Dedari ialah suatu rangkaian suara yang khas dan
improvisasi yang tinggi. Yang paling menarik dalam Sanghyang Dedari adalah pemberian obat-obatan
oleh para leluhur kepada anggota
masyarakat yang percaya dapat menghilangkan wabah penyakit dari muka
bumi ini. Di dalam semua bentuk
Sanghyang nampak para leluhur atau roh-roh suci memberi layanan pada masyarakat. Roh para leluhur ini siap
dipanggil untuk memberi perlindungan kepada
masyarakat pendukungnya. Kendati tarian ini tidak memakai cerita
kelihatan ada suatu dramatisasi yang
tinggi tanpa stock scene character seperti yang terlihat dalam
Gambuh.
Di dalam tari-tarian
Sanghyang yang lain, seperti Sanghyang Celeng, tampak penari Sanghyang itu, mengadakan pembersihan secara
simbolis dengan memakan segala kotoran
yang ada di masyarakat. Sanghyang semacam ini dikatakan memiliki
tingkatan yang lebih rendah dibandingkan
dengan Sanghyang Dedari karena mereka lebih mengutamakan gerak-gerak kasar dan sering-sering juga
menggelikan. Menurut laporan Jane Belo, dalam
bukunya yang berjudul Trance
in Bali dikatakan bahwa Sanghyang Celeng itu memghabiskan kotoran kulit pisang dan
lain-lainnya yang terdapat di jalanan. Cara yang demikian berarti penyebab epidemi telah
dimakan oleh Sanghyamg Celeng tersebut.
Makna
Tari Sanghyang Dedari dan
tari-tari sakral lainnya di Bali seperti tari Baris Gede, Rejang Dewa, Sutri, Abuang, ialah sarana ruwatan
bumi. Sebuah upacara untuk membersihkan
dunia ini dari segala mala petaka yang disebabkan oleh bhuta kala.
Pementasan tari-tari sakral ini membuat
keseimbangan, keharmonisan baik dan buruk dalam jagat semesta. Tari-tari ini berkaitan dengan upacara
pembersihan secara spiritual yang disebut Jagat
Kerthi, Danu Kerthi, Segara Kerthi, Wana Kerthi, Atma Kerthi, Bhuwana
Kerthi.
Mengusir bhuta kala,
dengan berbagai upacara keagamaan disebut juga nyomia bhuta kala, mengembalikan elemen-elemen Panca Mahabhuta
ke tempatnya. Pementasan tari sakral
dalam upacara keagamaan merupakan realissi dari kearifan lokal (local
wisdom) yang disebut Tri Hita
Karana. Tri Hita Karana, ialah tiga sebab yang menyebabkan keseimbangan atau kebahagiaan yaitu
keseimbangan antara Tuhan dan manusia, Manusia
dan manusia, dan Manusia dengan alam semesta (Panca Mahabhuta).
Tari Sanghyang Dedari dan
tari sakral lainnya, turun ke bumi untuk memberi wahyu dan petunjuk kepada
masyarakat tentang pengobatan secara herbal (kini disebut Ayurvedic) sesuai Usada Gede, Usada Rare dan lontar-lontar
usada lainnya. Tuntunan itu mengingatkan
kepada masyarakat Bali bahwa mereka memiliki cara pengobatan tradisional yang bersumber pada Veda, kitab
suci. Sistem pengobatan itu dinamakan
Ayurveda.
Pengobatan Ayurveda ialah salah satu sistem pengobatan holistik (seluruh
tubuh) yang tertua di dunia. Sistem
pengobatan itu dikembangkan lebih dari 3000 tahun yang lalu di India. Dipercaya bahwa sistem ini tergantung
pada keseimbangan yang rumit antara
fikiran, tubuh, dan spirit. Dalam Ayurveda biasanya ada tiga elemen
utama dalam tubuh manusia yang sering
tidak seimbang yaitu tri dosha yang terdiri dari vayu (angin), pitta
(cairan empedu), dan kapha (lendir).
Langkah-langkah lain yang dilakukan selama pandemi.
Dipimpin oleh Ida Pedanda Putra Tembau, seorang pendeta yang menjadi
pemimpin setiap upacara besar di Pura
Besakih (Eka Dasa Rudra, Panca Wali Krama, dan Bhatara Turun Kabeh) yang berasal dari Klungkung
melaksanakan Upacara Ruatan Bumi di Pura Besakih dan Pura Sad Kahyangan lainnya (Pura Batur,
Pura Uluwatu, Pura Batuklotok, Batukaru)
yang dipimpin oleh Ida Pedanda pada bulan Juli 2020. Upacara itu
dihadiri oleh Wakil Gubernur, Tjokorda
Oka Artha Ardana Sukawati dan beberapa pejabat pemerintahan lainnya.
Doa bersama oleh Pasek
Sapta Rsi bersama ITB STIKOM Bali yang dinamakan Shanti Puja Samgraha dengan melibatkan 1118
orang pendeta di seluruh Indonesia. Upacara itu
dilakukan secara live-streaming dan diikuti oleh ribuan umat
Hindu seluruh Indonesia. Tuntunan
upacara dan veda dilaksanakan oleh seorang Ida Mpu dari Warga Pasek, di Kampus ITB STIKOM Bali didampingi Prof. Dr.
Wayan Wita dan Prof. Dr. I Made Bandem.
Dalam rangka Covid-19, banyak desa-desa di Bali mementaskan berbagai
tari Sanghyang, misalnya di Desa
Pancasari, Bedugul Buleleng, masyarakat mementaskan tari Sanghyang Penyalin (Sanghyang Rotan), tari-tarian Baris
Gede di Desa Pengotan, Bangli, tari Sutri di Desa Batuan, Gianyar, Rejang Dewa
di berbagai Pura di Denpasar. Selama musim wabah, masyarakat Bali tetap melaksanakan upacara di
pura-pura mereka dan selalu mementaskan
tari-tari sakral, termasuk drama tari Calonarang yang diaggapnya drama
peruwatan ritual. Dalam
pementasan-pementasan itu mereka tetap menerapkan protokol kesehatan yang ditetapkan Pemerintah, dalam kelompok kecil,
memakai masker, menjaga jarak, dan desa
menyiapkan sanitizer dan air bersih.
Denpasar, 5 November 2020
I Made Bandem
Dafta Pustaka
Ambara, Gede Ngurah. Ayurveda.
Surabaya: Penerbit Paramita Surabaya, 2006. Bandem, I Made and Fredrik deBoer. Balinese
Dance in Transition: Kaja and Kelod.
Singapore: Oxford University Press, 1995.
Belo, Jane. Trance in
Bali. New York: Columbia University Press, 1960. Carpenter, Bruce W. WOJ
Niewenkamp: First European Artist in Bali. Singapore: Periplus Edditions, 1997.
Danajaya, James. Pantomim
Suci Betara Berutuk Dari Trunyan Bali. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985.
deZote, Beryl and Walter
Spies. Dance and Drama in Bali. New York: Thoman Yoseloff, 1958.
Dibia and Rucina Ballinger. Balinese Dance, Drama and Music.
Singapore: Perilus Editions, 2004.
Dinas pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali. Usana Bali-Usana Jawa.
Denpasar: Dinas P dan K Prpinsi Bali,
1986.
Dinas Kebudayaan Badung (Tim Penyusun Ketut Darsana, dkk.). “Tutur
Barong Swari,” halaman 75-128, tahun
2013.
Ginarsa, Jero Mangku. Intisari
Kanda Pat Dewa dan Kanda Pat Sari. Denpasar: CV Kayu Mas Agung 2010.
Goris, Roelof. Prasasti Bali I dan II. Bandung: NV Masa Baru,
1954. Holt, Claire. Art in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press,
1967. Nala, I Gusti Ngurah Nala. Usada Bali. Denpasar: PT Penerbit Upada
Sastra, 1996. Pemerintah Kabupaten Buleleng. Usada Bali. Singaraja:
Gedong Kirtya, 2006. Sedyawati, Edi, dkk. Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum.
Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Suasthi Widjaja Bandem, NLN. Barong
Kuntisraya: Ikon Seni Pertunjukan Bali
Kontemporer. Denpasar: BP STIKOM Bali, 2014.
1 Makalah disampaikan dalam
Simposium Sesi 2 “Seni Pertunjukan, Seni Sakral Nusantara dan Relasinya dengan Wabah” pada 20 November 2020.
Simposium ini merupakan salah satu agenda dari Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) yang
bertemakan Bhumisodhana: Ekologi & Bencana dalam Refleksi Kebudayaan Nusantara. Festival budaya ini
berlangsung dari 19 s/d 23 November 2020 dan dilaksanakan secara daring (Virtual Festival).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar